Hasan Muhammad Di Tiro Dimata Rakyat Aceh

Safrizal July, S.Pd.I.
WAA Minggu 12/04/2009 Siapa Hasan Di Tiro? ACEH – Teungku Hasan Muhammad di Tiro (lahir di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 25 September 1925; umur 83 tahun) adalah proklamator kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Hasan Tiro sekarang ini menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Dia ikut keluar-masuk hutan bersama pasukannya pada 1976 untuk memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangannya itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Karena serangan tentara Indonesia yang tak tertahankan, ia mengungsi ke berbagai negara, sebelum akhirnya menetap di Stockholm, ibu kota Swedia. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. Organisasinya (Gerakan Aceh Merdeka) muncul ke pentas internasional. Hasan Tiro pernah dan menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra, pada akhir 2002. Dia juga menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan pada 25 Januari 1999. Dalam berbagai perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu. Pengakuan orang Aceh terhadap Tengku Hasan bukan hanya karena perjuangannya. Dalam tubuhnya mengalir darah biru para pejuang Aceh. Tengku Hasan lahir di Pidie, Aceh, pada 25 September 1925 di Tanjong Bungong, Lameulo, sekitar 20 km dari Sigli. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Hasan merupakan anak kedua pasangan Tengku Pocut Fatimah dan Tengku Muhammad Hasan.

Tengku Pocut inilah cucu perempuan Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro yang juga Pahlawan Nasional Indonesia. Pada Januari 1965, Hasan menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka. Jadi, apa yang dilakukannya dengan memproklamasikan Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 hanyalah kristalisasi dari ide yang sudah disosialkannya sejak 1965[1] Pendidikan Bekal pendidikan bermula dari Madrasah Blang Paseh pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan dari Sekolah Normal di Bireuen pimpinan Moehammad El-Ibrahimy. Teungku Hasan Muhammad di Tiro setelah pindah ke Yogyakarta dan belajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Fakultas Hukum di Yogyakarta dari tahun 1950 sampai 1951 kemudian melanjutkan ke Ilmu Hukum International, Univesitas Columbia dan Fordam University di New York. Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom. Pengalaman Organisasi · Pernah aktif dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). · Pernah menjabat Ketua Muda PRI di Pidie pada 1945. · Staf Wakil Perdana Menteri II dijabat Syafruddin Prawiranegara. · Staf penerangan Kedutaan Besar Indonesia di PBB. · Presiden National Liberation Front of Aceh Sumatra. · Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di PBB,AS, 1950-1954.. · Ketua Mutabakh, Lembaga Nonstruktural Departemen Dalam Negeri Libya. · Diangkat oleh Raja Feisal dari Arab Saudi sebagai penasehat agung Muktamar Islam se-Dunia (1973).

Karya-karya hasan tiro Mendirikan “Institut Aceh” di AS. Dirut dari Doral International Ltd di New York. Punya andil di Eropa, Arab dan Afrika dalam bisnis pelayaran dan penerbangan. mendeklarasikan Aceh merdeka pada 4 Desember 1976. Terlibat sebuah “federasi” 10 daerah di Sulawesi, Sumatra, dan Maluku perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno. Menggagaskan ide Negara Aceh Sumatra Merdeka,1965. Penulis buku “Demokrasi untuk Indonesia” Sedangkan tentang keacehan dengan menulis buku yang berjudul: ü “Jum Meudehka Seunurat Njang Gohlom Lheueh Nibak Teungku Hasan di Tiro” Karya ini mengisahkan kembali tentang perjuangannya sebagai Presiden Angkatan Aceh Merdeka mulai tahun 4 Desember 1976 sampai 28 Maret 1979 ketika ia berada gunung bersama-sama dengan teman seperjuangannya. ü “Aceh Bak Mata Donya” Karyanya ini berisi tentang sejarah panjang Bangsa Aceh. Ia melukiskan bahwa Aceh adalah suatu bangsa di atas dunia seperti bangsa-bangsa lain yang berdaulat penuh. Buku yang terdiri dari tujuh bab itu juga membahas kejayaan Aceh pada abad ke-17, keheroikan pejuangnya dalam peperangan melawan Belanda dari bulan April 1873 hingga Desember 1937, konsekuensi yang menimpa bangsa Aceh sebagai akibat penjajahan Belanda dan himbauan kepada rekan sepatriot untuk bersatu padu merebut kembali kemerdekaan Aceh yang telah hilang dari tangan bangsa Aceh sejak bulan desember 1911. Demikianlah di antara karya-karya Hasan Tiro di samping banyak brosur-brosur yang ditulisnya. Pemikiran Politik Hasan Tiro Pada tanggal 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi.

Hasan Tiro bersama dengan pendukungnya menumpangi perahu dari Malaysia menuju di Pasi Lhok, sebuah
desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari yang di jemput oleh sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun. “Itu adalah malam pertama ku di aceh setelah selama 25 tahun tinggal di pengasingan di Amerika Serikat, “Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984. Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh. Sebagaimana yang kita ketahui di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan. Yang berbunyi: “Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…” Catatan: Teks ini merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut: “We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java. Our fatherland, Acheh, Sumatra, had always been a free and independent Sovereign State since the world begun…” Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom. Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri. Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB. Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama, berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis. Menurut Serambi Indonesia (25/9) setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun. Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun. Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan. Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh.

Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh di pagi hari, 30 Oktober 1976. Semangat dan gelora perjuangan yang di bangun hasan tiro untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI ini terlukis dalam untaian kata-kata: “my conviction about my duty in life came from my country’s long history, from my education and breeding, and these being confirmed by the reaction of my people in my daily life in Acheh Sumatra. That is I have been made to feel what my family and my people expected from me.(Keyakinan saya mengenai tanggung jawab dalam hidup datang dari sejarah panjang negeriku, pendidikan, dan kehidupanku, dan ini telah dibenarkan oleh reaksi dari rakyatku dalam kehidupan sehari-hari di Acheh, Sumatra. Apa yang saya rasakan inilah yang diharapkan oleh keluargaku dan rakyatku.)” (The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984,hal.1). Di sisi lain munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diploklamirkan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976. Gerakan senjata yang muncul akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah Jakarta yang dianggap telah berlaku tidak adil terhadap Aceh dalam berbagai hal, terutama ekonomi. Dimana hasil alam Aceh diekploitasi secara besar-besaran, akan tetapi secara bersamaan Aceh tidak mengalami pembangunan setara dengan hasil alam yang dikeruk. Kekecewan pada pemerintah pusat juga masih mengendap dengan kuat karena penyelesaian yang tidak adil terhadap pemberontakan DI/TII. Keistimewaan Aceh sebagai solusi dari pergolakan Aceh tersebut ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan. munculnya GAM ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari pemberontakan DI/TII yang dipimpin Tgk. M. Daud Beureuh.[2] Pemberontakan GAM ini juga dibangun dengan landaskan ideologi nasionalis keacehan yang dibangun oleh Hasan Tiro.
Hasan Tiro yakin bahwa idologi ini lebih memberikan kekuatan untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Hasan Tiro juga orang yang sangat percaya akan kekuatan sejarah Aceh yang gemilang. Baginya, sejarah Aceh adalah identitas sekaligus kekuatan Aceh sendiri.Untuk arah perjuangan GAM, Hasan Tiro menulis dalam satu bukunya yang monumental, Demokrasi Untuk Indonesia. Buku ini menjelaskan bahwa Hasan Tiro menolak bentuk negara kesatuan, bagi Hasan Tiro, negara kesatuan sanagt tidak relevan dengan keberagaman yang dimiliki oleh wilyah yang berada di nusantara ini.[3] Sebuah sumber yang intens mencermati perkembangan GAM mengakui, kondisi ketidakadilan Pemerintah Indonesia menyangkut pembagian ‘kue pembangunan’ semakin menambah kebencian pihak GAM terhadap perilaku Jakarta. Dan faktor ketidakadilan yang menganga inilah membuat banyak orang makin simpati pada perjuangan GAM.

Proses persebaran GAM yang relatif cepat itulah memaksa aparat RI bertindak cepat mengatasinya. Kata Menhan Mahfud di siaran pers. Kepulangan Hasan Tiro dan Perdamaian Aceh Kepulangan Hasan Tiro disambut suka-cita oleh rakyat, terutama oleh mantan GAM. Sebab kepulangan tersebut memberikan makna tersendiri, khususnya terhadap eksistensi Partai Aceh, di samping memuaskan kerinduan para pengikutnya yang kini berhimpun dalam Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi baru GAM. Malah, mereka akan memberikan pengamanan khusus, sebagai bentuk penghormatan bagi pemimpinnya yang puluhan tahun meninggalkan Aceh. Sebab, sejak bertolak ke luar negeri tahun 1979 saat situasi keamanan tidak menentu, Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Hasan Tiro menetap di Amerika dan selanjutnya mendapatkan suaka politik ke Swedia, dan mengendalikan perjuangan GAM di pengasingan. Meski sempat diberitakan meninggal dunia dan terkena stroke, serta diisukan tidak lagi mengendalikan perjuangan GAM secara total, namun Hasan Tiro tetap menjadi tokoh kunci yang memengaruhi penyelesaian konflik Aceh. Artinya, terlepas dari sejumlah misteri tentang kondisinya, restu Hasan Tiro selalu ditunggu, khususnya terkait hal-hal prinsipil tentang perjuangan dan sikap politik GAM dalam perundingan. Bisa disebut, tanpa restu Hasan Tiro, mustahil MoU Helsinki yang mengakhiri konflik Aceh terlaksana dengan mulus. Jadi, kepulangan Hasan Tiro ke Aceh menunjukkan kondisi keamanan Aceh sudah kondusif. Hal ini tentu saja sebuah pengakuan bahwa perdamaian Aceh bukan lagi main-main, karena tokoh penting yang selama ini begitu kuat mengobarkan api perlawanan, akhirnya dapat menikmati buah perdamaian. Untuk itu, hendaknya, semua pihak menjaga perdamaian ini dengan sepenuh hati, sambil menutup rapat-rapat peluang munculnya konflik kembali. Dalam kepulangannya kali ini, Tgk. Hasan Tiro disambut hangat oleh segenap masyarakat Aceh. Berbagai alasan muncul dalam penyambutan Hasan Tiro.
Ada yang mengatakan kagum dengan perjuangan beliau, ada yang mengatakan salut terhadap individu Hasan Tiro atau ada yang hanya sekedar kepingin tahu yang mana Hasan Tiro yang pernah menjadi orang paling dicari oleh polisi Indonesia tersebut.

Setelah 32 tahun bermukim di Swedia dan menjadi warga negara, akhirnya pada 11 Oktober 2008 beliau tiba di Aceh. Pada pukul 11.15 WIB pesawat yang beliau tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda.. Puluhan ribu rakyat Aceh telah siap menanti beliau. Baik di bandara ataupun di Mesjid Raya Baiturrahman dimana dijadikan pusat pertemuan beliau dengan seluruh masyarakat Aceh. Konvoi kendaraan dan iringan masyarakat pun membludak di ibukota Nanggroe Aceh Darussalam; Banda Aceh. ”Inilah sosok karisma Teungku Hasan Tiro di Aceh. Walaupun sejak awal 1950 bermukim di AS dan kemudian kembali ke Aceh selama periode 1976-1979, ia adalah orang yang paling berpengaruh dan dihormati. Wibawanya bahkan mengalahkan pemerintah daerah maupun pusat”. Tidak mengherankan jika kepulangan beliau bayak di elu elukan. Terutama oleh mantan kombatan GAM yang kini bernaung di bawah KPA(Komite Peralihan Aceh). Selain itu, kita sebagai rakyat Aceh juga patut gembira dengan kepulangan beliau. Karena beliau adalah pelaku sekaligus saksi sejarah Aceh. Ada dua sisi menarik dari hidup beliau yang penulis rasa mengapa kita patut gembira dengan kepulangan beliau. Yang pertama, adalah di mana dalam kepulangannya kali ini, adalah kepulangan pertama setelah mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 04 Desember 1976 dan sempat bergerilya selama beberapa tahun yang kemudian pada 1979 beliau keluar dari Aceh melalui perjalanan laut melalui Samalanga, Bireun. Berdirinya GAM merupakan sepak terjang beliau terbesar yang merupakan klimaks dari pengacuhan otoriter pusat terhadap tuntutan beliau. Karena itulah kemudian beliau menerima mandat yang diberikan oleh Tgk. Daud Beureuh sebagai perwakilan Negara Islam Aceh di PBB. Sebagai staff penerangan Indonesia di PBB maka beliau menerima mandat tersebut sekaligus menjadi awal mula permusuhan beliau dengan pemerintah Indonesia. hal ini yang kemudian membuat beliau mendirikan GAM.
Yang kedua, adalah coba jika anda memandang Tgk. Hasan Tiro sebagai salah satu putra Aceh yang memiliki intelegitas di atas rata rata. Mengapa beliau setelah tamat di UIN Jogjakarta melanjutkan pendidikan ke Kolombia. Semua adalah karena kecerdasan yang beliau miliki. Jadi coba anda menagnggap bahwa kepulangan beliau adalah untuk mengaplikasikan ilmu yang beliau miliki untuk tanah kelahirannya. Meskipun kepulangan Hasan Tiro dinyatakan tidak dibumbui dengan agenda politik, sejumlah pihak di Aceh tetap berharap kepulangan Hasan Tiro dapat memberikan makna positif bagi keberlangsungan perdamaian di Aceh. Sebab, keengganan Hasan Tiro kembali ke Aceh pasca-penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam, memunculkan tanda tanya besar bahwa Hasan Tiro tidak merestui perdamaian Aceh. Jika keinginan kepulangannya ke Aceh benar-benar terwujud, kekhawatiran bahwa Hasan Tiro tidak mendukung perdamaian akan hilang dengan sendirinya. Hal ini perlu dipertegas, agar kepulangan Hasan Tiro tidak dipolitisir dan dimanfaatkan untuk agenda tersembunyi kelompok tertentu, yang membuat kondisi Aceh bertambah panas. Apalagi belakangan, aksi-aksi kekerasan seperti penggranatan kantor Partai Aceh (PA), pembakaran kantor Partai SIRA, serta tindakan intimidasi lainnya terhadap partai-partai tertentu meningkat. Kondisi ini tak terlepas untuk kepentingan Pemilu 2009. Banyak kekhawatiran muncul di Aceh saat Pemilu berlangsung nanti. Kekhawatiran tersebut bukan tak beralasan, sebab Pemilu di Aceh berbeda dengan di tempat lain karena hadirnya sejumlah Partai Lokal. Banyak pihak berharap agar Pemilu berlangsung aman dan damai, tanpa paksaan untuk memilih partai tertentu.
Selama ini, ancaman dan intimidasi terhadap masyarakat untuk memilih suatu partai sering terjadi. Pelarangan pendirian kantor partai tertentu, yang diikuti pembakaran sejumlah umbul-umbul partai semakin menunjukkan jika Pemilu di Aceh kental warna kekerasan. Sebab, persaingan dalam merebut suara dan simpati rakyat Aceh tak hanya dilakukan melalui tawaran sejumlah program politik, melainkan juga melibatkan kekerasan. Namun, disisi yang lain dapat kita lihat bahwa kepulangan Hasan Tiro setelah 32 tahun lamanya tidak menginjak tanah Aceh membawa pesan-pesan perdamaian, tentu akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat Aceh. Apalagi kepulangan tersebut untuk meredam gejolak konflik yang bakal muncul terkait keberadaan Partai lokal pada Pemilu nanti, serta untuk mencari solusi atas agenda penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Maka semua pihak harus menyambut baik keinginan tersebut. Ini merupakan juga bagian dari keseriusan hasan tiro untuk menjaga perdamaian di aceh yang telah lama di idamkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini terbukti dan dapat kita lihat pidto hasan tiro berikut ini. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kehadapan hadirin dan hadirat yang saya cintai. Marilah kita bersama panjatkan puji dan syukur kehadhirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan rahmat dan kurnia-Nya kepada kita sekalian dalam bentuk kebebasan dan kedamaian yang menyeluruh di persada tanah Aceh sejak dari tanggal 15 Agustus tahun 2005 selepas mengalami konflik bersenjata selama 30 tahun yang bermula pada tahun 1976. Pada hari ini saya sangat berbahagia begitu juga para hadirin-hadirat sekalian. Allah telah melimpahkan nikmat kepada kita, sehingga pada hari yang paling bersejarah ini, Insya Alllah saya dalam keadaan sehat walafiat, dapat kembali menginjakkan kaki di bumi Aceh dan saya dapat bertemu muka langsung dengan saudara-saudara, di mana selama ini, telah memberi kesetiaan kepada saya di dalam perjuangan menuntut hak, keadilan dan martabat bagi Aceh. Kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh di Aceh sekarang ini adalah merupakan nikmat yang telah diberikan Allah kepada Aceh. Belum p ernah terjadi dalam sejarah Aceh selama berada dalam penjajahan dan pendudukan bangsa asing, rakyat mendapatkan kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh seperti saat sekarang ini. Kesemuanya ini adalah merupakan hasil jerih payah perjuangan gigih yang tel ah diberikan oleh rakyat Aceh dengan jatuh korban puluhan ribu jiwa banyaknya, sementara gempa dan tsunami telah memakan korban sekitar ratusan ribu jiwa banyaknya. Saudara-saudara kita yang telah syahid telah meninggalkan ribuan anak yatim piyatu, saudar a -saudara kita yang hilang harta dan cedera tubuh badannya juga tidak terhitung jumlahnya. Ini adalah menjadi tanggung-jawab kita semua untuk memberi bantuan kepada mareka yang akan kita penuhi melalui proses demokrasi dan berencana sebagaimana yang telah kita sepakati di dalam MoU Helsinki. Kami ingatkan: konflik 30 tahun yang disusuli oleh gempa dan tsunami, mengakibatkan Aceh kehilangan segala-galanya, kita tidak sanggup kehilangan masa depan kita. Justru raihlah masa depan kita melalui proses yang telah ditentukan di dalam MoU Helsinki ini dengan cukup teliti dan berdisiplin tinggi. Di dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, akan tetapi, dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan te tapi biaya memelihara perdamain jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahtraan kita semua.

Perundingan perdamaian yang panjang seru dan alot antara pihak GAM dan pihak Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, Finlandia. Telah menghasilka n kesepakatan yang dinamakan Memorandum of Understanding ataupun yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki. Yang ditandatangani oleh pihak GAM dan RI pada tanggal 15 Agustus 2005 adalah merupakan dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua pihak. Adapun sebagian dari hal-hal penting yang terdapat di dalam kesepakatan bersama MoU Helsinki adalah: Pertama: Mantan pejuang Aceh tidak ada lagi dipanggil dengan sebutan “sparatis”, karena t elah mengikat diri dengan kesepakatan yang telah di tanda-tangani oleh pihak seperti termaktup di dalam MoU Helsinki. Kini rakyat Aceh sudah mulai merasakan hidup aman dan tenang serta tidak lagi merasa takut terhadap berbagai tindakan kekerasan seperti y ang terjadi di masa konflik yang baru berakhir sekitar tiga tahun yang lalu. Kedua: Aceh telah lama dilupakan dunia, akan tetapi dengan gempa dan tsunami serta adanya MoU Helsinki, Aceh telah menjadi perhatian dunia internasional untuk dapat dibantu secara langsung terhadap kepentingan rakyat Aceh dari segala kehancuran dan ketinggalan di semua bidang. Ketiga: Aceh akan mendapatkan kebebasan dalam bentuk hak-hak sipil, politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum di dalam K onvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa, di mana proses tersebut, dijalankan melalui proses demokrasi, adil dan bermartabat. Sebagai imbalan, Pemerintah Pusat mempunyai hak-hak tersendiri yang telah diatur di dalam MoU Helsinki tersebut. Dalam ke sempatan yang berbahagia ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak Pimpinan Urusan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, Javier Solana di atas dukungan penuhnya terhadap kami dan juga kepada mantan Ketua Tim Misi Monitoring Aceh, Pieter Cornelis Feith beserta Staf dari negara-negara anggota Uni Eropa, ASEAN, Norwegia dan Swiss yang telah berhasil memantau dan menjalankan isi MoU Helsinki sehingga di Aceh terpelihara dan terjaga perdamaian yang menyeluruh ini. Juga saya tidak lupa mengucapkan terim a kasih kepada mantan Presiden Martti Ahtisaari dari Finlandia, mantan Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan, pemerintah Amerika Serikat, Jepang, Swiss, Swedia, Norwegia dan lain lain yang telah berusaha keras membantu mencari jalan terbaik, guna menyelesaika n konflik Aceh secara damai. Dalam kesempatan ini, teristimewa, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak Pemerintah Republik Indonesia yang tetap komitmen dengan isi-isi MoU Helsinki dan untuk ini, saya menghargai kebijaksanaan dan tekad baik yang ” decisive” yang telah diambil oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Bapak Yusuf Kalla yang sejak dari awal lagi tahun 2000, telah merintis jalan penyelesaian konflik yang berkepanjangan di Aceh, harus melalui perundingan bukan den gan cara kekerasan senjata. Kepada rakyat Aceh, saya menyerukan untuk tetap memelihara dan menjaga perdamaian yang menyeluruh dan jangan berusaha untuk menghancurkan perdamaian ini. Kalau masih ada pihak-pihak yang menentang dan tidak menyetujui MoU Helsin ki ini, maka di sini, saya menyerukan untuk kembali dan bersatu dengan rakyat Aceh yang sekarang sedang memelihara dan menikmati kedamaian dan kebebasan yang menyeluruh di bumi Aceh. Perjuangan rakyat Aceh sekarang ini, adalah perjuangan ke arah sistem ya ng membawa aspirasi seluruh rakyat Aceh melalui perangkat politik dalam usaha memelihara perdamaian, keamanan dan kebebasan dengan cara yang adil, jujur, dan bermartabat bagi semuanya. Perlu diingat, bahwa perjuangan dengan melalui jalur politik dan demok rasi inilah yang didukung dan disokong sepenuhnya oleh dunia internasional serta saya yakin, juga didukung sepenuhnya oleh semua lapisan rakyat Indonesia yang cinta perdamaain, kestabilan dan kesejahteraan negara ini untuk masa yang akan datang.

Pada kesem patan ini, saya berpesan kepada seluruh rakyat Aceh untuk tetap menjaga kesatuan Aceh dan jangan sekali-kali terpancing pada usaha-usaha jahat dari beberapa kelompok supersif, dalam usaha mereka untuk menyabotase perdamaian, mengadu domba kita sesama kita dan memecah belah Aceh, yang kalau tidak kita tidak sedari, untuk membendunginya, akhirnya akan menimbulkan konflik berdarah untuk kesekian kalinya yang akan menghancur-leburkan dan merugikan kesemua pihak. Tak lupa saya ucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bersusah payah memfasilitasi kepulangan saya dan rombongan ke tanah air sebegitu baik. Terima kasih yang tak terhingga kepada saudara-saudara yang saya kasihi sekalian, yang telah bersusah payah datang ke Banda Aceh dar i seluruh Aceh untuk menyambut kepulangan saya ketanah pusaka ini secara meriah sekali, yang tentunya, tak dapat saya lupakan sepanjang hayat saya. Hanya Allah yang akan membalas segala kebaikan saudaraku sekalian. Amin, amin, amin ya Rabbal alamin. Akhirnya mengingat kita masih berada di bulan syawal, bulan fitrah, saya ucapkan Selamat hari Raya Idul Fitri tahun 1429 H. Mohon ma’af lahir dan batin.
Sekian dan terima kasih.”[4] Demikianlah tulisan saya ini tentang deklarator Gerakan Aceh Merdeka DR.Teungku Muhammad Hasan di tiro. Mudah-mudahan menjadi khazanah intelektual dan bahan kajian tentang ketokohan dan perjuangan politik beliau dalam memperjuangkan tanah aceh dari ketidak adilan pemerintah Penulis adalah Safrizal July, S.Pd.I Mahasiswa IUA (International University of Africa) Khartoum Sudan/Aktivis Worl Acehnese Association ( WAA ) [1] Artikel mengenai biografi tokoh Indonesia ini adalah suatu tulisan rintisan [2] keterkaitan gerakan ini adalah “restu terselubung” yang diberikan terhadap Tgk. M. Daud. Beureuh terhadap Hasan Tiro untuk memimpin gerakan ini. walaupun mendapat restu dari Tgk. M. Daud Beureuh, Hasan Tiro tidak mendapat dukungan dari mantan pengikut Tgk. M. Daud Beureh di DI/TII, sebab mereka punya memori yang tidak baik dengan Hasan Tiro ketika bahu membahu melawan pemerintah Jakarta. [3] Untuk mengetahui manifesto politik Hasan Tiro baca Hasan Muhammad Tiro, Demokrasi Untuk Indonesia, (Jakarta: Teplok Press, 1999) [4] Sumber: Kompas (http://karodalnet.blogspot.com)
Previous Post Next Post