Darurat Militer di Aceh, berbagai kasus pelanggaran HAM tak jelas penanganan hukumnya

WAAHari ini, 19 Mei 13 tahun lalu, Presiden Megawati Sukarnoputri dan Menko Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono kala itu resmi memberlakukan status darurat militer di Aceh. 
Setelah pengumuman resmi pada tanggal 18 Mei jelang tengah malam (pukul 00:00), Jakarta segera mengirimkan 42 ribu pasukan TNI dan Polri untuk berperang dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tak hanya mengirimkan personel, Jakarta juga mengerahkan peralatan tempur, seperti tank, kendaraan lapis baja, reo, panser, pesawat tempur Bronco, dan pelbagai alat perang lainnya.
Dalam langkah operasi TNI memburu ribuan anggota Gerakan Aceh Merdeka. Setiap jengkal tanah Aceh disisir, pasti ada luka, darah, suara tangisan dan nyawa masyarakat sipil yang melayang.
Tak perlu diceritakan banyak apa ekses dari pemberlakuan darurat perang itu. Masing-masing kita memiliki memori kelam terhadap penerapan status darurat militer itu –yang semua penduduk Aceh dewasa diharuskan memiliki kartu tanda penduduk merah putih ( KTP merah Putih) yang di tandatangani oleh pejabat sipil dan militer berparas logo burung garuda berisi pancasila. 
Namun Koordinator WAA , Nekhasan menyebutkan bahwa 13 tahun lalu Aceh pernah berada dalam status darurat militer. Selama masa perang itu, banyak kasus kekerasan, penyiksaan, dan pembunuhan tanpa proses hukum yang terjadi. Belum lagi kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan.
“Akibat penerapan Darurat Militer di Aceh, berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi, baik itu berupa penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang secara paksa, pelecehan seksual, pemerkosaan dan penangkapan tanpa proses hukum,” ujar nya.
Padahal Komnas Hak Asasi Manusia mencatat ada 70 kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama setahun pemberlakuan darurat militer. Sayangnya, hingga kini tak jelas penanganan hukumnya. Komnas HAM juga mencatat ada 205 kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjan 1989 hingga 2005 menjadi lebai.


Previous Post Next Post