Sudahkah Anda Membaca MoU Atau Hanya Dengar-Dengar Saja ?

Memori delegasi GAM dalam perundingan Damai di Helsinki, Finlandia 15/08/2005


WAA News - Senin 24/11/14, Sebenarnya sudah sering sekali pemaparan seperti ini kita tulis di media cetak atau kita bicarakan secara lisan, tapi masih ada juga yang tak mengerti kejelasan dari isi MoU yang telah ditanda tangani oleh GAM dan RI.

Orang yang paling sering menjelaskan hal ini adalah Nur Djuli, memang dari segi teknis, beliau adalah orang yang paling tepat untuk menjelaskan masalah MoU kepada publik.

Dulu Team kami juga pernah memuat pembicaraan beliau di dalam media sosisal Facebook kedalam  media cetak.

Kini kami tampilkan kembali pembicaraan beliau dalam media social itu kedalam bentuk tulisan di media cetak.

Tujuan kami tidak ada lain, kami berharap dengan tampilnya tulisan seperti ini, agar lebih mencerahkan lagi pikiran anda tentang isi MoU dan kami berharap juga agar anda bisa mencerna lebih banyak lagi arti atau makn dari isi MoU itu.

Terlebih lagi, kami berharap agar kedepan, anda yang ragu atau tak mengerti isi MoU agar bertanya pada Syehnya, bukan pada penonton, karena Syehnya sudah tentu lebih tau isi syair yang mereka telah lantunkan.

Yang kita lihat selama ini, kebanyakan penonton yang berkoar-koar tentang MoU itu, sehingga banyak silapnya waktu ditanggapi oleh penonton lain. Akhirnya si penonton yang lain ini akan menyalahkan syair yang telah dilantunkan oleh penonton pertama. Dan akan menyimpulkan bahwa syair itu adalah salah total dan yang membuat syair itu orang salah djieb ubat (salah minum obat).

TAK PANDAI MENARI DIKATAKAN LANTAI BERJUNGKAT

Sebenarnya tidak ada yang tersembunyi atau terselubung dalam MoU Helsinki, semua jelas tertulis. Coba baca baris pertama: "Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua".

Jadi apa lagi yang tidak jelas di sini, apanakah yang dlihat sebagai perbedaan penafsiran dan apanya yang berbeda?

Nur Djuli setuju sekali bahwa masih banyak poin-poin MoU yang belum dilaksanakan, hal itu bukan berarti tidak difahami atau ditafsirkan berbeda, tetapi tidak dilaksanakan. Banyak poin-poin UUPA yang tujuannya adalah untuk melaksanakan MoU berbeda atau bertentangan dengan MoU.

Ini terjadi karena draft UUPA itu dibuat oleh anggota2 DPR RI asal Aceh, yang bertujuan menjaga kepentingan mereka sendiri (seperti pada mulanya PILKADA langsung untuk Aceh hanya sekali, yang tentu saja bertentangan dengan MoU pasal 1.1.2. Celakanya, orag di Partai Aceh waktu itu juga mempertahankan UUPA yang katanya "sakral"  atau  ”harga mati”, bukannya MoU, untung ada kawan-kawan dari partai SIRA yang bawa ke MK). Draft UUPA yang saya buat dengan kawan-kawan SIRA, draft dari 4 universitas Aceh, draft dari PEMDA (Azwar Abubakar) semua diketepikan.

Kesimpulannya, kalau orang Aceh sendiri lebih mementingkan kepentingan kelompok dari bangsa, maka hasilnya beginilah, ujung-ujung salahkan MoU. kata orang Melayu ”Tidak pandai menari dikatakan lantai berjungkat”.

Soal bendera dan lain lain sebenarnya adalah soal yang paling simple tetapi kita sendiri yang membuat masalah itu menjadi rumit. Dalam MoU sudah jelas ada enam otoritas yang Aceh BERIKAN pada Pemerintah Pusat (pasal 1.1.2a: "Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam SEMUA sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, KECUALI dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, kekuasaan kehakiman, hal ekhwal moneter dan fiskal, dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi".

Soal bendera: apakah itu termasuk dalam otoritas yang 6 itu? Kalau tidak maka mengapa begitu bodoh minta izin Pemerintah Pusat untuk menaikkannya? Kalau tidak dibenarkan oleh UUPA, UUPA itulah yang harus diubah karena bertentangan dengan MoU.

UUPA dibuat untuk menterjemahkah MoU dakam undang-undang supaya bisa dilaksanakan. Kalau terjemahan tidak sesuai dengan teks asli, apakah teks asli yang tidak betul? MoU hanya perlu patuh kepada KONSTITUSI, bukan pada UU lain, apalagi pada kehendak Mendagri.

Kalau yang sudah hak kita masih kita pergi mengemis ke Jakarta, maka salah siapa? Kalau hal-hal begini saja masih tidak mau mengerti, mau bagaimana lagi?  Nur Djuli melihat kawan-kawan begitu pandai berdebat di media sosial,  tetapi mengapa susah sekali memahami hal yang begini simple? Sudahkan anda membaca MoU atau hanya dengar2an saja?

Pasal 2.3 MoU: "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi". KKR RI telah lahir dengan UU no. 27/2004. Tetapi uu ini telah dibatalkan oleh MK atas permintaan beberapa ormas HAM karena adanya sebuah kalimat yang dikuatirkan akan menghilangkan hak konstitusi para korban untuk menuntut pelanggar HAM ke pengadilan. Namun PemRi sampai sekarang belum mengajukan uu ini kembali ke DPR untuk disahkan hanya dengan mencoret satu kalimat tersebut, Jelas ada pressure terhadap pemerintah RI untuk tidak membuat uu ini kembali.

Baru-baru ini ada usaha membentuk KKR lokal di Aceh, dan kalau saya tak salah, kanun KKR Aceh sudah disahkan oleh DPRA. Secara pribadi saya tidak setuju hal ini karena ini memberi kesempatan pada PemRi untuk cuci tangan dalam hal pelanggaran HAM berat di Aceh oleh alat negara RI. Kalau hanya KKR lokal, apakah mungkin Pemerintah Aceh, tanpa penyertaan Pemerintah Pusat, untuk meminta tanggungjawab dari para pelanggar HAM alat negara RI? Jadinya kita terperangkap dalam jerat sendiri. Nur Djuli berharap saya keliru dalam hal ini dan Kanun KKR lokal bisa mencapai tujuan seperti yang diharapkan, yaitu paling kurang memberi kompensasi kepada para korban.

Pasal 1.3.4: "Aceh berhak MENGUASAI 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut territorial sekitar Aceh". Ketika Oemerintahan Irwandi, timbul masalah tentang jumlah hasil yang harus dibagi. Kita semua tau, kalau hasilnya 1000 ton dibilang hanya 100, Aceh hanya akan dapat 70 ton, bukan 700. Hal ini sudah kami antisipasi di Helsinki, makanya dalam artikel 1.3.8, ditentutakan: "Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparensi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Pemerintah Aceh". Penunjukan auditor luar ini masih selalu ditolak oleh Pemerintah Pusat dan karenanya pembagian hasil Migas tidak dapat dilaksanakan. Itu yang saya ketahui ketika saya masih sedikit terlibat dalam pemerintahan Aceh sebagai ketua BRA. Dalam hal ini Nur Djuli tidak mengetahui bagaimana situasinya sekarang.

Soal perbedaan antara "Kesefahaman" dan "Perjanjian", Nur Djuli  mengutip kata-kata Ahtisaari: "Tidak ada kuasa di dunia ini yang bisa memaksa pelaksanaan sebuah perjanjian walaupun dibuat sedetail-detailnya, kalau ada pihak yang tidak ikhlas melaksanakannya dengan jujur". MoU ini yang ditandatangani oleh wakil para pihak di depan mata seluruh dunia, dan kemudian disahkan oleh DPR-RI, adalah sebuah dokumen yang menyatakan komitmen bulat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. Kalau satu pihak gagal melaksanakannya maka ini akan memberi hak kepada pihak yang lain untuk tidak mematuhinya juga, kalau itu terjadi maka berakhirlah kesepakatan ini. Itukah yang dikehendaki Pemerintah Pusat atau kita di Aceh?

Akhirnya Nur Djuli berharap agar kita tidak seharusnya jangan mau dihanyutkan oleh kata-kata semu ketika garisan yang jelas kedudukannya sudah ada.

Ketika DPR RI mengesahkannya maka disitulah letak kekuatan hukumnya. DPR itu adalah PEMBUAT hukum Indonesia. MOU Helsinki disahkan dengan suara bulat, tanpa oposisi dan tanpa perubahan. dengan sendirnya itu menjadi kewajiban Pemerintah menjakankannya.

Yang buat UU itu kan DPR, pemerintah, apalagi para perunding RI tidak punya wewenang untuk bikin UU. Kami percaya bahwa Kesefahaman itu akan disahkan oleh DPR karena waktu itu majoritas di DPR adalah GOLKAR dan DEMOKRAT, dua-duanya partai yang memerintah yang teken MOU.

Kita juga harus melihat kondisi di lapangan. Lebih 200 000 rakyat sudah syahid dalam tsunami, ratusan ribu lagi terancam kelaparan karena bantuan tidak bisa masuk dengan lancar akibat adanya konflik, 50 000 TNI bertindak sesuka hati di seluruh pelisok Aceh. Apakah kita punya banyak pilihan sebagai alternatif dari berdamai? Sekarang Aceh sudah damai, penerintahan kita pegang sendiri, anda semua bisa debat bebas di FB, bisa demo... Memang situasi damai ini belum sempurna dan banyak yang masih perlu dibereskan. Tetapi apapun tidak akan beres kakau kita bersikap negatif dan mencari siapa yang salah dan bukan berusaha membetulkan.

Oleh, Makmur Habib Abdul Ghani
Previous Post Next Post