Regulasi Kepolisian Baru Namun Tetap Tanpa Kriminalisasi Penyiksaan


WAAPernyataan dari Asian Human Rights Commission

Regulasi Kepolisian Baru Namun Tetap Tanpa Kriminalisasi Penyiksaan

HONGKONG - Pada tanggal 25 Juni, 2009 peraturan baru mengenai kepolisian akan diimplementasikan, waktu hanya satu hari berselang sebelum Hari Internasional PBB dalam Mendukung Korban Penyiksaan yang akan diperingati Jum’at ini, tepatnya pada tanggal 26 Juni. Disamping fakta bahwa peraturan baru ini merupakan batu loncatan yang dinantikan bagi reformasi kepolisian di Indonesia, kunci dari pemberantasan penggunaan penyiksaan secara luas adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap penyiksaan sesuai dengan standar internasional. Namun, hal tersebut masih belum terpenuhi dan hal ini membuka ruang bagi pelaku penyiksaan untuk terbebas dari hukuman, meskipun dengan adanya peraturan yang baru ini.

Indonesia telah menandatangi Konvensi menentang Penyiksaan (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) pada Oktober 1998. Namun dalam implementasi komitmen Indonesia terhadap Konvensi menentang Penyiksaan, Komite menentang Penyiksaan (Committee Against Torture) menemukan kelemahan dan kekosongan hukum yang belum dapat diatasi oleh para pembuat undang-undang.

Peraturan polisi mengakomodasi masalah penyiksaan dalam sepuluh (10) pasal yang berbeda (Pasal 5, 7, 10, 11, 13, 23, 24, 37, 38.2, 41) yang mencakup perlindungan terhadap penyiksaan biasa, penggunaan penyiksaan seksual (Pasal 13 (a)) dan bahkan larangan untuk menggunakan penyiksaan dalam keadaaan darurat pada Pasal 41.

Pasal 10 (e) dari peraturan tersebut mensyaratkan petugas kepolisian nasional untuk “menghindari untuk memulai atau mentoleransi segala bentuk penyiksaan atau tindakan kejam, tidak berperikemanusiaan dan tindakan merendahkan martabat atau hukuman, petugas penegak hukum juga tidak boleh menerapkan sistem tanggung jawab berdasarkan perintah atasan atau keadaan memaksa seperti keadaan perang sebagai pembenaran terhadap penyiksaan.” Pasal 11 (b) selanjutnya menetapkan bahwa polisi “tidak boleh melakukan (…) penyiksaan” kepada tahanan dan tersangka. Namun, hal ini pada praktiknya masih secara luas diberlakukan apabila dilihat dari berbagai kasus yang diterima oleh AHRC.

Hubungan antara hak kepada peradilan yang adil dan penyiksaan sebagai bagian dari mekanisme investigasi polisi diakui dalam Pasal 37 yang menyatakan bahwa polisi nasional “tidak boleh” menggunakan penyiksaan. Dokumen yang berjudul Regulation of the Chief of the Indonesian National Police, No. 8/2009 regarding the implementation of human rights principles and standards in the discharge of duties of the Indonesian National Police dapat diunduh dalam versi bahasa Inggris disini dari website Indonesia AHRC.

Sementara peraturan baru adalah kunci dari perkembangan atas perlindungan hak asasi manusia di negara ini, tindakan penyiksaan masih belum merupakan kejahatan atau tindakan criminal. Hal itu berari, aparat kepolisian yang menggunakan penyiksaan masih belum dapat dimintai pertanggungjawabannya di depan pengadilan dan dihukum penjara, seperti sanksi umum di negara-negara lain dan yang diharuskan oleh Konvensi menentang Penyiksaan lebih dari 10 tahun yang lalu.

Pada April 2009 dua kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dua korban. Korban pertama adalah Bayu Perdana Putra yang dilaporkan telah disiksa di Kantor Polisi Jakarta Utara. Korban lainnya adalah Carmadi, yang meninggal dalam penahanannya di kantor polisi Tegal, Jawa Tengah sebagai akibat dari penyiksaan yang dialaminya. Pada kasus yang lain, Zaenal M. Latif sangat beruntung dapat selamat dari penyiksaan yang harus dialaminya di Kantor Polisi Cilegon, Jawa Barat. Dalam kasus ini, seperti yang banyak terjadi, polisi yang melakukan penangkapan tidak memakai seragam dinas.

Beberapa kasus yang terjadi di Jawa ini merupakan puncak gunung es dimana sebagian besar kasus penyiksaan tidak pernah dilaporkan karena intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Khususnya,tersangka dari tindakan criminal atau tindakan illegal lainnya mererima “hukuman” dari kepolisian sendiri sebelum proses investigasi dilakukan dan kesalahan mereka tidak dibuktikan didepan pengadilan yang adil. Bagaimana hal ini dapat disebut sebagai keadilan?

Penyiksaan khususnya sangat meluas dilakukan pada daerah yang berkonflik seperti Papua dimana banyak tahanan politik yang dilaporkan mengalami penyiksaan. Namun, tidak hanya tawanan politik yang menderita penyiksaan yang dilakukan oleh polisi dan otoritas militer. Kebanyakan korban adalah warga biasa, lebih khususnya masyarakat miskin, yang menjadi target pertama pasukan keamanan. Di Papua, dimana kegiatan ekonomi dan kehidupan rakyat sipil diatur oleh kekuatan militer yang bergulat untuk merebutkan kekuasaan dengan polisi, kekerasan oleh petugas keamanan adalah hal yang sistemik.

Berbagai gerakan organisasi di Jakarta dan di daerah lain di Indonesia sedang merencanakan untuk menggelar demostrasi dan menyuarakan tuntutan mereka pada hari penyiksaan yang diperingati pada hari Jum’at: Jadikan penyiksaan sebagai kejahatan! AHRC berpendapat bahwa yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia adalah tinjauan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka menjadikan penyiksaan sebagai tindakan criminal dan mengakhiri rezim militer pada daerah-daerah terpencil di negara ini seperti provinsi Papua dan Papua Barat.

# # #
Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non pemerintah yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi terhadap isu-isu HAM di Asia. Organisasi yang bermarkas di Hong Kong ini didirikan pada tahun 1984.
—————————–
Asian Human Rights Commission
19/F, Go-Up Commercial Building,
998 Canton Road, Kowloon, Hongkong S.A.R.
Tel: +(852) – 2698-6339 Fax: +(852) – 2698-6367
Previous Post Next Post