Lembaga ACDK Bentuk Kelompok Petani Tambak Di Simpang Mamplam

Budi daya ikan kerapu di Rheuem Barat, kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen, atas saran Fauzi (Sanjai) mantan kombatan GAM (Foto/Acdk)

WAA - Setelah terjadi Tsunami dan konflik berakhir beberapa waktu lalu yang melanda Aceh dan sekitarnya, sejumlah petani tambak di pesisir mulai bergerak mengembangkan potensi sumber daya alam hayati, salah satunya adalah pembudi dayaan ikan kerapu yang di jalankan Saifullah.

Sore itu senin, 12 november 2012, sejumlah tim dari ACDK , antarannya Tarmizi AGe (Pembina ACDK), Idris Kasem (Manager Program), Irwansyah (Dokumentasi dan Publikasi ACDK) serta Mursalin (tokoh pemuda Bireuen), kami bergerak dari Bireuen mengendari sepeda motor menuju lokasi budi daya ikan kerapu di Rheuem Barat, kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen, atas saran Fauzi (Sanjai) mantan kombatan GAM yang ingin petani tambak di Simpang Mamplam bangkit dari keterpurukan.

Ketibaan rombongan ACDK di sambut dengan ramah oleh Saifullah dan pekerjanya yang giat menjalankan aktifitas pemberdayaan ikan kerapu, begitu tiba tim ACDK menawarkan petani tambak di situ ngobrol prihal kemajuan dan kendala dalam memajukan usaha mereka.

Saiful mengisahkan, usaha ini sebenarnya sudah kami mulai sejak tahun 2000, dan kemudian terhenti karena tsunami melanda Aceh termasuk di daerah ini, selepas tsunami kami di latih kembali oleh sebuah lembaga International FAO (Food and Agriculture Organisation) pada november 2008, dan saya memiliki sertifikat yang di tanda tangani oleh David Curri (Project Coordinator) dan Arun Padiyar (Int. AquaculturebExpert) yang di laksanakan di sekolah usaha perikanan menengah negeri (SUPM) Ladong, Aceh Besar.

Ketika ditanya kendala dalam melakukan aktifitas budi daya kerapu, Saifullah sang pimpinan dalam usaha tersebut, jika kerapu Aceh ingin kita majukan di Bireuen tentunya masih cukup banyak kekurangan, kami di sini memiliki areal mencapai 25 hektar, dengan kapasitas tersebut kami butuh pukat untuk menangkap bibit (nener), kelambu hijau untuk penampungan bibit, kelambu hitam untuk pemeliharaan bibit, keranjang untuk menghitung bibit (nener), sondong (alat untuk mencari pakan nener), saring ikan kecil dan keramba untuk pembesaran kerapu.

Disampaikan kepada rombongan ACDK, untuk saat ini kami sedang membudidayakan sekitar 10 ribu bibit (Nener) untuk kemudian dijual dalam kurun waktu satu hingga dua bulan, sedangkan pekerjanya kami rekrut dari sejumlah pemuda setempat, sebenarnya kami punya rencana untuk membesarkan sendiri bibit kerapu disini untuk kemudian dijual setelah berumur 8 hingga 9 bulan, tapi kami tidak termampu karena butuh biaya besar, terutama menyangkut pakan.

Fauzi (Sanjai) mantan kombatan GAM yang ingin petani tambak di Simpang Mamplam maju, kepada tim ACDK menyampaikan keinginannya agar pembudidaya kerapu di perhatikan pemerintah, lembaga lokal dan international, sehinggga produk kerapu di Aceh bisa menjadi produk unggulan dan selanjutnya akan menyerap sejumlah pengangguran dapat memiliki pekerjaan.

Tarmizi Age (mukarram) pembina lembaga ACDK setelah melihat prospek perikanan di Simpang Mamplam sangat potensial untuk dimajukan, lansung saja menawarkan pembudidaya kerapu untuk membuat sebuah kelompok sehingga lebih mudah dan terkonsentrasi dalam usaha – usaha kampanye kedepan, tawaran Mukarram ternyata disambut gembira oleh petani tambak termasuk sanjai, akhirnya sebuah kelompok di sepakati dengan nama kelompok ”Kerapu Aceh”, dan ACDK bersedia membina dan mendampinginya sesuai kemampuan yang ada pada kita.

Idris Kasem Manger lembaga ACDK (AC-Denmark) sebuah lembaga yang giat membangun perekonomian masyarakat termasuk di bidang perikanan memberitau petambak, bahwa pemerintah kecamatan dan kabupaten Bireuen saat ini diyakini akan memberi perhatian penuh terhadap budi daya ikan, kami dari lembaga ACDK akan cuba melakukan upaya pendekatan dengan pihak terkait sehingga Kelompok Kerapu Aceh bisa menembus pasar Internasional.

Oleh; Irwansyah Sebagai Dokumentasi dan Publikasi ACDK
Previous Post Next Post