Musliadi Ismail |
WAA - Aceh merupakan daerah yang kaya Sumber Daya Alam (SDA), terletak di selat malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan dunia, mempunyai sarana dan prasarana yang relative lengkap dan memadai, mempunyai anggaran dana tahunan (APBA) yang besar dan proporsional, mempunyai aturan dan regulasi (UUPA) yang memberikan kewenangan penuh sebagai daerah istimewa dan otonomi khusus yang membedakan Aceh dengan daerah lain di Indonesia, begitu juga dengan predikat “Aceh daerah modal”.
Akan tetapi Aceh saat ini belum mampu menjadikan daerah mandiri yang terlepas dari pengangguran, kemiskinan, swasembada pangan/sembako, malah sebaliknya Aceh sangat tergantung dari daerah lain terutama Medan (Sumatera Utara). Realita, kelebihan dan keunggulan Aceh dari daerah lain belum mampu diwujudkan demi kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dan pembangunan/perkembangan dalam semua sector kehidupan. Dari masa ke masa, Aceh banyak mengalami kemajuan dan perkembangan yang fluktuatif, akan tetapi tidak sedikit pula kemunduran dan kemerosotan yang terjadi seiring dengan pergantian pemimpin, perubahan waktu, perbedaan pola pikir, gesekan kepentingan, dan perubahan system dalam tatanan kehidupan masyarakat, dan berbagai factor lainnya.
Kaitannya dengan hal diatas, ada beberapa point penting yang menjadi catatan penulis antara lain :
1. Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang memberikan hak istimewa dan otonomi khusus dalam mengatur daerahnya sendiri, akan tetapi UUPA hanyalah baru sebatas teori tanpa aplikasi maksimal di lapangan akibat belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) dan aturan turunan lainnya, sehingga 6 tahun berjalan Aceh belum mampu menunjukkan perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bahkan UUPA menjadikan Aceh ibarat pepesan kosong atau angin surga untuk mereda konflik sesaat antara Aceh dan pemerintah pusat Jakarta.
2. Sabang merupakan daerah perdagangan dan pelabuhan bebas, daerah terluar Aceh bahkan nusantara, terletak di selat Malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan dunia, akan tetapi Sabang belum mampu mengadakan aktifitas ekspor impor barang dan jasa lainnya akibat belum terbitnya berbagai aturan dan regulasi dari pemerintah pusat Jakarta, padahal sudah 10 tahun berlalu Sabang di tetapkan sebagai daerah perdagangan dan pelabuhan bebas.
3. Aceh mempunyai banyak pelabuhan dan bandara bertaraf domestic dan internasional yang memadai dan relative lengkap untuk kegiatan ekspor impor (pelabuhan Sabang, Malahayati, Krueng Geukueh, Kuala Langsa, Jetty Meulaboh, juga bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh dan 10 bandara perintis lainnya). Namun semua pelabuhan tersebut mengalami mati suri akibatnya mayoritas produk unggulan Aceh harus di ekspor lewat pelabuhan Belawan Medan, sehingga Aceh yang punya barang, malah Medan yang punya nama (nilai jual). Ini sudah berlangsung lama dan diketahui oleh semua pihak dan pemangku jabatan di Aceh. Namun hingga saat ini pemerintah Aceh belum mampu mengubah realita. Adanya kepentingan politik dan ekonomi sekelompok orang di pusat dan regional sangat mempengaruhi terhadap kehidupan pelabuhan dan bandara di Aceh. Dugaan dan rumor yang berkembang adanya kekhawatiran sekelompok pihak bila pelabuhan terluat Aceh mampu hidup dan berkembang pesat, maka aktifitas ekspor impor pelabuhan Belawan Medan akan menurun dan bangkrut.
4. Aceh terletak diujung pulau sumatera, hanya satu jalur darat yang dapat ditempuh dari Sumatera Utara, juga berhubungan langsung dengan selat Malaka yang merupakan pintu gerbang perdagangan dunia. Ini merupakan tantangan dan harapan bagi Aceh dan daerah lain. Bila Aceh mampu melakukan dan memaksimalkan potensi letak geografis , maka Aceh akan memjadi pintu gerbang utama (main gate) ekspor impor barang dan jasa ke daerah lain di Sumatera bahkan nusantara. Sebaliknya Aceh akan terus terisolasi dan bergantung dari daerah lain terutama Medan.
5. Minimnya investasi, industry, dan pelaku bisnis di Aceh akibat berbagai kendala ; factor keamanan, jaminan regulasi dan kemudahan birokrasi, sarana dan prasarana yang relative belum memadai dan lengkap. Aneh dan sangat ironis berbagai industry raksasa di Aceh menjadi kolaps akibat tidak adanya jaminan bahan baku gas (KKA, PIM, AAF, dan lainnya). Padahal ladang gas berada di daerah sekitar perusahaan tersebut, ibarat ayam mati dalam lumbung padi, lagi-lagi alasan factor kepentingan politik dan ekonomi para pejabat yang berwenang.
6.Aceh belum dijadikan sebagai daerah sentral regional sumatera bagian utara, karena itu sebagian besar kewenangan birokrasi dan aturan, Aceh harus mengikuti dan tunduk kepada kantor pusat regional di Medan (Sumut) seperti : kopertis 1 Sumut-Aceh, PLN, Telkom, BBM/elpiji, industry otomotif/sepeda motor, PT Pos, pelabuhan, bandara, balai bina marga, balai pelatihan dan ketrampilan tenaga kerja, dan lain sebagainya. Ini menjadikan Aceh jauh dari perhatian dan kepedulian pihak yang berwenang.
7. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan pangan, sembako, industry, elektronik, garmen, material bahan bangunan Aceh sangat tergantung pada pasokan dari Medan. Ini membuat ekonomi Aceh sangat ditentukan oleh Medan seperti kelangkaan, permainan harga, dan kepentingan lainnya. Sementara Aceh hanya bisa menjual bahan baku mentah, produk daur ulang, dan sebagian kecil hasil alam.
8. Sebagian besar pengguna kenderaan bermotor (mobil dan sepeda motor) di Aceh menggunakan nomor polisi daerah Sumatera Utara (BK). Padahal pemiliknya orang Aceh, beroperasi di Aceh, tinggal di Aceh, bisnisnya di Aceh, sementara bayar pajak ke Medan (Sumut). Sungguh sangat merugikan Aceh terhadap pendapatan daerah dari sumber pajak kemderaan bermotor.
9. Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, mestinya Aceh harus tampil beda, lebih maju, aman dan damai dari daerah lain. Adanya polisi syariat (WH), hukum cambuk, ujian baca Qur-an bagi calon pemimpin Aceh, wajib memakai busana sopan dan menutup aurat di tempat umum, papan nama instansi pemerintahan bertulisan Arab, belum cukup memadai terhadap julukan “daerah penerapan syariat Islam”. Akan tetapi adakah situasi dan kondisi masyarakat Aceh yang Islami dalam berbagai aspek kehidupan ?, seperti birokrasi yang bebas KKN, tempat ibadah (masjid) yang dipenuhi jamaah dalam setiap waktu shalat, jeda aktifitas selama azan berkumandang, daerah aman dan damai, dan lain sebagainya. Inilah yang belum terjawab, sehingga terkesan miris dan tidak bedanya dengan daerah lain.
Inilah beberapa point penting yang terasa aneh dan menganjal terhadap kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan Aceh.
Harapan kepada pemimpin Aceh, pihak berwenang, ulama, dan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk dapat bahu membahu, mendukung dan bekerjasama, satu pandangan dan pola pikir guna segera mewujudkan Aceh meraih kejayaan semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Semoga segera menjadi realita.
Oleh Musliadi Ismail Perawat Aceh yang tinggal dan bekerja di RS pemerintah Kuwait.