![]() |
Hasballah
Saleh dan langai miliknya | Foto:
Muhammad Fazil/ Mahasiswa Basri Daham, Journalism Institute (BJI)
Lhokseumawe
|
WAA - Aceh - “Wie… wie
kajak hai. Beu ligat bacut, bek batat that, ku sineut keuh enteuk. Treue… treue
meutuah hai. Woe gisa wie….”
Raymon masih
hafal “bahasa meu’ue” itu walau sudah 15 tahun ia tidak lagi meu’ue di
sawah milik orangtuanya di dusun Dayah Guci, desa Sukon Baroh, kecamatan
Glumpang Tiga, Pidie. “Terakhir saya meu’eu dengan langai tahun
1999. Saat itu hanya satu-dua petani yang masih pakai langai,” ujar
pemuda 37 tahun ini.
Ketika masih
usia SMA, Raymon membantu ayahnya, Ibrahim, 78 tahun, meu’ue (membajak
sawah) menggunakan langai, alat tradisional yang ditarik dengan tenaga
lembu atau kerbau. Keluarga petani ini kemudian mengistirahatkan langai lantaran
kalah saing dengan peralatan modern: traktor. “Sejak tahun
2.000 tidak ada lagi petani di desa ini yang membajak sawah dengan langai, semuanya
beralih memakai jasa traktor atau hand traktor. Di daerah lain malah
sejak 1980-an sudah jarang yang memakai langai,” kata Ibrahim ketika
bercakap-cakap dengan saya di kolong rumoh Aceh miliknya pada pekan kedua
Februari 2014.
Apakah
Ibrahim masih menyimpan langai yang dulu digunakan untuk membajak
sawahnya? “Masih, tapi tidak utuh lagi karena sudah belasan tahun tidak
terawat. Sekarang hanya tersisa boh langai, tersimpan di belakang
rumah,” ujarnya.
Boh langai tersebut
tercampakkan di bawah bak limeng (pohon belimbing) belakang rumah
Ibrahim. Boh langai, kata dia, terbuat dari pohon mane yang
dipahat. Pohon atau kayu mane menjadi pilihan lantaran dinilai tahan lama.
Pada boh langai ada sayeup langai yang juga kayu mane, dan mata
langai terbuat dari besi. Bagian-bagian
lain dari langai tersebut sudah punah. Di antaranya, lamat atau goe
(tempat pegangan), tingginya lebih kurang 1,60 meter. “Lamat langai
terbuat dari bak peulangan yang meu atoet-atoet,” kata Ibrahim.
Lalu, eh
langai terbuat dari bak pineung (pohon pinang), panjangnya sekitar
2,5 meter. “Bagian bawah lamat langai dan bagian ujung belakang eh
langai menyatu dengan boh langai, saling mengait. Lamat langai
dilop lam eh langai, leuh geu pheut geuboh bajoe nyak kong,” ujar mantan
geuchik desa Sukon Baroh ini.
Adapun
pasangan langai adalah yok. Saat membajak sawah, alat ini
dipasangkan pada leher lembu, dan berfungsi menarik langai. Yok
terbuat dari bak siren, panjangnya sekitar satu meter. Dua aneuk yok,
terbuat dari pohon pinang, masing-masing panjangnya lebih kurang dua jengkal
tangan orang dewasa, dan lebarnya sebesar dua jari tangan. “Bagian bawah yok,
disebut peulana. Dulunya peulana terbuat dari awe
(rotan), belakangan pakai ban bekas. Panjangnya sekitar dua jengkal, dan lebar
ukuran tiga jari,” kata Ibrahim.
Tali pengait
eh langai dengan yok disebut taloe neu. Ketika langai dan
yok sudah dipakaikan pada lembu untuk membajak sawah, kata Ibrahim,
posisi eh langai dipasang sebelah kanan lembu. Sedangkan sebelah kiri
lembu dipasang taloe linggang, menghubungkan yok dengan langai.
“Dulunya taloe linggang terbuat dari rotan, belakangan dipakai tali
nilon. Fungsi taloe linggang sebagai penyeimbang, bek singet siblah
(agar yok tidak miring) karena sebelah kanan lembu dipasang eh langai,”
ujarnya.
Ada pula sinuet,
alat untuk mencambuk lembu jika ternak ini tidak mau bergerak saat membajak
sawah. Sinuet terbuat dari bak ulee keunyoe. “Geu boh taloe
sinuet bak ujong. Lheuh meu’eu, sinuet geulhat bak yok nyak bek gadoh,”
kata Ibrahim. Peralatan
tradisional lainnya adalah creueh. Alat ini, kata dia, juga terbuat dari
kayu mane. Eh creuh terbuat dari pohon pinang, panjangnya sama seperti eh
langai. Aneuk creueh disebut juga mata creueh terbuat dari
pohon pinang, jumlahnya sekitar 10-15, masing-masing sebesar dua jari dan
panjangnya satu jengkal tangan orang dewasa.
“Sama
seperti langai, pasangan creuh adalah yok. Creueh digunakan
setelah membajak sawah dengan langai, fungsi creueh untuk
meratakan tanah dan mengumpulkan rumput dan tumbuhan liar yang sudah menyatu
dengan tanah. Selesai geu creueh, tanah sawah yang sudah menjadi lumpur,
sudah bisa ditanami padi,” ujar Ibrahim. Tatkala
membajak sawah menggunakan langai yang ditarik dengan tenaga lembu,
begitu pula saat creueh difungsikan, “bahasa meu’eu” yang keluar
dari mulut petani, yaitu: wie (mengarahkan lembu agar bergerak ke kiri),
dan treue (ke kanan).
“Bedanya,
kalau membajak sawah pakai langai ketika ingin putar haluan (balik
arah), diucapkan: ‘woe gisa wie’. Jika pakai creueh ketika ingin
putar haluan diucapkan: ‘woe gisa treue’,” kata Ibrahim. “Ketika lembu
malas bergerak, ada yang diucapkan dengan nada emosi: ‘ku sineut keuh
enteuk’, ada pula dengan nada lemah lembut: ‘meutuah hai’,” katanya.
Hasballah
Saleh, 53 tahun, tidak lagi menggunakan langai untuk membajak sawahnya
sejak tahun 1985 silam. Namun, petani desa Blang Peunteut, kecamatan Blang
Mangat, Lhokseumawe ini masih menyimpan alat tradisional tersebut dalam gudang
samping rumahnya. Langai milik
Hasballah Saleh terakhir kali dikeluarkan dari gudang tahun lalu. Bukan untuk meu’ue,
tetapi dipamerkan di stand Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) saat Pameran
Pembangunan Kota Lhokseumawe 2013.
“Kita
pamerkan agar generasi muda di Aceh mengenal alat tradisional membajak sawah
yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita,” ujar Hasballah Saleh kepada Muhammad Fazil, mahasiswa Basri Daham Journalism
Institute (BJI) Lhokseumawe yang tengah melaksanakan tugas
magang di atjehpost.com, Kamis, 20 Februari 2014.
Sama seperti
langai milik Ibrahim, boh langai buatan Hasballah Saleh juga
terbuat dari kayu mane. Pada boh langai, ada mata langai terbuat
dari besi. “Mata langai bagian yang sangat penting, harus kuat dan tahan lama,”
kata Hasballah Saleh yang juga Keujruen Blang Kecamatan Blang Mangat.
Sedangkan lamat
alias goe langai, kata dia, terbuat dari bak manggeh (pohon
manggis), disebut juga bak baruh. Panjang alat tempat pegangan ketika
membajak sawah ini sekitar 1,30 meter. Lalu eh langai terbuat dari pohon
pinang. “Ada pula petani yang memakai kayu lain seperti bak nibong untuk
eh langai. Fungsi alat ini menghubungkan boh langai dengan yok
ketika dipakaikan pada lembu atau kerbau, panjangnya sekitar 2,70 meter,”
ujarnya.
Yok langai milik
Hasbalah Saleh terbuat dari kayu mane, panjangnya 1,30 meter. Yok diikat
pada leher kerbau dengan tali terbuat dari rotan. Ia menyebut tali tersebut talo
lihi. Alat tradisional lainnya, creueh, baik gagang maupun matanya
terbuat dari pohon pinang dan berfungsi membersihkan rumput-rumput sawah
setelah tanah dibajak dengan langai. Creuh, kata dia, hingga kini
masih digunakannya oleh sebagian petani di Aceh.
“Ada juga sinuet
(cambuk) untuk memukul kerbau agar mau bergerak ketika membajak sawah. Sinuet
terbuat dari kulit kayu simeuyong, gagangnya terbuat dari bambu.
Boleh juga memakai jenis kayu lainnya,” kata Hasballah.
Hasballah
Saleh menjelaskan, pembuatan langai tidak menghabiskan waktu lama. Dua
hingga tiga hari sudah selesai. Bahan bakunya berupa kayu juga mudah diperoleh.
Namun, kata dia, langai sudah langka di Aceh sejak adanya traktor dan hand
traktor (traktor tangan). “Traktor
lebih efektif karena cepat selesai membajak sawah dan tidak melelahkan. Kalau
memakai langai banyak prosesnya, butuh waktu lama dan melelahkan, bahkan
kadang kala masa panen tidak sesuai seperti yang diharapkan,” ujarnya.
Selain
kekurangan, ada pula kelebihan jika membajak sawah dengan langai. Salah
satunya, kata Hasballah Saleh, hasil kotoran kerbau menjadi pupuk sehingga
membuat tanah sawah lebih subur. Keuntungan lainnya, kata dia, petani rajin
memelihara kerbau dan lembu. Selain bermanfaat untuk membajak sawah, ternak
tersebut bisa dijual.
Tetapi itu
cerita masa silam. Zaman sekarang, kata Hasballah Saleh, masyarakat petani di
Aceh tidak mau lagi membajak sawah menggunakan langai karena dinilai
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. “Zaman sudah modern, traktor ada di
mana-mana,” ujar ayah empat anak ini sambil melirik traktor yang parkir di
pekarangan rumahnya.
Hasballah
Saleh kemudian menunjukkan selembar kertas yang sudah dipress dengan
plastik bening dan ditempelkan pada lamat langai. Pada kertas itu
tertulis, “Alat tradisional ini salah satu yang sangat popular di kalangan
petani, digunakan membajak sawah dahulu kala. Rata-rata petani tradisional
zaman dulu memiliki langai yang terbuat dari kayu spesial, yaitu pohon
mane yang sudah tua.
Ketika
modernisasi berkembang, langai hilang pelan-pelan, dan kini membajak
sawah dengan hand traktor”. Dalam hail tersebut, pemerintah daerah
dalam bidang kebudayaan dan para pengembangan kebudayaan warisan endatu (alat
bajak) untuk mengupayakan menyimpan atawa dimusiumkan. Sehingga alat-alat
pembajakan pertanian zalam dulu menjadi suatu sejarah yang dapat diperlihatkan
pada anak bangsa di masa hadapan, dan bagaimana keahlian mereka (petani) jaman
dahulu. Ini salah satu cara dalam mengwujudkan memotivasi anak bangsa untuk
terus berpikir lebih maju, serta harus lebih mapu menciptakan lagi sesuatu yang
lebih canggih disaat masa dunia tehnologi berkembang.
Oleh Basri Daham, Journalis Institut (BJI) Lhokseumaw
Oleh Basri Daham, Journalis Institut (BJI) Lhokseumaw