Aceh Baru Harus Lebih Baik, Supaya Rakyat Mendukung

Muhammad Armiyadi Signori [Foto/Dok/Waa].

WAA Kamis 04/03/2010, Aceh Baru Harus Lebih Baik,  Supaya Rakyat Mendukung

Oleh: Muhammad Armiyadi Signori

Semua berawal pada tanggal 15 Agustus 2005, petinggi Gerakan Aceh Merdeka dan pemegang kekuasaan dari Negara Republik Indonesia bersepakat untuk mengakhiri perseturuan diantara keduanya yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun, telah merengut banyak korban jiwa, harta,  martabat dan fasilitas pelayanan publik.

Hari itu masyarakat Aceh bersuka cita, ini penantian yang sudah sangat lama, bagaikan mimpi yang jadi kenyataan. Puluhan ribu orang berkumpul di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dengan satu tujuan, menyaksikan secara langsung penandatanganan perjanjian mengakhiri permusuhan secara bermartabat di layar lebar lebar yang menayangkan acara tersebut. Di lain tempat, banyak masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan detik detik yang menentukan tersebut melalui layar televisi.

Paska kesepakatan damai tersebut, pesta diselenggarakan di seluruh Aceh. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan lembu di sembelih untuk merayakan sekaligus mensyukuri momen bersejarah tersebut. Semua yang terlibat dalam usaha memperjuangkan Aceh yang bermartabat, islami, makmur dan bebas korupsi  terlibat dalam acara – acara tersebut. Ini pesta untuk perdamaian yang telah lama di idamkan.

Selanjutnya para mantan pejuang patut berbangga dan bergembira karena rakyat Aceh betul – betul bersepakat dengan mereka, ini di buktikan dengan terpilihnya Gubernur dan 11 Bupati/Walikota yang diusung oleh mantan pejuang ini. Bila bukti ini belum cukup, maka pemilihan umum untuk pemilihan wakil rakyat bisa jadi bukti berikutnya, bagaimana rakyat Aceh mendukung dan menggantung harapan setinggi-tingginya kepada mantan pejuang untuk membentuk “pemerintahan” baru di Aceh. Partai Aceh mampu meraup 33 dari 69 kursi di parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, mereka berhasil mempecundangi 34 partai nasional dan 5 partai lokal lainnya.

Ini kisah manis, fakta sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapapun bahwa seluruh rakyat Aceh bersepakat dengan mantan pejuang  dalam usaha membangun Aceh.

Sekarang tahun 2010, waktu telah berubah, harapan juga ikut berubah, sebelumnya kita berharap mantan pejuang bisa terlibat secara langsung dalam pemerintahan Aceh baik sebagai  eksekutif  ataupun legislatif, harapan itu telah tercapai. Harapan sekarang adalah pemerintahan baru mampu menjadikan Aceh lebih baik  sebagaimana cita – cita sebelumnya, pada saat mereka masih pejuang gagah berani dimedan perang.

Semua butuh proses, butuh waktu. itu pasti, apalagi membangun Aceh yang sama “runyohnya” dengan induknya, Indonesia. Tapi yang menggelisahkan adalah sampai saat ini belum ada tanda – tanda dan  gejala yang menunjukkan pemerintah Aceh baru telah melakukan langkah-langkah  yang meyakinkan dalam perjuangan menuju Aceh yang lebih baik.

Saban hari berita yang dimunculkan disurat kabar kebanyakan berisi permasalahan yang terjadi di pemerintahan terutama kabupaten/kota, bukan prestasi yang membanggakan. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan pada banyak masyarakat Aceh sehingga Adli Abdullah, dosen Unsyiah serta Sekjen panglima laut Aceh menulis artikel di opini harian Serambi Indonesia berjudul ” Perjuangan Berhenti di Kijang Innova, Talet Musoh Tacok Peukateun”. 

Kondisi paling anyar yang sesuai dengan ” talet musoh tacok peukateun” adalah penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) tahun 2009. begitu banyak kejanggalan yang terjadi seperti yang dilansir oleh berbagai media massa, ini benar-benar menyadarkan kita, Pemerintah Aceh belum banyak berubah.

Berikut ini beberapa kabupaten yang bisa menjadi gambaran kondisi Aceh kekinian. Aceh Timur, berita terdasyat dari mereka adalah perselisihan tanpa akhir antara Bupati dan Wakil Bupati, kegemaran bupati mengganti Sekretaris Daerah, ketidakmampuan menggunakan dana bantuan pusat untuk pembangunan Aceh Timur dan dugaan raibnya dana bantuan banjir dari pemerintah pusat.

Aceh Utara, seperti ramai di beritakan media massa, “prestasi” yang paling heboh adalah keputusan untuk menyimpan uang di Bank Mandiri Cabang jelambar Jakarta yang berakhir dengan pembobolan, sehingga Aceh Utara tidak punya dana lagi untuk melanjutkan pembangunan. Dampak yang paling terasa adalah gagalnya penyaluran  Alokasi Dana Gampong (ADG) yang membuat geuchik seluruh Aceh Utara menggelar demo, penghentian pemberian bantuan beasiswa yang sebelumnya rutin diberikan setiap tahun dan mulai tahun ini PNS di daerah tersebut sudah harus bersiap siap tidak mendapatkan lagi tunjangan prestasi kerja.

Bireun, dengan dukungan Sumber Daya Manusia yang tangguh dan letaknya yang strategis, menjadikan kabupaten ini yang paling pesat perkembangannya dia antara kabupaten – kabupaten pemekaran lainnya. Matang glumpang Dua sebagai bagian dari kabupaten bireun dari dulu sudah menjadikan pendidikan sebagai cara untuk mempersiapakan kehidupan generasi mereka ke arah yang lebih baik, namun pemerintah baru Bireun belum melakukan pekerjaan sesuai dengan kapasitas masyarakat kabupaten Bireun. Terlalu banyak berita negatif di kabupaten ini seperti  ketidak harmonisan antara bupati dan wakilnya, anjloknya pendapatan asli daerah, ketidakmampuan  membayar Alokasi Dana Gampong, dan penggelapan pajak 15 milyar rupiah. 

Pidie, kabupaten ini tidak mampu membayar para kontraktor yang telah mengerjakan proyek serta gaji para pegawainya, sehingga jika di ibaratkan sebuah perusahan, maka Pidie ini perusahaan yang sudah bangkrut.

Untuk anggota parlemen Aceh yang baru terpilih pun sampai saat ini belum mampu tampil meyakinkan. Berita yang terdengar dari mereka justru berita tidak “asyik”, mereka meminta pengalokasian dana aspirasi sebesar 10 milyar perorang ( sekarang turun menjadi 5 milyar), dengan dalih dana ini  untuk membangun daerah pemilihan mereka. Bukankah tugas bangun membangun itu eksekutif, bukan legislatif, dan yang menyedihkan lagi sampai sekarang DPRA Aceh  belum mampu mengesahkan APBD sehingga menjadikan provinsi  Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang belum menyerahkan dokumen APBD-nya ke Depdagri untuk diklarifikasi.

Sebagai masyarakat  kita tentu memberi apresiasi  kepada pemimpin baru yang telah berusaha menjadikan Aceh  lebih baik namun kita juga  berharap agar para pemimpin Aceh baru benar-benar bekerja keras, dan  meninggalkan kebisaan buruk para pemimpin masa lalu untuk mewujudkan cita – cita yang sudah puluhan tahun  tertanam dalam jiwa dan raga, semangat pembaharuan menuju Aceh yang lebih baik . Mereka masih punya waktu untuk melakukan itu.

Untuk para pengambil kebijakan yang menentukan siapa saja yang akan di orbitkan menjadi pemimpin Aceh, harus benar – benar  memilih orang-orang yang mumpuni di posisi masing- masing dan mengevaluasi kader yang tidak berkembang atau melenceng  dari semangat perjuangan agar tidak mengecewakan masyarakat, supaya masyarakat tetap percaya dan bersepakat dengan perjuangan pemerintah Aceh yang baru. 

Menjadi penonton tentu lebih mudah dari pada menjadi pemain. tapi selaku penonton kita tentu berharap mendapatkan tontonan yang berkualitas dan semua pemain bermain sesuai standar, tidak loyo, kasar ataupun bermain curang. Jika tidak, maka penonton akan menarik dukungan, mendukung tim lawan atau malah membentuk klub baru.

Muhammad Armiyadi Signori adalah Aktivis Word Acehnese Association, Mahasiswa Mental Health Care, Hedmark University, Norwegia
Previous Post Next Post