FOTO DOK – ACEHKITA.COM]. |
WAA – Jumat 18/09/2009 ” Tunda Pengesahan Qanun Jinayah dan Qanun Hukum Acara Jinayah demi Kepastian Hukum di Aceh”
Melaksanakan Syariat Islam bukanlah hal baru bagi masyarakat Aceh. Jauh sebelum Aceh diberi keistimewaan menjalankan Syariat Islam, masyarakat telah menerapkan nilai-nilai Syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Karenanya, ketika Pemerintah Daerah Aceh membuat hukum positif berdasarkan Syariat Islam (seperti Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah), maka keterlibatan aktif seluruh komponen masyarakat Aceh adalah sebuah prasyarat. Sebagai daearah yang dijadikan model penerapan Syariat Islam di Indonesia, Pemerintah Aceh juga berkewajiban untuk melahirkan peraturan perundang-undangan (hukum) yang membangun citra Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, penuh kasih sayang, damaii dan berkeadilan.
Sejak draft Rancangan Qanun Jinayah dirumuskan oleh Eksekutif, kemudian diserahkan dan dilanjutkan pembahasannya oleh Legislatif, kelompok sipil mencatat telah terjadi peminggiran terhadap aspirasi masyarakat sipil, yang tergabung dalam Tim Perumus draft Rancangan Qanun tersebut. Penciptaan situasi yang tidak kondusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi, terutama ketika draft Rancangan Qanun dibahas di tingkat Legislatif, telah berdampak pada lahirnya Rancangan Qanun yang lebih menitikberatkan pada semangat untuk menghukum secara kejam, dibandingkan dengan membangun aspek pendidikan dan keadilan.
Dengan rumusan seperti sekarang ini, Rancangan Qanun Jinayah bukanlah jawaban bagi kebutuhan masyarakat Aceh, bahkan sebaliknya berpotensi menciptakan konflik antar masyarakat yang dapat mengganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Beberapa permasalahan mendasar yang termuat dalam Rancangan Qanun Jinayah, diantaranya definisii yang multitafsir dan memunculkan ketidakpastian hukum, serta risiko kriminalisasi orang-orang yang tak bersalah, khususnya perempuan.
Selain itu dari sisi peraturan perundang-undangan, muatan Rancangan Qanun Hukum Jinayah telah bertentangan dengan semangat penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara, sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD Negara RI 1945 dan UU Pemerintahan Aceh sendiri. Beberapa pasal dalam Qanun Jinayah juga bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam UU HAM, UU Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Pengesahan Konvenan Anti Penyiksaan, UU perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU tentang Hukum Acara Pidana, Kompilasi Hukum Islam dan Qanun Perlindungan Anak. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius dari otoritas pemerintahan di Aceh, mengingat meskipun Aceh diberi kewenangan khusus dalam bidang agama termasuk membuat peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk itu, namun bukan berarti Pemerintah Daerah Aceh dapat membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan (tidak harmonis) dengan peraturan perundang-undangan lain yang ada di Indonesia, karena Aceh masih merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah berpendapat, pengesahan Rancangan Qanun Jinayah telah mempertaruhkan kewibawaan hukum, demokrasi substantif dan keutuhan bangsa. Peraturan perundangan yang memunculkan ketidakpastian hukum akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dan berpotensi menciptakan konflik baru di masyarakat. Aturan hukum yang multitafsir akan membuka ruang bagi kelompok-kelompok garis keras untuk melakukan tindakan sepihak atas nama Qanun tersebut, dan akan membuat aparat negara rentan mengambil tindakan yang inkonstitusional.
Berdasarkan pandangan diatas, Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah menyatakan penolakannya atas pengesahan Qanun Jinayah sebagaimana yang dirumuskan saat ini, mendukung pernyataan Gubernur Aceh tentang penolakan Hukuman Rajam dalam pelaksanaan Qanun Jinayah, dan meminta kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk :
1. Menunda pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah;
2. Merumuskan ulang Qanun Jinayah sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan Hak Asasi Manusia, serta memastikan harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya;
3. Menciptakan situasi yang kondusif bagi keterlibatan Majelis permusyarawatan Ulama (MPU), Intelektual dari Perguruan Tinggi (IAIN Ar Ranirry dan Unsyiah), Penegak hukum dan Praktisi Hukum (Advokad/Pengacara), serta masyarakat sipil termasuk kelompok perempuan;
Banda Aceh, 14 September 2009
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah
Koalisi NGO HAM, KONTRAS Aceh, RPuK, LBH Aceh, LBH APIK Aceh, KPI, Flower Aceh, Tikar Pandan, ACSTF, AJMI, KKP, SeIA, GWG, SP Aceh, Radio Suara Perempuan, Violet Grey, Sikma, Pusham Unsyiah, Yayasan Sri Ratu Safiatuddin
Perdamaian Berkeadilan untuk Aceh!
KontraS Aceh
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
The Aceh Commission for Disappearances and Victims of Violence
Jl. Mujur No. 98 A, Lingkungan Raja Jalil, Gampong Lamlagang
Banda Aceh 23239 Indonesia Telp./Fax. +62-651-40625
Email: kontrasaceh_federasi@yahoo.com Website: www.kontras.org/aceh