Model Pelayanan Kesehatan Jiwa Di Norwegia

Aiyub Ilyas kelahiran Cot U Sibak Biereuen 31 Mei 1974,
Kini Mahasiswa Program Master Keperawatan
 Jiwa Herdmark University Collega-Norwegia.
WAA - Sabtu 25/04/2009 Catatan Dari Norwegia

NORWEGIA -Norwegia sebagai salah satu negara skandinavia dengan luas wilayah 3,8 juta km2 yang dihuni oleh 4,6 juta penduduk merupakan salah satu negara makmur di Eropa. Penghasilan utama negeri ini dari minyak bumi yang menyumbang devisa paling besar bagi penyelenggaraan negara.Diikuti hasil tambang, hasil laut, hasil hutan dan beberapa sumber pemasukan lainnya, membuat negara ini terkenal sebagai neraga makmur dan tidak mempunyai hutang luar negeri. Norwegia merupakan salah satu negara yang banyak menerima para pencari suaka politik dari berbagai negara di dunia yang dilanda konflik, termasuk dari Aceh. Negara memperlakukan mereka sama dengan warga negara Norwegia lainnya yang mempunyai hak asasi yang patut dilindungi. 

Sehingga tidak heran di Norwegia terdapat 349 ribu imigran dari luar dan 100 ribunya adalah pengunsi dengan latar belakang politik. Sebagai negara kaya dan demokratis, rakyat mendapat perlindungan yang sangat baik dari negara, sehingga mereka dapat hidup makmur dan bisa dikatakan berlebihan. Perlindungan yang diberikan negara juga meliputi pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas. Salah satunya adalah hak penduduk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas dan manusiawi. Pelayanan kesehatan jiwa di Norwegia dirancang sedimikian rupa, sehingga para penderita gangguan jiwa (gila) diperlakukan secara manusiawi dengan menjunjung tinggi hak sebagai manusia dan sebagai warga negara yang sama dengan warga negara lainnya. 

Norwegia memiliki banyak pelyanan kesehatan jiwa yang tersebar di seluruh pelosok negeri dan dengan mudah dapat dijangkau oleh penduduk. Pada awalnya Norwegia memberlakukan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang sentralistik, dimana pasien dengan sakit jiwa semuanya dirawat di rumah sakit jiwa. Keadaan ini telah membuat pelayanan kesehatan jiwa menjadi sangat buruk dan tidak manusiawi. Karena rumah sakit tidak punya cukup fasilitas untuk menampung sekian banyak pasien. Sehingga pelayanan yang diberikan pun tidak lagi menyentuh asas kemanusiaan.

Setelah beberapa kali studi yang dilakukan departemen kesehatan baik di dalam dan luar negeri, akhirnya Norwegia melakukan perubahan menyeluruh dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa, dimana rumah sakit tidak lagi menjadi pusat pelayanan bagi pasien jiwa, tapi rumah hanya akan melayani pasien jiwa akut yang beresiko terhadap keselamatan dirinya dan orang lain. Pemberlakuan sistem ini dilanjutkan dengan pengembalian pasien yang menumpuk di rumah sakit jiwa ke masyarakat, sehingga mereka dapat hidup normal dalam masyarakat, tidak lagi terkurung di rumah sakit ibarat seorang tawanan yang berada dalam terali besi yang mendapatkan pengawasan ketat ibarat seorang penjahat dari pemberi pelayanan kesehatan. 

Pada tahap awal, keadaan ini sempat mebuat gempar para keluarga pasien karena mereka tidak mampu dan tidak mempunyai pengetahuan tentang bagaimana merawat pasien jiwa di keluarga, sehingga hal ini menimbulkan protes dari masyarakata dan politisi terhadap kebijakan yang diambil oleh departemen kesehatan. Protes ini merupakan titik awal dari perubahan sistem pelayanan yang berbasis rumah sakit (sentralisasi) kearah berbasis masyarakat (desentralisasi), dimana penderita gangguan jiwa dengan mudah mendapat pelayanan kesehatan jiwa di masyarkat. Kemudian berdirilah berbagai fasilitas kesehatan jiwa didalam masyarakat, seperti pusat kesehatan jiwa masyarakat, pusat kesehatan jiwa keluarga, rumah aktivitas bagi penderita gangguan jiwa, pelayanan kesehatan jiwa di rumah dan pusat kesehatan jiwa di sekolah.

Untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa disetiap pusat pelayanan kesehatan jiwa, pemerintah Norwegia menempatkan tenaga-tenaga kesehatan yang berkualitas, seperti adanya dokter keluarga sebagai pusat rujukan  pertama masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa. Kemudian pemerintah juga menempatkan banyak perawat jiwa pada setiap unit pelayanan kesehatan yang dibantu oleh para pekerja sosial yang telah dilatih tentang penanganan pasien jiwa, serta menempatkan spesialis jiwa untuk penanganan tindak lanjut sebelum pasien di rujuk ke rumah sakit jiwa atupun ketika pasien kembali dari rumah sakit jiwa ke masyarakat.

Pelayanan spesialis ini akan diperoleh pasien jiwa di pusat kesehatan jiwa mayarakat. Untuk lebih jelasnya mari kita melihat jalur rujukan penderita gangguan jiwa mulai dari tingkat yang terkecil hingga ke pasien dimasukkan ke rumah sakit jiiiwa. Bila masyarakat mengalami masalah dengan gangguan jiwa, maka dengan cepat mereka dapat mengakses pelayanan kesehatan di dokter keluarga (fastlegen). Disini sang dokter akan menentukan seberapa berat pasien mengalami masalah kesehatan jiwa. Bila pasien berada dalam keadaan tenang, tapi memerlukan konsultasi spesialisasi, maka mereka akan dirujuk ke pusat kesehatan jiwa masyarakat yang menyediakan pelayanan sepesialisasi. Bila pasien dalam keadaan gawat, maka pasien dapat di rujuk ke rumah sakit jiwa. 

Di rumah sakit jiwa, pasien tidak langsung dimasukkan ke ruang akut, tapi mereka akan dipantau selama 2-3 hari di ruang emergensi, dan bilan dalam waktu tersebut pasien menjadi tenang, maka pasien akan dikembalikan ke keluarga dengan membawa surat rujukan ke pusat kesehatan jiwa masyarakat. Tapi bila pasien dalam waktu pemantauan menunjukkan gejala berat yang dapat mengganggu keselamatan dirinya dan orang lain, baru dia bisa dirawat di ruang akut rumah sakit jiwa. Begitu juga halnya bila pasien anak-anak, dokter keluarga akan menentukan kemana si pasien akan dirujuk, apakah cukup hanya berkonsultasi ke pusat kesehatan jiwa keluarga atau ke pusat kesehatan jiwa masyarakat bahkan bila keadaan sangat buruk akan di rujuk ke rumah sakit jiwa. 

Anak dengan usia sekolah juga akan mendapat perhatian khusus oleh pusat kesehatan jiwa sekola, sehingga bila terjadi beberapa kelainan yang serius akan cepat dilaporkanke keluarga untuk mendapat penanganan lebih lanjut dari instansi pelayanan kesehatan jiwa terkait. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa ini, terjadi kerja sama yang erat antar setiap instansi pelayanan yang ada. Sehingga setiap pasien jiwa yang ada dalam masyarakat akan selalu terdeteksi perkembangannya oleh pusat pelayanan kesehatan jiwa yang ada. Tidak hanya itu, pasien jiwa yang hidup dalam keluarga akan mendapat pemantauan dari pekerja sosial yang konsen terhadap permasalahan kesehatan jiwa. 

Pasien jiwa juga dengan mudah dapat berkunjung ke rumah singgah yang menjadi pusat aktivitas penderita gangguan jiwa  atau menelpon pekerja sosial, bila dia merasa membutuhkan seseorang untuk berbicara dan menemani mereka. Karena sangat penting bagi pasien jiwa bila mengalami perasaan tidak menentu, ada seseorang yang menemaninya untuk membicarakan permasalahan dan bila memungkinkan mencari solusi pemecahan masalah. Pasien jiwa juga setiap saat bisa berkunjung ke rumah singgah, ke pusat kesehatan masyarakat atau pusat kesehatan keluarga bila mereka membutuhkan bantuan. Semua pusat pelayanan tersebut juga menyediakan berbagai aktivitas kepada pasien jiwa yang dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan minat bakat mereka, untuk menumbuhkan perasaan bahwa mereka masih dibutuhkan dalam kehidupannya.

Kegiatan-kegiatan itu bisa berupa pertukangan, seni gambar, seni drama, seni musik, pembuatan kue dan makanan, kegiatan olah raga dan banyak lainnya. Kelompok ini sangat membantu pasien untuk meningkatkan kepercayaan diri dan penting untuk sosialisasi. Bagi pasien-pasien yang akut dan membutuhkan perawatan seumur hidup, pemerintah menyediakan tempat tinggal seperti apartemen yang disewa untuk ditinggali oleh penderita gangguan jiwa lengkap dengan petugas sosial yang siap memberi bantuan bagi mereka. Mereka bisa hidup layaknya masyarakat pada umumnya, namun bila mereka membutuhkan bantuan maka pekerja sosial akan memberikan bantuan untuk mengatasi permasalahan yang di alami.

Lebih jauh lagi bagi penderita gangguan jiwa yang telah kehilangan pekerjaan karena gangguan jiwa yang dialaminya, maka ketika keadaannya membaik,  pusat pelayanan kesehatan jiwa akan berkerja sama dengan departemen tenaga kerja untuk mencari perusahaan-perusahaan kecil yang mau menampung mereka untuk bekerja. Departemen tenaga kerja juga akan memberi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan penderita sesuai dengan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan tersebut. Untuk meningkatkan kemampuan pasien jiwa agar dapat kembali ke dunia kerja, pemerintah membangun pabrik, seperti pabrik makanan, pertanian dan lainya yang semua pekerjanya dalah para bekas penderita gangguan jiwa. 

Mereka akan digaji sebagaimana layaknya pekerja pada umumnya, karena mereka punya hak yang sama. Setelah mereka benar-benar mampu untuk bekerja, maka mereka akan dicarikan pekerjaan diluar sesuai dengan kemampuan yang telah dimilikinya. Begitulah bentuk pelanyanan kesehatan jiwa yang diberikan pemerintah Norwegia kepada setiap penderita gangguan jiwa, sehingga kita tidak pernah menjumpai ada penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di jalanan tanpa ada pelayanan yang layak, kita sangat jarang melihat penderita ganggun jiwa yang bunuh diri, tidak ada yang dipasung dan tidak ada juga yang menjadi beban berlebihan bagi keluarga. 

Pemerintah selaku tempat masyarakat berlindung dan memperoleh pelayanan telah menjalankan fungsinya dengan baik untuk melindungi setiap masyarakat, sehingga mereka akan mendapat hak-hak mereka secara adil. Bila dilihat dari fenomena ini Nanggroe Aceh Darussalam juga membutuhkan bentuk pelayanan kesehatan jiwa yang manusiawi dan berkualitas, apalagi setalah konflik dan Tsunami yang secara statistik telah meningkatkan penderita dengan gangguan jiwa. Hal ini bisa terjadi bila ada orang-orang yang benar-benar mau berfikir dan bekerja keras untuk membangun sebuah sistem pelayanan kesehatan jiwa yang baik, yang jauh dari aroma korupsi memiliki rasa pri kemanusiaan dan bertekat memperlakukan pasien jiwa secara manusiawi yang mempunyai hak sebagai warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Memang pada akhirnya manusia hanya dapat berharap, berdoa dan berusaha, namun Alla SWT jualah yang menentukan. 

Namun Nanggroe dengan syariat islam adalah suatu kewajiban bila abdi negara melayani masyarakatnya dengan baik dan benar, sehingga eforia akan kebanggan masa lalu akan kembali dapat diraih, apalagi setelah PA menag dalam pemilihan parlement di Aceh, secara defakto sekarang Aceh dikuasai oleh para pejuang yang sudah lama menrindukan kebangkitan era Iskandar Muda. Oleh karena itu saatnya kita bisa berharap, penderita gangguan jiwa juga berharap, nasib mereka akan baik ditangan orang-orang yang mengaku dirinya cucu Iskandar Muda.

Penulis adalah Aiyub Ilyas kelahiran Cot U Sibak Biereuen 31 Mei 1974, Kini Mahasiswa Program Master Keperawatan Jiwa Herdmark University Collega-Norwegia.
Previous Post Next Post