Pendekatan Pembangunan Yang Berbasis gampong

Marbawi Abdullah, SP [poto Marbawi doc/WAA].

WAASenin 09/11/2009, Oleh: Sekretariat WAA

Pendekatan Pembangunan Yang Berbasis gampong adalah sebuah tulisan karya Marbawi Abdullah, SP yang di kirim untuk ikut serta dalam sayembara menulis yang di adakan oleh World Achehnese Associaton untuk tahun 2009.

Tulisan ini terpilih menduduki urutan “the Second prospect winner” Hapan-II.

Siapa Marbawi Abdullah, SP ?
Marbawi Abdullah, SP lahir pada 23 agustus 1980 dan menetap di Desa Garot, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen – Aceh.

Education Background and Qualifications
1987 – 1993 : Elementary school
1993 – 1996 : Junior high school
1996 – 1999 : Senior high school
1999 – 2004 : Almuslim University (Agriculture faculty)

Training And Organization Experience
Following Training Monitoring of HAM Collision in Seulawah,Hotel Carrying Out By Komnas HAM Jakarta, 2003, Following Research Training For the Society of Tsunami Victim in Secretariat of WWF B.Aceh, Carrying Out by ADF B.Aceh, YPK of West Acheh and YAPPIKA Jakarta, 7 until March 13, 2005, Community Organizer ( CO) And Advocacy  in Sahid Hotel of Medan North Sumatra, Carrying Out by ADF B.Aceh, YPK of West Acheh And YAPPIKA Jakarta. 15 until June 18, 2005, Training of CBOS (Community Based Organizations) Carrying Out by Bina Swadaya Jakarta in Vina Vera Hotel Lhokseumawe. April 30 until Mai 5, 2006, Training of RM (Resource Mobilization) Carrying out by Constructing Self-Supporting Jakarta Hotel Kuta Karang Baru, Lhokseumawe. 11 s / d 14 June 2006, Training of Facilitator about Budget facilitation by Cheer – Acheh Hotel Rasa Mala Banda Acheh, date of 25 s / d 28 March 2007, Training Legal Training Drafting facilitation by BRR NAD – NIAS  Samudra Plaza Hotel in Lhokseumawe, date of 3 s / d 9 June 2007, Training of Analysis the Area Budget facilitation by IMPACT cooperation by Yappika Jakarta at Wisma daka banda aceh 2007, Training of Facilitator Musrenbang, carried out by LGSP, februari 2008-,Training Leadership carrying out by IMPACT, (Date of 17 – 20 march 2008), Research and advocacy training that Conducted by YAPPIKA / IMPACT / ADF / CIDA in Jakarta on February 10 up to February 22, 2007, Training Drafting training on October 21-25 2007 in Lhokseumawe that conducted by PSHK (Center the study punish and Indonesia policy)

Work Experience
Work Social in Handling of Psychosocial Hardness Act Victim the Regional after Conflict in Bireuen and North Acheh (2001 – 2002), Requirement Refugee Assessment of Conflict and Tsunami Victim, Giving Training and Education of Non Formal For Children and Woman Act Hardness   Victim after Conflict. (2001 – 2002),  Mediator of Medication Act Victim the Second times of Referendum, Coordinator of Community Organizer (CO) Programme The Rapped Assessment For The Region Of Work In Bireuen ( Kec. Samalanga, Kec. Digress The Mamplam, Kec.Pandrah, Kec,Jeunieb, Kec.Peudada, Kec.Jeumpa, Kec.Peusangan And Kec.Gandapura). Lspena – ADF and Yappika, Coordinator of Ad vocation Program the Research of Requirement of Society of victim Tsunami for the Region of Work in Bireuen (Kec.Samalanga, Kec.Jeunieb, Kec. Jeumpa and kec. Gandapura). Lspena – ADF and Yappika, Coordinator of Survey the Regency Development to Regional Bireuen Including Tsunami and Conflict area., Facilitator of Forming  the Young male and female forum at Sub district and the Regency of bireuen Regency. Lspena – Save the Children, Coordinator of Organizational Training Management for the young male and female forum in Regency Bireuen. Lspena – Save the Shildren, Coordinator of Keuchik Meeting at East Coastal in Critical for Performance BRR. Lspena – Pokja Imfokom BRR, Coordinator of ANCOR’s programme works an equal of LSPENA by ADF, IMFAC, YAPPIKA JAKARTA and CIDA. (March 2007 s / d October 2008), Responsibility of Program the Make-Up of Society Invelopment in Pushing Transparency of Area Bireuen Budget Regency work equal by SoRAK – Acheh, (April 2007 s / d December 2008), Coordinator of Advocacy Budget Programme in Participative, Accountable and to defend on the Impecunious Society ( Pro Poor), (January 21 up to March 21, 2008), Speaker of base human Rights Education of]Society at Purnama Hotel in Bireuen, ( 30 up to Mai 31, 2007), Speaker of legislation Workshop Programme of Regency in Bireuen, (August 21,  2007), Moderator of legislation Workshop Programme of Regency in Bener meriah (August 22, 2007), Coordinator of justice workshop for Society Bireuen Regency (16 until april 17, 2008), Directur ecsecutive (LSPENA) Lingkar Studi Pembangunan Nasional (2005 until 2007), Program Manager Perkumpulan BIMa (November 1, 2008)

 PENDEKATAN PEMBANGUNAN YANG BERBASIS GAMPONG

 Oleh: Marbawi Abdullah, SP

Aceh dapat menarik nafas lega usai penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Firlandia pada 15 Agustus 2005 lalu. Perdamaian merupakan sebuah keputusan bijaksana yang dinantikan oleh segenap masyarakat Aceh yang selama lebih kurang 30 tahun hidup dalam bayangan konflik.

Efek dari perdamaian dirasakan bukan hanya oleh masyarakat Aceh tetapi juga seluruh Indonesia dan Dunia Internasional.

Perdamaian Aceh tidak hanya dipengaruhi oleh dasar komitmen dari pihak yang saling berseteru, tetapi juga dukungan semua pihak termasuk di dalamnya dukungan dari segenap unsur masyarakat Aceh.

Pekerjaan rumah terbesar kini adalah bagaimana mengisi perdamaian Aceh menjadi lebih berkesinambungan dan membawa dampak sosial yang positif bagi kemakmuran masyarakat.

Perdamaian merupakan salah satu modal sosial dalam masyarakat. Perdamaian harus bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat miskin di daerah Aceh yang kaya sumber alam. Dan perdamaian harus bisa memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

Peranan Pemerintahan Gampong sangat penting dalam mengisi dan menjaga perdamaian, mengingat Gampong merupakan pemerintahan terdekat dengan masyarakat.

Peranan sosial Gampong antara lain menyangkut penyelenggaraan administrasi pemerintahan, pelayanan publik, pembangunan, sosial kemasyarakatan, dan syari’at Islam. Sesuai dengan mandat UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, penyelenggaraan pemerintahan Gampong diharapkan berlangsung secara efektif, demokratis, dan mandiri.

Prinisip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, partisipasi, otonomi, dan pemberdayaan masyarakat diharapkan menjadi semangat dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan Gampong.

Gampong tertinggal atau ditinggalkan?
Gampong mengalami penindasan sebelum kemerdekaan, baik di masa Belanda maupun masa Jepang. Gampong berubah nama menjadi “Desa” ketika pemerintahan Orde Baru menerapkan strategi kontrol teritorial melalui penyeragaman wilayah dan satuan pemerintahan melalui UU No. 5/1979. Otonomi Gampong dihancurkan oleh perluasan wilayah HPH, HTI, dan pembuatan kawasan industri.

Masyarakat makin miskin, tertinggal, dan terjepit oleh konflik di sebagian besar wilayah Aceh. Meskipun Gampong tetap menjadi sebutan bagi kesatuan masyarakat Aceh secara hukum positif dan adat, tetapi dalam praktiknya ia tidak lebih dari sekadar unit pemerintahan terkecil di bawah kecamatan.

Kesempatan Gampong untuk mengurusi rumah  tangganya hanyalah sebatas penyelesaian sengketa antar warga dan mengurusi kehidupan adat-istiadat masyarakat. Kesempatan Gampong untuk mencicipi “kue” pembangunan sangatlah kecil bahkan tidak ada.

Para keuchik atau pimpinan Gampong tidak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun Gampong.

Sama persis dengan nasib Desa dan Kelurahan di Jawa di zaman Orde Baru. Bahkan, di masa konflik bersenjata, untuk memudahkan kontrol teritori aparat, Gampong di Aceh diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yakni daerah hitam, daerah abu-abu, dan daerah putih.

Ketika Indonesia memasuki masa reformasi, di bawah pemerintah Presiden Habibie dan Megawati Sukarnoputri, keberadaan Gampong diakomodasi dalam produk perundang-undangan yaitu UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD.

Kedua produk perundang-undangan tersebut sekaligus merupakan awal dari proses resolusi konflik bersenjata di Aceh. Demikian juga, dalam klausul MOU Helsinki, keberadaan Gampong secara implisit diakui dalam butir-butirnya mengenai adat Aceh.

Gampong yang tadinya ditindas dan komunitasnya tercerai-berai, secara perlahan mulai menemukan energi untuk bangkit dan menata dirinya. Terakhir, dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No.11/2006 Gampong diakui sebagai wilayah yang otonom.

Suatu pemerintahan yang baik dimulai dari level yang terbawah. Suatu daerah yang sejahtera juga ditandai dengan kesejahteraan masyarakatnya sejak dari level yang terbawah. Dengan logika ini, semakin maju suatu Gampong maka akan memberikan pengaruh positif bagi kemajuan Negara.

Dahulu, konflik membuat tata pemerintahan di tingkat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam macet. Kemacetan tersebut diawali dengan macetnya tata pemerintahan di level terendah yaitu Gampong, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota. Ketika itu, tidak hanya pelayanan sosial tetapi juga membuat perekonomian masyarakat Gampong menjadi merosot.

Pemerintahan Baru Menuju Gampong Maju
Pilkada NAD tahun 2006 telah mampu membawa sebuah nuasa yang berbeda pada masyarakat. Pemimpin yang dipilih secara demokratis. Dari kalangan GAM, mulai tampak rasa keberpihakan kepada masyarakat, dan juga kepedulian terhadap kemajuan masyarakat melalui program yang berbasis dari Gampong.

Salah satu perubahan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Aceh yang direncanakan sampai dengan tahun 2012 adalah menata kembali sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat untuk mendorong penguatan politik, ekonomi, dan sosial budaya di Gampong. 

Penguatan pemerintahan dan pembangunan ekomomi masyarakat harus dimulai pada tingkat Gampong sebagai fundamental pembangunan Aceh ke depan.

Tak dapat dipungkiri, peranan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/kota juga Kecamatan memegang peranan penting dalam menuju kemandirian Gampong. Hal ini harus diwujukan dengan regulasi/qanun dari propinsi dan Kabupaten/kota yang dapat mendukung kemajuan Gampong. Selain regulasi, pihak Kecamatan hendaknya melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap Gampong.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan bahwa tahun 2009 Gampong di Aceh akan mendapat dana Rp. 100 juta. Namun untuk pencairan dana tersebut apabila terdapat Gampong yang sudah mendapat ADG dari Kabupeten/Kota maka dana dari BKPG dan yang sudah memiliki RPJMG, RKPG dan APBG. Maka dari itu, pemerintah provinsi harus mendesak Kabupaten/Kota yang belum memberikan ADG sehingga dana tersebut bisa disalurkan ke Gampong.

Pemkab dan Pemkot di Aceh harus didorong pula untuk serius mempersiapkan Gampong dalam menyusun dokumen dimaksud agar dana bantuan Rp. 100 juta dari Pemerintah kabupaten / Kota efektif dan efisien.

Pembangunan Aceh pasca-konflik dan stunami harus menjadi keinginan kuat semua lapisan masyarakat yang tentunya butuh dukungan oleh sistem dan pemerintahan pula. Banyak bantuan yang datang ke Aceh dari berbagai belahan Dunia. Ditambah lagi, adanya dana perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai ketentuan pasal 181 ayat (3) UUPA Pemerintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil migas sebesar 55 % untuk minyak dan 40 % untuk pertambangan gas bumi selama 20 tahun. Untuk tahun pertama (2008) dan 15 tahun kemudian (2022), Aceh mendapat setara dua persen plafon dana alokasi umum Nasional dan di tahun ke-16 (2023) dan lima tahun selanjutnya (2028) akan mendapat setara satu persen plafon dana alokasi umum nasional. Maka bisa dipastikan, Aceh akan menjadi daerah yang maju.

Alokasi dana yang sangat besar ini makin menegaskan pentingnya keseriusan berbagai pihak untuk mendampingi dan membuat Gampong lebih baik dalam tata kelola pemerintahannya. Ini penting agar dana pembangunan bisa tepat sasaran dan menyentuh kalangan masyarakat yang berada di Gampong.

ADG menuju Gampong Mandiri
Merujuk pada PP 72 tahun 2005, salah satu hak yang menjadi penerimaan Gampong adalah ADG (Alokasi Dana Gampong). ADG merupakan perimbangan dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipotong minimal 10 % dari DAU setelah dipotong operasional yang harus dikembalikan kepada Gampong.

Menurut kamaruddin (Kepala bagian Biro Pemerintahan NAD) besaran dana ADG minimal yang harus diterima oleh Gampong adalah Rp. 25 juta, jika pemerintah kabupaten/kota masih menyalurkan dana ADG kurang dari Rp. 25 juta maka dana tersebut bukanlah berbentuk ADG tetapi bantuan Desa/Gampong.

ADG untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baru diberikan pada 17 kabupaten/kota dari 23 kabupaten/Kota yang ada, maka diharapkan tahun 2009 semua Gampong di NAD sudah bisa menerima ADG.

ADG dalam masyarakat memiliki nilai yang sangat strategis. Berdasarkan pengalaman beberapa Kabupaten yang telah menyalurkan ADG untuk Gampong dan salah satunya Kabupaten Aceh Barat Daya, ADG menumbuhkan kembali semangat pemerintahan di tingkat Gampong dan mampu menggerakkan energi pemerintahan di tingkat Gampong menjadi lebih aktif. Selain itu, pemberian ADG diharapkan mampu menumbuhkan Pendapatan Asli Gampong (PAG).

Dana ADG juga dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan dapat menjadi solusi terhadap pembangunan berskala kecil yang ada di tingkat Gampong. Akan tetapi juga banyak Gampong yang ‘terkejut badan’ dalam mengelola ADG. Pemakaian dana tidak efektif dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, Gampong harus dibantu dalam pembuatan perencanaan dan penganggaran Gampong.

RPJMG, RKPG dan APBG
Gampong harus membuktikan bahwa Gampong bisa professional dalam mengelola sumber-sumber pendapatan Gampong baik yang diterima dari PAG, dana dari pemerintah, maupun dana dari pihak ketiga.

Untuk itu, Gampong haruslah menyusun RPJMG (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Gampong) yang merupakan perencanaan pembangunan Gampong dalam waktu lima tahunan. RPJMG yang disahkan menjadi qanun Gampong harus dituangkan dalam rencana tahunan Gampong, yang disebut RKPG (Rencana Kerja Pemerintahan Gampong) dan disahkan melalui Keputusan Keuchik. Dan dari sana akan dilahirkan qanun Gampong yang disebut dengan APBG (Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong).

Perencanaan dan penganggaran yang ada di tingkat Gampong ini memiliki sejumlah fungsi. Pertama, memudahkan Gampong dalam menentukan arah kebijakan pembangunan Gampong. Kedua, memberikan nilai transparansi dan akuntabilitas dari kebijakan pembangunan fisik, ekonomi, maupun sumberdaya masyarakat maupun pengelolaan dana Gampong.

Gampong yang memiliki perencanaan sudah memiliki penilaian kerawanan Gampong, baik rawan pendidikan, rawan pengangguran, dan rawan kesehatan. Hal ini memudahkan Gampong dalam mengambil kebijakan untuk mengatasi masalah pendidikan, memperkecil angka pengangguran, dan kemiskinan di Gampong.

Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (BKPG) untuk tahun 2009 diberikan sebesar Rp. 100.000.000,- per Gampong yang bersumber dari APBA dan dari tiap-tiap Kabupaten/Kota paling sedikit harus diberikan sebesar Rp. 25.000.000,- per Gampong yang disebut dengan Alokasi Dana Gampong (ADG).

Untuk mempermudah pengelolaan bantuan keuangan tersebut di tingkat Gampong maka oleh Gubernur Aceh turut mengeluarkan kebijakan nomor 25 tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan bantuan keuangan peumakmue Gampong dalam Propinsi Aceh dan untuk pengelolaan dan pertangungjawab ADG merujuk pada peraturan Bupati/wali kota.

Dengan banyaknya kepedulian terhadap Aceh, mulai saat ini dan seterusnya Aceh akan mengukir sejarah dengan tinta emas perdamaian, bukan lagi sejarah heroik perang dan konflik yang sudah kadaluarsa dimakan waktu, Gampong di Aceh harus bangkit dalam persaingan pembangunan dan peningkatan sumberdaya manusia agar dapat menjadikan Aceh lebih bermartabat dimata dunia.

Marbawi Abdullah, SP adalah  Mnger. Program Perkumpulan BIMa
Previous Post Next Post