Demokrasi Di Mata Rakyat

Fadjri Azla di laut merah.
WAASabtu 04/04/2009 Prolog Sering kita mendengar istilah “demokrasi” di telinga kita. Bahkan, terminologi ini juga tidak hanya di kenal di negara barat yang notabeninya sebagai pencetus konsep demokrasi. Akan tetapi, dewasa ini nampaknya barat dengan gencarnya mempromosikan konsep tersebut di Negara-negara atau wilayah Islam. Hal itu karena mereka mengklaim eksistensi konsep demokrasi contoh nya di timur Tengah maka akan semakin menjauhkan umat islam pada system pemerintahan islam ( Al Khilafah Al-Islamiyah) Pentingnya demokratisasi timur tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat AS. Termasuk oleh mantan presiden G.Bush dan presiden Obama Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di timur tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), pengekspor kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan bagi negara AS.

Negara barat pada umumnya, khususnya AS sangat memuji-muji Turki sebagai model pemerintahan yang ideal bagi umat islam. Turki diklaim telah mempraktekkan demokarasi islam. Akan tetapi demokratisasi di Turki justru menimbulkan problematika baru bagi umat islam seperti pelarangan pemakaian kerudung bagi muslimah dengan alasan bertentangan dengan sekularisme dan sebagainya. Makna Demokrasi Terminologi demokrasi merupakan hasil adopsi dari bahasa yunani kuno yang terdiri dari dua kata ” Demos ” yang mempunyai arti (Rakyat). dan “Kratos” yang berarti (pemerintahan). Dengan demikian demokrasai dapat di definisikan sebagai sebuah system pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan di jalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih melalui system pemilihan bebas. Ringkasnya bahwa demokarsi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Abraham Lincoln adalah bapak demokrasi dunia, dialah yang menggagas ide kedaulatan rakyat sepenuhnya memegang kekuasaan pemerintahan secara mutlak. Sekularisme merupakan asas utama system demokrasi. Makanya tidak jarang negara negara yang di kenal “demokratis” memasung arti demokrasi itu sendiri dengan dalih sekularisme. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa melarang sejumlah hal atas nama demokasi. Seperti pelarangan jilbab. Karena hal itu di klaim bertentangan dengan skularisme yang notabeninya sebagai asas demokrasi. Bahkan Islam sering di tuduh mengancam sekularisme. Dan untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok islam yang di klaim menentang sekularisme kemudian di kaitkan dengan tindakan terorisme.

Konsep dan Realita Demokrasi Seperti halnya di atas, bahwa konsep demokrasi adalah kedaulatan pemerintah sepenuhnya di tangan rakyat melalui wakil wakilnya yang duduk di perlamen yang di pilih melalui pemilihan umum. Akan tetapi, benarkah demikian praktiknya? Faktanya, kalau kita melihat negara negara yang menganut system demokrasi seperti Prancis, AS dan lain sebagainya. Wakil wakil rakyat yang duduk di parlemen pada esensinya hanya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Karena dalam system kapitalis calon anggota parlemen harus lah memiliki modal yang besar atau kalau tidak, dia akan di calonkan dan di sponsori oleh para pengusaha kaya. Para kapitalis inilah yang sengaja mendudukkan mereka di berbagai posisi strategis pemerintahan atau lembaga lembaga perwakilan dengan harapan mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Di Inggris sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsa wan aristocrat. Kritik pun bermunculan dengan realita ini. Bahkan seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Micheels cenderung melihat demokrasi hanya sebagai topeng ediologis yang melindungi tirani manoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya , yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas sekelompok besar yang lain. Memang secara konsep, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan strategis pemerintahan tersebut baik sipil maupun militer. Akan tetapi dalam realitanya jabatan jabatan penting itu hanya di duduki oleh golongan golongan tertentu. Dalam demokarasi setiap keputusan di ambil dari suara mayoritas rakyat.. Konsep inipun sering tidak sesuai dengan kenyataanya. Pengambilan keputusan tetap saja di monopoli oleh kelompok yang berkuasa. Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak para kaum kapitalis tersebut.

Mungkin kita masih ingat dengan aksi serangan AS terhadap Irak. Hal itu tidak lepas dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS. Sehingga dewan parlemen Negara Paman Sam ini melegalisasi invansi serangan AS terhadap Irak karena terselubung kepentingan para kaum kapitalis. Meskipun tuduhan terhadap Irak dalam kepemilikan senjata nuklir tidak bisa di buktikan. Sejarah Inggris mencatat, Perdana Menteri Anthony Eden misalnya bahkan pernah mengumumkan perang terhadap mesir dalam krisis Suez tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan parlemen. Sebenarnya anggota parlemen lebih sering hanya menjadi boneka hidup yang di setir oleh badan eksekutif (presiden atau perdana menteri) seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru. Ide utama demokrasi adalah terwujudnya kebebasan (freedom) baik freedom of thinking (kebebasan berfikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara). Padahal dalam faktanya, system demokrasi pun masih memberikan batasan kebebasan dalam berpendapat. Hal ini wajar, karena dalam system apapun kebebasan itu tetap ada batasannya.

Akan tetapi kecurangan para pendukung konsep demokrasi ini sering mengklaim bahwa hanya sestem demokrasilah yang membuka lebar kran kebebasan perpendapat sementara system ediologi lain tidak. Klaim demokrasi akan menciptakan kesejahteran dan stabilitas akan hanya menjadi mitos belaka. Karena tidak ada relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan yang dapat di buktikan. beberapa negara berkembang yang di kenal demokratis seperti Filipina atau India ternyata bukanlah negara yang sejahtera. Penduduknya juga masih banyak yang hidup dalam pederitaan. Indonesia pun yang yang sering dipuji karena lebih demokratis pada masa reformasi mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Justru sebaliknya, banyak negara yang di kenal tidak demokratis negaranya kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Brunei Darussalam dan sebagainya. Maka dari itu demokrasi bukanlah faktor kunci kesejahteraan sebuah negara. Stabilitas keamanan pun mulai terusik sejak kran demokrasi terbuka lebar. Di sana sini aksi demonstrasi yang kadang kadang hanya menimbulkan keresahan masyarakat, karena ulah kekerasan para demontran yang anarkhis dan membabi buta. Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil demokarasi. Hal serupa tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan merambat ke wilayah dunia seperti disintegrasi negara negara eks komunis seperti soviet dan Yugoslavia yang mengatasnamakan demokrasi. Kemudian menjadi sumber munculnya fanatisme, nasionalisme atas nama bangsa sehingga mereka masing masing menuntut kemerdekaan bangsa. Epilog Demokratisasi yang selama ini di propagandakan di negeri-negeri islam pada dasarnya tidak lepas dari kepentingan para kaum kapitalis.

Mereka mengatasnamakan demokrasi sebagia alat untuk memeragi terorisme, Irak dan Afganistan adalah korban imprealisme barat yang sengaja di kemas sedemikian rupa melalui konsep demokrasi. Dengan demokrasi berarti menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia sementara dalam islam hanya di tangan allah SWT kedaulatan secara mutlak. Konsep demokrasi tidak memberikan solusi terhadap problematika kaum muslim justru memperparah kondisi kaum muslim. Ulama Pakistan Abul A’la Al Maududi pendiri gerakan islam Jamaat-e- islami sekaligus penulis buku Al Khilafah wa Al Mulk (khilafah dan kekuasaan) secara tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi) berdasarkan dua argument. Pertama, karena kedaulatan tertinggi adalah di tangan tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak mempunyai otoritas untuk membut hukum. Kedua, pada dasarnya praktik “kedaulatan rakyat” hanya menjadi omong kosong. Partisipasi politik rakyat dalam faktanya hanya di lakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang sekalipun mengatasnamakan rakyat juga malah sering menindas rakyat demi kepentingan pribadi. Terlepas dari itu semua, umat islam sebenarnya telah mempunyai sistem pemerintahan yang lebih mapan dari pada konsep demokrasi dalam upaya merealisasikan dan mewujudkan cita cita bangsa dan negara. Hanya dengan penerapan Daulah Islamiyah keadailan dan kesejahteraan akan lebih bisa di rasakan bagi seluruh umat islam. Wallahahu a’lam bisshowab!!!!! Penulis Fadjri Azla Aktifis World Acehnese association (WAA)
Previous Post Next Post