WAA - " Ban ka trep ata salah ka meuhi beutoi " sepuluh tahun sudah Perdamaian antara GAM dan RI, kini organisasi yang didirikan oleh Wali Neugara Tengku Hasan Muhammad di Tiro, terlihat hampir kalah dalam hal perang urat saraf (psy war) melawan Indonesia.
Mengapa GAM bisa oleng sedemikian rupa dan hampir kalah setelah memorandum of understanding Helsinki diteken di Finlandia pada 15 Agustu 2005?.
Padahal bila dilihat dari sisi lain, dengan adanya MoU Helsinki, Aceh sudah memiliki partai lokal seperti Partai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Damai Aceh–ada sejumlah parlok lainnya yang kemudian berguguran usai pemilu 2009–. Juga telah dibentuk lembaga yang seharusnya adhoc seperti Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dibentuk untuk proses integrasi kombatan TNA ke dalam masyarakat.
Secara simbolis dan tertulis, bahwa Partai-partai lokal adalah salah satu amanah dalam Perdamaian RI/GAM. Tapi sayangnya, dalam mengemplementasikan semua ini ternyata GAM kelihatan gagal. Kegagalan ini tidak lepas dari teledornya orang-orang yang ada dalam organisasi yang dideklarasikan oleh Wali Neugara. Mereka telah lalai dengan agenda plan B, sehingga melupakan tujuan awal yang sudah dirancang dalam plan A.
Mari kita lihat di mana kegagalan GAM? Di awal-awal Perdamaian, GAM diberikan kebebasan membuka kantor di setiap daerah, lengkap dengan bendera dan lambang. Tapi kemudian kantor – kantor GAM yang dibuka dengan legal ini dengan cepat ditutup kembali. Penutupan ini berdasarkan atas keputusan satu dua orang di tubuh GAM yang mengambil kebijakan yang tidak bijak. Ego sepihak telah mengabaikan suara terbanyak yang bersikukuh bahwa kantor GAM harus tetap berdiri di seluruh Aceh.
Penutupan tersebut dilakukan tanpa musyarawah GAM bansigom Atjeh ataupun bansigom donja. Humam Hamid-hasbi Abdullah atau disingkat H2O dengan Irwandi-Nazar (Irna) pada pemilu 2006 juga salah satu punca awal kegagalan GAM memperkuat barisan dalam satu line.
Sehingga bermulalah masa-masa saling sikut. Kesempatan ini adalah peluang emas bagi mereka yg tidak suka terhadap MoU Helsinki. Dampak dari perseteruan tersebut ternyata merambat sampai sekarang. Rakyat Aceh yang jadi korban atas perseteruan ini.
Kemudian semua petinggi GAM memilih untuk mengambil jabatan ketimbang mengurus perdamaian. Padahal jikalau mereka tidak menerima jabatan seperti sekarang ini, maruahdan dan kedudukan mereka lebih tinggi dari yang ada. Ini juga kegagalan bagi GAM dalam mengintropeksi diri, sehingga tamong lam itoken (masuk dalam kaos kaki) dengan tanpa disadari. Masih banyak lagi masalah yang tak usah kita uraikan disini yang seharusnya tidak terjadi ditubuh GAM.
Hal itu tidak bisa dihindari, dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan tentang politik, sehingga pihak lain dengan mudah mengobok -obok pertahan GAM.
Kita ambil contoh masalah bendera dan lambang yang seharusnya bisa diselesaikan dalam dua bulan. Tapi faktanya telah memakan waktu kurang lebih 6 tahun–belum juga selesai–. Padahal silapnya cuma di aturan main. Kalau dalam istilah sepak bola, pihak Jakarta punya pemain setaraf Ronaldo, Messi, Marquez dan Zlatan. Sedangkan Aceh mengirim pemain nyang ladum capiek dan ladum buta (tidak berbobot-red) sehingga pihak Jakarta pun jadi bingung mau main dengan cara apa menghadapi pemain Aceh ini?
Maka tak heranlah pemain Aceh selalu menyepak bola ke gawang sendiri. Sehingga setiap kali pulang ke Aceh, tim capiek dan buta ini selalu membawa hasil cooling down–sebuah sikap yang tidak menang, draw pun bukan–.
Di sisi lain setelah 10 tahun Perdamaian ternyata GAM hana meupue kerja (Tidak jelas arah dan tujuan-red) Sebab setelah damai, ternyata GAM tak punya strategi, pondasi dan planing yang kuat untuk menghadapi sebarang rintangan, maka setelah 10 tahun damai kerja GAM terkendala begitu saja tanpa ada yang gubris.
Dengan kegagalan ini maka ada dua Kesempatan yang dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memojokkan GAM setelah setelah 10 tahun damai:
1. Kesempatan bagi mareka yang tidak pernah rela terhadap perjuagan GAM saat itu, kini merupakan kesempatan besar untuk mereka mencaci maki GAM dan menghina dengan sehina -hinanya nama baik GAM, dan hal ini disambut baik oleh generasi yang tidak mengenal sejarah serta asal usul GAM, serta generasi yang tidak tahu siapa saja tokoh-tokoh yang duluan “Syahid” untuk memperjuangkan mereka di bawah naungan GAM.
Mereka juga tidak tahu kalau GAM telah membawa nama Aceh sejajar dengan nama negara-negara lain di belahan bumi ini.
2. Kesempatan ini juga digunakan oleh teman seperjuang yang mana di dalam kehidupan mereka selalu membawa-bawa nama perjuagan GAM untuk mencari jabatan dan kedudukan dalam pemerintah atau di mata rakyat Aceh.
Inilah kesilapan GAM dan hal ini harus kita perhitungkan dengan serius, kalau GAM tidak mau terkubur untuk selamanya. Siapa yang bisa memperbaiki ini? Adalah orang GAM itu sendiri, sebab secara organisasi GAM bukan rakyat Aceh dan rakyat Aceh bukan GAM. Karena bukan semua rakyat Aceh suka akan GAM. Dan dikarenakan GAM adalah sebuah organisasi, maka GAM tak boleh melibatkan semua rakyat Aceh dalam struktur organisasi mereka.
Pertanyaan selanjutnya, setelah perdamaian dengan RI, kemana raibnya struktur GAM ? Pertanyaan ini bisa dijawab sama Teungku Malik Mahmud yang sekarang menjabat Wali Nanggroe. Karena ketika rapat terakhir GAM di sebuah wilayah di Aceh, beliaulah waktu itu yang membekukan struktur GAM.
Dari semua kesilapan dan kegagalan yang telah saya jabarkan tadi, maka dari itu, siapa saja yang menamakan diri mereka GAM yang komit dengan perdamaian haruslah tahu apa kewajiban dan apa kerja yang harus dilakukan setelah perdamaian.
Masih belum terlambat untuk memperbaiki nama baik GAM kembali, sehingga GAM bisa menjadi role model untuk rakyat nasional dan dunia international. Solusinya adalah kembali kepada GAM. Rapatkan barisan dibawah GAM, karena perdamaian di Aceh di motori oleh GAM maka kita harus perbaiki motor yang rusak itu sama sama.
Tanpa memikirkan sipolan djih ureung si pulan, dna sipulan njoe ureung si pulan. Tameudjeut-djeut tapeusaboh droe untuk peukoeng GAM untuk peuselusoe MoU, agar apa yang disiratkan dalam MoU itu bisa tercapai kelak, demi bangsa Aceh dan demi nama baik GAM.
Mari sama sama kita perkuat partai-partai lokal, karena semua partai lokal itu secara tidak langsung adalah alat rakyat Aceh untuk melanjutkan dari perjuangan bersenjata kepada perjuangan politik praktis. Kalaupun secara pribadi anda berlainan cara berpikir dalam hal Aceh, dan mungkin berbeda dalam mendukung pemimpin yang anda inginkan, jangan sampai anda membenci teman atau saudara anda yang mendukung pemimpin yang mereka pilih.
Jadikanlah GAM sebagai wadah pemersatu dan berbaurlah dengan semua orang dalam hal urusan pribadi dan dalam urusan mencari rejeki. Silakan jadi timses calon pemimpin Aceh manapun yang anda suka, karena pilihan anda adalah pilihan bersifat pribadi, bukan pilihan berdasarkan organisasi GAM. GAM tidak melarang anda untuk memilih dan menjadi timses Gubenur/bupati/ walikota manapun di Aceh, asal anda tidak mengganggu orang lain dan tidak mencemarkan nama baik GAM.
Wassalam Salam dame Dari pengasingan.
Aboebakar Rimueng Atjeh (Nama Samaran-red)
Penulis adalah salah seorang anggota GAM yang sekarang bermukim di Eropa.
Sumber : acehtrend.co