Tgk. Ampoen Rincoeng di salah satu rumah di pelosok kota Cairo, el-Marg Gadidah. [Foto Ampoen/Waa]. |
WAA – Kamis 07/11/2009 Oleh: Ampoen Rincoeng
“Barang siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka akan Allah mudahkan jalan baginya menuju surga”, (Hadis). Ya, begitulah kata Rasulullah. Dengan semangat keagamaan. Bangsa Aceh telah berlomba-lomba menuju negeri anbia, Mesir., dengan tujuan memperdalam ilmu agama sebagai motor bagi bangsa Aceh di Serambi Mekkah nantinya.
Karena terbesit dengan janji Rasulullah, walaupun sedikit bermodalkan bahasa Arab, mereka nekat menuju Mesir untuk memasuki universitss Al-Azhar. Dengan penuh pengorbanan bermodalkan bekal ala kadar, mereka mengusahakan dana dengan berbagai cara.
Ada yang orang tuanya mengusahakan dana dari simpananan yang sudah bertahun-tahun demi tercapainya cita-cita sang buah hati. Dengan harapan berkah hidupnya sebagai amal jariah yang akan memberi syafa’at kelak di akhirat. Terkadang menjual sawah, tambak, bahkan berusaha keras dengan berbagai cara untuk menjunjung amal mulia ini. Alhamdulilah dengan izin Allah, sampailah mujahid fi sabilllah ke negeri seribu menara.
Sesampai di Mesir, dengan berbagai pertimabangan memulai perjuangan, mereka memilih rumah yang termurah untuk mencukupi kebutuhannya, dikarenakan begitu mahalnya kehidupan di Mesir.
Kebanyakan lebih memilih tinggal di pinggiran kota, bahkan ada yang memilih tinggal di provinsi untuk meringankan biaya hidup. Itu semua siasat penduduk yang dipilih untuk mempertahankan hidup dalam perantauan. Yang penting bagi mereka adalah semangat untuk memperoleh ilmu yang berkah, meski menetap di rumah yang sempit bahkan terkadang tidak layak huni. Asalkan bisa tidur seadanya, makan seadanya, dan yang terpenting adalah bisa selalu bermunajat kepada Allah dengan tenang, itu sudah sangat syukur bagi mereka. Kehidupan apa adanya sudah sangat mendukung dalam perjuangan demi bangsa, agama, dan negara.
Bagaimana tidak, bukankah pendidikan itu sebagai saham pembangunan suatu bangsa untuk mempertahankan peradabannya. Bagaimana suatu peradaban akan bertahan dan berkembang tanpa adanya ilmu pengtahuan yang tinggi yang dimiliki dan diwariskan dari generaasi ke generasi. Tentunya dengan memiliki ilmu dari segala bidang yang membantu masyarakat dalam menjalani perannya di muka bumi.
Tidak dinafikan lagi akhlak mulia bangsa juga sangat diutamakan, sehingga mereka bisa menjalankan perannya dengan hati nurani yang bersih. Aceh sebagai wilayah yang beragama Islam tentu akhlak islamiah lah yang sangat mendukung pembangunannya. Bisa diteladani dari nenek moyangnya bagaimana kerajaan Aceh dulu bisa maju dan terkenal ke seluruh penjuru dunia dengan bermodalkan Islam sebagai administrasi dalam kerajaannya. Subhanallah!
Dapat kita pelajari dari negara-negara yang sudah maju, jangan jauh dulu kita melihatnya, Malaysia, dimana negaranya sangat peduli dengan pendidikan rakyatnya. Lihat saja, bagaimana kepedulian pemerintah Malaysia yang mengirim rakyatnya ke suluruh dunia. Jangankan ke mesir, Amerika, Eropa, bahkan di Indonesia juga banyak sekali pelajar Malaysia yang belajar beragam ilmu pengetahuan di berbagai provinsi, termasuk di Aceh. Bisa kita lihat dengan mata kita sendiri.
Mungkin mereka mengamalkan hadis Nabi, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Ada satu hal yang paling mengesankan untuk kita contoh, ketika gempa Sumbar terjadi, antusias pemerintah Malaysia untuk memulangkan pelajarnya dengan pesawat ketanah air, demi perlindungan keamanan.
Begitu situasi di Sumbar membaik, pelajarnya langsung dikirim kembali untuk melanjutkan studinya hingga selesai. Pejabatnya mengatakan, “Kami memulangkan mereka sebagai tanggungjawab kami untuk perlidungan mereka sebagai warga Malaysia dan kami mengantarnya kembali agar mereka bisa melanjutkan studinya hingga selesai, jangan sampai berakhir di tengah jalan”. Subahanallah! Adakah pemerintah Aceh demikian?.
Oke, pemerintah mereka kaya, tapi apakah Aceh miskin?. Bukankah begitu besar dana yang dikhususkan untuk pendidikan oleh pemerintah Aceh. Dari dana pembagian migas saja sudah miliyaran rupiah, belum lagi dari pos-pos yang lain. Terus, kemanakah arah pendidikan kita saat ini. Mengapa Aceh masih menduduki peringkat 33 nasional di bidang pendidikan?
Salah satu dari contoh kekurang pedulian pemerintah Aceh, dapat kita lihat mahasiswa Aceh di Mesir. Hingga kini mereka masih serba kekurangan fasilitas pendidikannya. Jangankan untuk memiliki asrama mahasiswa untuk aktivitas yang mendukung pendidikan, sekretariatnya saja masih sangat kecil. Itupun menurut sejarah berdirinya merupakan hasil sumbangan sesame mahasiswa Aceh di Mesir dan sedikit dana sumbangan dari para kontraktor, yang diurus oleh orang luar alias bukan orang Aceh sendiri.
Sungguh sangat disayangkan. Padahal mahasiswa daerah lain menilai mahasiswa Aceh sebagai mahasiswa yang kaya, karena kekayaann daerahnya, nyatanya hanya kulitluar saja yang dilihat. Untuk faktanya mahasiswa Aceh adalah mahasiswa termiskin dan bagaikan aneuk teubeoh (anak tidak terurus). Mungkin pemerintah yang miskin hatinya untuk kemajuan rakyat. Dimanakah engkau pemimpin Aceh? Masihkah engkau hidup?
Sejarah Iskandar Muda berjaya bukan hanya dikarenakan militernya yang tanggguh, tetapi kemajuan yang dicapai adalah berkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang sangat dipedulikan pemerintah. Bahkan bangsa Aceh dulu ada yang menuntut ilmu hingga ke timur tengah seperti Mekkah dan Mesir dengan dukungan pemerintah kerajaan.. Sampai sekarang kita masih bisa mengenal dengan yang namanya Buya Muda Wali, Hamzah Fansuri, Ar-Raniry, Syiah Kuala, bahkan yang menjadi pengajar di Mekkah, diantaranya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin el-Asyi, dan Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib Asyi di Mesir.
Belajarlah dari Aceh dulu yang maju menjadi kerajaan besar karena Islamnya. Apakah Aceh saat ini mau belajar dari barat yang memajukan negaranya, hanya dengan pembangunan di bidang ekonomi. Itupun ekonomi yang penuh kebohongan dan merugikan bangsa-bangsa lemah lain di dunia.
Ingatlah! Aceh negara Islam, maka kemajuaannya sangat bergantun kepada Islam. Hiasilah peradaban Aceh dengan peradaban yang Islami seperti dahulu kala. Jadikanlah pemerinah di Aceh dengan pemerintahan yang Islami. Berhukumlah dengan al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang sudah terbukti dan tidak diragukan lagi
kebenarannya. Allahummaj’al baladana baladan amina!
Alhamdulillah pemerintah sudah mengirim ratusan pelajar ke luar negeri dengan basis pendidikan yang bermacam-macam, seperti ke Australia, Malaysia, Jepang, negara-negara Eropa, dan negara-negara Amerika. Mereka itu bila kembali ke Aceh akan sangat membidangi semua bidang dan sangat mendukung untuk pembangunan Aceh ke depan.
Namun, bukankah Rakyat Aceh yang ada di Mesir merupakan generasi Aceh ke depan juga. Tetapi mengapa mereka seperti sudah menjadi anak tiri di mata pemerintah Aceh. Mengapa dana pendidikan yang didapati pelajar di sini turun dratis dari tahun ke tahun, bahkan untuk tahun ini mereka cuma bisa “sangak cap raheung” alias tidak mendapatkan apa-apa.
Apakah suatu negara akan bisa maju bila mereka melupakan agama, bukankah Aceh negeri Islam yang bahkan sekarang sudah berhukumkan syariat Islam kembali. Akankah pemerintah bisa berjalan tampa adanya para pakar syari’ah (agama) sebagai pondasi bangsa dan negara. Semoga untuk ke depan mereka lebih dipedulikan pemerintah. Allahummaftaf quluba ruasaina! Amiiin!
Ampoen Rincoeng adalah Aktivis WAA berdomisili di Mesir (Madinatul Bu’us, 5 November 2009)