Damee-damee

Mukhtaruddin Yakob bersma buah hatinya ketika di Ujong Blang [Foto Dok- Waa].

WAA  – Kamis 05/11/2009, Dame-dame adalah sebuah tulisan karya Mukhtaruddin Yakob yang di kirim untuk ikut serta dalam sayembara menulis yang di adakan oleh World Achehnese Associaton untuk tahun 2009.

Tulisan Dame-dame ini terpilih menduduki urutan “the third prospect winner” Hapan-III

Siapa Mukhtaruddin Yakob ?
Mukhtaruddin Yakob, lahir di Geudong, 21 Juni 1969, berpendidikan Dploma III Program Bahasa Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1992.

Pekerjaan beliat saat ini adalah sebagai Koresponden Liputan 6 SCTV Banda Aceh. Beliau adalah orang Gampong Lamladom, Banda Aceh.

Di awal permulaan pendidikannya, Mukhtaruddin Yakob menamatkan SD Negeri 1 Geudong, pada tahun 1982, dan kemudian melanjutkan SMP Negeri 1 Lhokseumawe hingga 1985, dan seterusnya ke SMA Negeri 1 Lhokseumawe hingga1988. Sejak 2004 hingga sekarang beliau merupakan Mahasiswa Universitas Terbuka.

Adapun Riwayat Pekerjaan saudara Mukhtaruddin Yakob adalah, Magang di Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh, (1992), Koresponden Harian Mimbar Umum, Medan (1993-1995), Koresponden Harian Merdeka, Jakarta (1995-1997), Koresponden Majalah Mingguan Tiras, Jakarta (1997-1998), Koresponden Majalah Dwi Mingguan Tajuk, Jakarta (1998-1999). Pengasuh Majalah Bulanan Nanggroe, Walhi Aceh (1998-1999), Koresponden Liputan 6 SCTV, Jakarta (1999-sekarang) dan sekaligus Pengasuh Majalah Kiprah Pendidikan, Banda Aceh (2002- sekarang)

Sedang pengalaman ekstrakurikuler saudara Mukhtaruddin Yakob adalah, In House Trainning SCTV, Jakarta – 2001, Hostilites and Environment Dangerous, Centurion and PJTV, Jakarta, Juli 2003, Documentary Election Film Trainning, In Docs and Internews, PJTV, Jakarta, Maret 2004, Indonesia Media Law and Policy Center, Banda Aceh 2006, Press Advocacy Tranning, AJI and Free Voice, Bireun Juli 2006, Developing professional broadcasting standards to reporting cultural/ethnic diversity and conflict Tranning , Jakarta Maret 2007, Developping Professional Broadcasting Standards Trainning ,Ohio University, United State of America, (July-August 2007), dan Trainning Investigasi Reporting, Free Voice and AJI, Medan, Januari 2008.

DAMEE-DAMEE

Oleh: Mukhtaruddin Yakob

“Aceh tak seksi lagi!” Awalnya ungkapan saya biarkan berlalu begitu saja. Bukan saja tidak penting, tapi meluncur bukan dari orang penting apalagi berpengaruh. Tak lama kemudian saya terhenyak juga dengan ungkapan tersebut. Dalam benak saya sempat berkecamuk antara ungkapan selintas atau ungkapan yang sarat makna dengan memakai istilah sedikit nakal.

Saya berusaha mencari berbagai kesimpulan terhadap ungkapan itu. Antara akal sehat dengan daya imajinasi pun saling berkecamuk. Memang tidak terlalu lama menemukan jawaban tersebut.. Ternyata ungkapan tak seksi terkait dengan makin sulitnya jurnalis menyuplai berita atau laporan peristiwa ke redaksi mereka. Berita ringan atau soft news tidak menarik bagi majikannya. Apalagi, hard news yang banyak dipasok dari daerah lain. Sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”.

Alasan ini diperkuat asumsi para senior di salah satu media. Mereka menganggap pemberitaan terhadap Aceh sudah habis-habisan atau mencapai klimaks ketika tsunami dan setahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Agenda koh beude atau decomisioning dan relokasi TNI/Polri yang berlangsung hingga akhir 2005 silam merupakan akhir dari proses ekplorasi berbagai peristiwa di Aceh. Yang terbaru adalah proses pemilihan kepala daerah langsung yang dilaksanakan Desember 2006 silam.
Bisa jadi tak seksi adalah asumsi jurnalis Aceh yang gemar dengan berita tam tum atau berita berbau rusuh. Sungguh disayangkan, jika format berpikir jurnalis di Aceh terkontaminasi dengan peristiwa kekerasan dan tragedi kemanusiaan.

Kekerasan dan duka lara kerap menjadi berita pilihan dan tak jarang muncul sebagai headline di media kita. Tak heran jika yang menuding bahwa kantor media di Indonesia bahkan dunia hanya tergiur dengan darah dan air mata. “Tanpa darah dan air mata, bukan berita!” Demikian tudingan yang kerap dialamatkan pada media sebelum perjanjian Helsinki .

Benar saja, image ini yang menjerumuskan para jurnalis terpatron pada jurnalisme kekerasan seperti bunyi senjata atau bentrokan. Petinggi media pun sumringah ketika ada gambar kerusuhan atau peristiwa berdarah. Konon pula ada tragedi kemanusiaan yang memancing emosi pembaca atau pemirsa atau pendengar.

Bisa saja para pemilik media berdalih, mereka menerapkan jurnalisme empati yang untuk menggugah penonton . Yang pasti jurnalis dan media sudah bersalah mengeksploitasi nasib masyarakat. Nah, format inilah yang tengah menggelayut para pekerja pers sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”

Padahal darah dan air mata pasti melahirkan dendam. Istilah darah air mata disingkat menjadi “dam”. Dam dalam terminologi Aceh identik dengan dendam. Jika dendam dipelihara , bukan tak mungkin Serambi Mekkah tinggal nama. Konon, unsur dam yang dibesar-besarkan, maka jurnalis pun tidak hanya mem-blow up dam tapi juga dendam.
Artinya, damai menjadi hal sangat sulit digapai. Karena dam masih belum bisa dikikis malah dipelihara bukan dijadikan pelajaran berharga untuk memulai kehidupan baru.

Jika fenomena ini dipelihara, jangan salahkan masyarakat jika jurnalis nantinya akan menjadi komunitas provokasi karena beritanya. Bahkan, lebih sadis menjadi provokator akibat laporan kekerasan selalu menjadi sajian infomasi setiap hari. Lalu, kemanakah nurani yang menjadi pijakan jurnalis melaporkan peristiwa mendatangkan dampak positif bagi warga Aceh. Jangan sampai jurnalis melahirkan kelompok jurnalis dendam. Karena dari dam bisa menelurkan damai. Artinya, damai tanpa dam bukan lagi suasana yang berlangsung sesaat, tapi selamanya, selama generasi itu ada.

Damai di sini bukan kepenjangan dari Darah dan Air Mata Anak Isteri atau Darah dan Air Mata Ibu-Anak. Tapi damai yang sesungguhnya. Juga bukan dame-dame alias boleh lebih kurang. Bukanlah dame-dame sebagai implementasi dari pelarian dari proses hukum seperti yang disaksikan di jalan raya atau “jual-beli” seperti kasus BLBI yang melibatkan para jaksa agung muda. Kalau damai dijadikan dame-dame, maka apa pun yang dilakukan menyelamatkan perdamaian bisa bertahan lama. Muaranya, Aceh terlibat lagi pada konflik yang saya yakini tak akan reda lagi.

Ikrar Lamteh yang pernah lahir pada 8 April 1957 silam, merupakan agenda dame-dame. Pemerintah Indonesia ingin meredam pemberontakan Teungku Muhammad Daud Beure-eh karena kecewa akibat Aceh dilebur dan digabungkan ke Sumatera Utara pada 23 Januari 1951 oleh PM Muhammad Natsir. Natsir bahkan mengumumkan secara langsung peleburan Aceh melalui RRI Banda Aceh . Padahal, propinsi Aceh baru berusia setahun lebih yang didirikan pada tanggal 17 Desember 1949.

Bagi yang pernah merasakan getirnya kondisi mencekam, pahitnya berada di bawah bayang ketakutan. Tak ada yang berharap bahwa suasana demikian hadir lagi dan meramaikan pemberitaan di Aceh. Ingat! Semua sudah lelah dengan perseturuan dan skenario yang menjijikkan.

Tak perlu berharap banyak dari pemberitaan kekerasan dan bombastis. Karena konflik Aceh sudah tak lagi jadi komoditi laporan menggiurkan. Bukan hanya untuk luar negeri, dalam negeri pun sudah tak sudi. Jadi, berhentikan berpikir bahwa berita ada jika kekerasan masih terjadi.

Begitu lelah, jurnalis berada di bawah tekanan. Bukan saja, oleh illegal, kelompok legal pun tak hentinya merongrong media. Sudah banyak korban harga dan jiwa. Tidak sadarkah kita pada pengorbanan teman-teman jurnalis yan telah mendahului. Sebut saja Jamaluddin, kamerawan TVRI Banda Aceh yang ditemukan tak bernyawa, Ersa Siregar yang tertembak dalam kontak senjata. Juga Feri Santoro yang hampir setahun berada di rimba penculikan GAM.
Peristiwa menimpa para jurnalis ketika konflik dan pemberlakuan darurat militer adalah kenyataan pahit. Darah dan air mata anak atau isteri begitu nyata ketika itu. Belum la
gi para pekerja kemanusiaan yang senantiasa terancam jika kekerasan masih saja menjadi brand mark daerah Serambi Mekkah. Biarlah, Aceh ini menjadi Darul Salam atau negeri damai daripada Darul Harb atau negeri perang.

Begitu panjang episode kekerasan di Aceh. Sejak pemberontakan pertama meletus Desember 1976 silam, hanya beberapa saat Aceh ini damai. Masa DOM yang berlangsung pada periode 1989-1998 bukan masa yang indah. Kuburan tanpa nama bertebaran di mana-mana. Pembantaian nyaris menjadi hal biasa dengan dalih penyematan negara. Demikian pula pasca pencabutan DOM periode 1999-2005. Ajang pembantaian baru seperti Tragedi KKA dan pembantaan Arakundo atau kasus Bantaqiah muncul. Maka biarkan damai bersemi untuk selamanya bukan sejenak seperti yang terjadi pada masa lalu.

“Memang enak hidup tak damai, “ begitu sindiran anak-anak yang sering terdengar. Bayangkan saja, bagaimana kehidupan malam bisa dinikmati tanpa rasa aman. Tegasnya, kehidupan malam saat konflik bagai barang langka yang tak bisa dibeli. Suasana mencekam, saling curigai dan tanpa tenggang rasa adalah bagian yang selalu mewarnai kehidupan warga Aceh. Jika, damai sudah digapai mengapa harus dilumuri lagi dengan kekerasan?

Jurnalis bukan malaikat atau manusia setengah dewa. Sebagai manusia biasa, dia tak kuasa membendung kekerasan. Jangan lupa, karya jurnalis jauh lebih besar efeknya daripada desingan peluru. Jika peluru bisa membunuh satu hingga beberapa orang, tapi berita bisa membumihanguskan kampung. Toh, masih ada berita seksi lainnya. Jurnalis bisa memilih berita korupsi atau investigasi yang lebih mendalam yang lebih bermanfaat daripada mengeksploitasi kekerasan. Namun, terserah bagaimana jurnalis menyikapi dengan arif.

Mukhtaruddin Yakob adalah Koresponden Liputan 6 SCTV dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh.
Previous Post Next Post