Parlok Bukan Lanjutan Perjuangan GAM

WAA : Banda Aceh - Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Demikianlah perumpamaan yang cocok disemat kepada organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang perjuangannya telah ditarik untuk kepentingan kekuasaan oknum di tubuh partai lokal yang mengaku didirikan partai untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan Aceh.
Akhirnya, kini GAM sudah dicaci maki oleh masyarakat yang saban tahun ditindas oleh orang-orang yang mengaku mantan pejuang yang bertempur di bawah bendera Aceh Merdeka.
Munawar Liza Zainal, mantan juru runding GAM di Helsinki, kepada aceHTrend.Co, Kamis (10/3/2016) mencoba menjelaskan duduk perkaranya kepada pembaca.
Munawar Liza mengatakan, setelah penandatanganan MoU Helsinki, TNA dibubarkan dan semua senjata dimusnahkan. Sebagai gantinya, pemerintah menarik semua tentara dan polisi non organik dari Aceh.
Kemudian untuk TNA, mantan tahanan dan korban konflik, diberikan beberapa program untuk mengejar ketertinggalan selama masa konflik. Seperti lapangan pekerjaan, pelatihan untuk peningkatan ekonomi, dan pemberian modal dasar atau tanah perkebunan bagi yang mau berusaha di gampong gampong.
“Ini bertujuan supaya mengejar ketertinggalan, bukan untuk menjadi warga kelas satu. Namun karena satu dan lain hal, program ini banyak yang tidak terlaksana seperti yang diharapkan,” terang mantan Wali Kota Sabang itu.
Di lain pihak, GAM membuat program yang bertujuan merubah mindset kombatan menjadi masyarakat biasa, sama seperti masyarakat lain, dan berjuang untuk mendapatkan tempat dalam kedudukan politik melalui jalur yang ada atau melalui parlok dan lain-lain.
Entah bagaimana, setelah ribut-ribut pemilihan akhir 2006, ada yang mau merubah partai politik menjadi GAM, parlok didandani dengan simbol-simbol dan identitas GAM. Akhirnya, setiap kesalahan yang dilakukan oleh kader partai, atau pejabat yang diusung oleh partai, GAM menerima akibatnya. Hampir semua struktur, simbol, nama-nama yang dipakai oleh GAM dahulu, sekarang dipergunakan oleh partai. Sebuah hal yang salah, sebab GAM bukan partai. GAM milik semua rakyat Aceh dari berbagai partai yang ada.
“Sebagian, termasuk pemerintah pusat, merasa nyaman dengan kondisi begini dan adanya pembiaran. Tetapi dari GAM sendiri banyak juga yang melawan walau akhirnya dituding sebagai pengkhianat yang tidak ikot endatu. Padahal endatu dulu menegakkan marwah dan identitas rakyat Aceh, bukan menjadikan rakyat menjadi kelas dua di tanah mereka,” terangnya.
Di akhir pembicaraan, Munawar menjelaskan silang sengkarut yang ditimbulkan oleh perilaku oknum eks TNA selama ini adalah atas kepentingan pribadi semata atau kelompok. Bukan geunareh perjuangan.
“Diraihnya perdamaian, cuma sedikit ditentukan oleh kuatnya angkatan perang. Sebagian besar yang lain adalah doa dan ketabahan masyarakat dalam membela para pejuang sehingga tidak kalah dalam perang,” imbuhnya. (acehtrend)
Previous Post Next Post