Demokrasi Indonesia Masih Semu

WAAKamis 16/04/2009 Pernyataan Sikap dari Asian Human Rights Commission Demokrasi Indonesia Masih Semu 

HONGKONG – Seiring dengan berlangsungnya Pemilihan Umum legislatif Indonesia yang ketiga, terhitung sejak rezim pemerintahan Orde Baru, beberapa pihak mungkin saja ingin sekali menyaksikan bagaimana Indonesia mentransformasikan dirinya menjadi sebuah negara yang lebih modern. Negara demokratis yang berhasil mengatasi rezim otoriter yang mencengkeram negeri ini selama lebih dari tiga dekade. Namun, kenyataan yang ada rupanya ilusif..

berlandaskan pada prinsip rule of law dan membangun masyarakat yang lebih menghargai pluralisme didasarkan pada lembaga peradilan yang independen. Tetapi sejak tahun itu pula, Indonesia secara konsisten terganggu dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga tersebut, dan juga selalu dihantui oleh kegagalan untuk memastikan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu memperoleh keadilannya. Beberapa tahun silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa pencapaian utamanya adalah untuk memberantas korupsi dan mengakhiri impunitas yang telah lama dinikmati oleh para pelanggar HAM.

Sementara pada bulan ini pemilihan umum legislatif akan menjadi standar bagi pemilihan berikutnya yakni pemilihan Presiden yang akan diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009. Janji-janji dan nilai-nilai yang diusung dalam masa kampanyenya mulai terlihat sebagai sesuatu yang murni populisme. Indonesia hingga kini masih memberi ruang dimana pelaku pembunuhan terhadap para pejuang HAM tidak terhukum.

Lima tahun (atau setara dengan satu periode kepresidenan) yang lalu, Munir Said Thalib dibunuh. Sementara sejumlah orang yang terlibat dalam pembunuhan Munir telah dihukum –dalam sebuah proses peradilan yang janggal yang membutuhkan adanya upaya hukum untuk meninjau putusan tersebut—orang yang diduga menjadi pelaku utama pembunuhan Munir masih dapat melanjutkan kariernya untuk turut membentuk kehidupan politik berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mantan Deputi Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Muchdi Purwopranjono, diputus bebas atas dakwaan pembunuhan pada bulan Desember 2008 kemarin, tidak lama setelah sebelumnya dua orang saksi kunci dari BIN mencabut keterangan mereka, meninggalkan tanda tanya besar bagi kita semua. 

Muchdi kini menjabat sebagai Wakil Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya, yang juga menjadi peserta pemilihan umum legislatif. Penerima Nobel Perdamaian Jose Ramos Horta pernah menyebut Muchdi sebagai salah seorang jenderal yang bertanggungjawab atas kehancuran Timor Timur ketika itu di tahun 1999. Keadilan sejati di Indonesia sulit dicapai. Janji-janji yang ditebar dalam masa kampanye pemilihan umum legislatif tahun ini masih berkutat di seputar pemberantasan kemiskinan dan korupsi, berdiri tegak berhadapan dengan dinding impunitas yang masih ada di Indonesia.

Lebih buruk dari itu, diskursus hak asasi manusia dan persoalan impunitas tidak nampak dalam perdebatan program-program partai dan calon legislatif. Akankah pemilihan umum kali ini akan membawa Indonesia berjalan ke depan menjadi negara demokrasi yang terlahir kembali, ataukah justru menjadi awal kemunduran bagi Indonesia, dalam hal penegakan HAM, keadilan sosial dan rule of law? Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sosial yang misalnya muncul di Papua Barat masih sangat bergantung pada pendekatan militeristik, dimana penangkapan terhadap aktifis pro-demokrasi yang melakukan unjuk rasa damai menjadi sangat umum terjadi. 

Pada tangal 3 April 2009, Kantor Bea Cukai Papua diserang massa dengan sejumlah asetnya dirampas dan 17 orang telah ditangkap oleh pihak kepolisian; sebuah tenda yang digunakan oleh aktifis mahasiswa juga dibakar habis. Sebagian dari mereka yang ditahan menghadapi dakwaan melakukan makar atau gerakan separatis. Dapatkah sebuah negara dikatakan demokratis ketika pada saat yang bersamaa aktor masyarakat sipilnya –aktifis, pejuang HAM dan lain sebagainya—menghadapi situasi seperti di atas, dan bahkan dimana pelaku pembunuhan aktifis HAM masih belum ada yang dihukum? Putusan bebas Muchdi menunjukkan ada disfungsi dalam sistem peradilan di Indonesia, dan bayang-bayang Munir menjadi saksi bagaimana sistem tersebut bergerak mundur. Sepertinya, semangat reformasi 1998 telah hilang di satu titik dalam perjalanannya.

Demokrasi tanpa rule of law bukanlah demokrasi yang jujur dan adil, dan proses demokrasi yang tidak mengedepankan keadilan adalah demokrasi semu. Tentang AHRC: Asian Human Rights Commission adalah sebuah organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi isu hak asasi manusia di Asia.

Organisasi ini didirikan pada tahuan 1984. —————————– Asian Human Rights Commission 19/F, Go-Up Commercial Building, 998 Canton Road, Kowloon, Hongkong S.A.R. Tel: +(852) – 2698-6339 Fax: +(852) – 2698-6367
Previous Post Next Post