Ancaman Kemiskinan Terhadap Perdamaian Aceh

Noni Soraya M.Djuned [Foto/Doc/WAA]

WAA - Selasa 1/12/2009, Oleh: Sekretariat WAA

Ancaman Kemiskinan Terhadap Perdamaian Aceh adalah sebuah tulisan hasil karya Noni Soraya M.Djuned yang di kirim untuk ikut serta dalam sayembara menulis yang di adakan oleh World Achehnese Associaton untuk tahun 2009.

Tulisan “Ancaman Kemiskinan Terhadap Perdamaian Aceh” terpilih menduduki urutan “Awad Diplom to the first winner” Juara I (Penghargaan dari WAA).

Siapa Noni Soraya M.Djuned 
Noni Soraya adalah anak dari M.Djuned dan Tarnika (alm), lahir di Banda Aceh, 24 Sept 1976, berpendidikan S2 FTP IPB Bogor dan meiliki pekerjaan sebagai Dosen Swasta.

Kegiatan lain, Noni Soraya aktif menulis di berbagai media, menjadi trainer dan konsultan pengembangan industri pertanian.

Karya tulis beliau pernah dimuat : Republika, Pikiran Rakyat, Radar Bogor, Pakuan Raya, Serambi Indonesia, Aceh Independen, Aceh Institute dan Harian Aceh.

Penghargaan dari hasil karya tulis yang di sertainya adalah, Juara II lomba tulis dengan tema “Revitalisasi Nilai-Nilai Kepahlawanan Cut Nyak Dhien Untuk Generasi Muda Aceh Menuju Green Aceh Spirit (GAS)” oleh PLN (Persero) NAD di Banda Aceh, 24 Oktober 2008.

Pemenang Hiburan Karya Tulis dengan tema Cut Nyak Dhien : “Peranan dan Posisinya Sebagai Inspirasi Kebangkitan Perempuan Aceh” oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Banda Aceh,13 Oktober 2008.

Peserta Inovasi Baru Kompetisi Ristek – Martha Tilaar Innovation Centre (MTIC) Award 2007 dengan tema Cantik dari Bahan Alami Indonesia Melalui Riset di Jakarta, 10 Agustus 2007.

Juara III Lomba Menulis Artikel Pertanian oleh LSM Suloh Kategori Umum dengan Judul “Peran Perempuan dalam Rekontruksi Perempuan”, 17 April 2007.

Ancaman Kemiskinan Terhadap Perdamaian Aceh

Oleh: Noni Soraya

Kita patut bersyukur bahwa 4 tahun sudah mereguk kedamaian sejak ditanda tanganinya perjanjian damai di Helsinki.  Dampaknya dapat langsung kita rasakan saat ini. Kalau sekarang kita berjalan-jalan di Kota Banda Aceh, rasanya hampir tidak percaya kota ini pernah mengalami konflik dan kemudian dihantan tsunami. Saat konflik kota ini begitu sepi menjelang magrib. Kendaraan yang berlalu lalang bisa dihitung dengan jari.

Pasca tsunami kota ini bangkit menjadi kota metropolitan dengan datangnya orang asing yang beramai-ramai ikut melalukan rehab rekon. Wajah kota dipoles menjadi indah dan nyaman. Kendaraan makin padat karena setiap orang mampu melakukan kredit untuk memiliki kendaraan.

Kota tetap hidup sampai malam dengan dibukanya warung dan kafe-kafe tempat nongkrong mereka yang ingin menikmati suasana malam. Namun sejatinya kita tidak terlena begitu saja karena masih banyak yang perlu dilakukan demi membangun Aceh ke depan yang sejahtera.

Tidak boleh dilupakan untuk menjaga suasana perdamaian tetap langgeng masih memerlukan nafas panjang hingga benar-benar mantap. Salah satu yang masih menghantui masalah ini tingkat perekonomian Aceh yang masih jalan di tempat. Sehingga jangan heran angka kemiskinan di Aceh masih tinggi. Sementara pejabatnya sendiri seakan-akan lupa dengan nasib rakyatnya.

Kasus korupsi di bumi syariat ini merupakan sajian sehari-hari dalam surat kabar lokal. Sementara masih banyak korban tsunami yang belum memiliki rumah. Masih banyak korban konflik yang belum mendapat santunan.

Belum lagi lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. Fenomena ini ibarat bom waktu yang siap meledak jika pemerintah lengah menjalankan misinya untuk meningkatkan kesejahteraan Aceh.

Damainya Aceh secara signifikan telah memperkecil angka kemiskinan. Mari kita lihat data berikut ini. Ketika di masa konflik (2001) keluarga miskin di Aceh mencapai 40 % dari 4,2 juta penduduk Aceh. Sekarang angka kemiskinan berkurang dari 26,7 % pada tahun 2008 menjadi 23,5 % pada akhir tahun 2008. Namun bila dibanding dengan tingkat kemiskinan nasional sebesar 15,4 % kemudian di Aceh masih tinggi. Kemiskinan Aceh sebagian berada di pedesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 26,3 %. Sedangkan di tingkat perkotaan kemiskinannya telah rendah yakni 16,6 %.

Namun sayangnya pertumbuhan ekonomi Aceh masih minus (-2,86) pada semester I 2009, justru saat Aceh dalam kondisi damai dan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 4 %. Padahal konon bantuan uang dari seluruh dunia selama rehab rekon lebih 75 triliun rupiah. Namun ironisnya sepertinya uang tersebut hanya numpang lewat karena tidak mampu membantu mengurangi angka kemiskinan di Aceh.

Yang mencolok mata adalah proyek mercusuar yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Sementara pembangunan yang dapat direguk masyarakat bawah demi kesejahteraan rakyat masih minim.  

Hingga kini sektor pertanian masih merupakan lapangan pekerjaan utama masyarakat Aceh. Berdasarkan data, jumlah tenaga kerja terbesar di sektor pertanian mencapai 860.595 jiwa (50,88 %) dari total tenaga kerja di Aceh. Peningkatan tenaga kerja dalam triwula hanya terjadi pada sektor ini.

Sementara untuk sektor-sektor lain mengalami penurunan tipis. Karena itu pemerintah seharusnya lebih fokus menbangun bidang ini seperti dengan pembangunan irigasi, pengembangan pertanian dan pemberian kredit sehingga hasil pertanian Aceh mampu meningkatkan perekonomian petani. Tidak hanya terus bergantung dengan Medan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.  

Apa yang perlu dilakukan pemerintah.   
Kemiskinan yang akut dapat mengancam perdamaian di Aceh yang telah dirajut selama ini. Kestabilan keamanan suatu daerah akan terganggu dengan maraknya kasus-kasus krimininal. Namun sepertinya pemerintah hanya melakukan jalan pintas, seperti kasus meningkatnya pengemis dan gelandangan.

Pemerintah hanya berseru agar masyarakat tidak memberikan sumbangan agar jumlah pengemis berkurang bahkan dibuat kanun khusus pengemis. Namun kanun korupsi tidak jelas kapan dibuat.  Kalau saja pemerintah benar-benar bertanggung jawab dengan memberikan kerja dan pembinaan tentu tidak ada lagi pengemis berkeliaran di Aceh. Pengemis tidak harus diperangi dengan mengerahkan satpol PP. 

Saat konflik Pemerintah Aceh boleh berdalih bahwa program pemberdayaan tidak dapat berjalan akibat konflik. Kehidupan masyarakat makin melarat, namun pejabat dan orang pemerintahan sepertinya tidak berpengaruh.

Urusan perut memang tidak bisa ditunda, jadi tidak heran aksi-aksi kriminal makin nekat di Aceh.  Dibandingkan 32 provinsi lain di Indonesia, Aceh salah satu daerah dengan tingkat penduduk miskin tertinggi.

Aceh katanya cukup kaya. Kekayaan alamnya melimpah ruah, mutiara terbaik di negeri khatulistiwa. Namun, kini semuanya begitu mahal. Jangankan untuk kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, kita harus bekerja membanting tulang siang malam, korupsi, merampok dan menculik.

Jika dicermati umumnya adalah kemiskinan struktural di Aceh yang terjadi karena kebijakan pembangunan dari penguasa (eksekutif maupun legislatif) yang korup dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Mereka terkadang tidak malu jika di negeri kaya ini masih terdapat kasus gizi buruk.

Berdasarkan pengamatan fakta, gizi buruk terjadi bukan saja karena minimnya fasilitas pelayanan kesehatan, melainkan lebih dominan disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi keluarga. Begitu juga maraknya kasus-kasus kriminal yang seharusnya di bumi syariat ini tidak ada. Tidak bisa dimungkiri ini terjadi karena motif ekonomi yang membuat seolah tidak memiliki pilihan dan nekat melakukan apa saja. 

Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang dialami pekerja NGO atan LSM selama rehab rekon dan lapangan kerja sempit, menjadikan kemiskinan begitu dekat dengan keluarga yang ekonominya tidak menentu yang akhirnya memunculkan peluang tindak kejahatan.

Sesuai tujuan pembangunan, semestinya upaya yang dilakukan ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi semua bentuk dan dimensi penderitaan manusiawi, terutama bagi kaum jelata yang miskin papa dan menderita. Sehingga yang namanya kesejahteraan tercapai.

Keberadaan gedung-gedung mewah dan lahan untuk perusahaan lebih diutamakan ketimbang sumber perekonomian rakyat. Memberi lahan untuk perkebunan perusahaan menjadi pilihan ketimbang memberi ruang yang patut bagi petani.

Pelaksanaan Pemerintah Aceh memberi kewenangan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Kesempatan ini diharapkan dapat mendorong kepada daerah dan jajarannya untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah yang berdampak pada kemakmuran rakyat. Pemerintah daerah tidak dapat lagi berdalih dengan menyalahkan pemerintah pusat apabila kurang berhasil membangun wilayahnya.

Perlu disadari bersama bahwa MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 tiga tahun yang lalu bukanlah akhir dari konflik yang terjadi Aceh, karena konflik dapat saja terjadi di kemudian hari kalau komponen masyarakat yang ada di Aceh tidak secara bersama menjaga perdamaian itu sendiri. Oleh karena itu, MoU Helsinki harus dapat dijadikan tonggak awal menuju perdamaian abadi (lasting peace) di Aceh.

Tantangan perdamaian (challenges of peace) di Aceh sangat komprehensif dan banyak persoalan yang belum selesai, dapat mengarahkan kepada damai yang berkelanjutan atau sebaliknya gagalnya perdamaian (failed of peace).

Jika angka pengangguran masih tinggi maka mustahil Aceh mampu menekan kemiskinan. Kemiskinan musuh utama perdamaian, karena perdamaian abadi bukan hanya disebabkan oleh berkurangnya intensitas konflik bersenjata, namun perdamaian abadi selalu ditandai dengan berkurangnya angka kemiskinan.

Sejujurnya pembangunan perekonomian Aceh ke depan tetap berat sekali. Begitu pun sisa pemerintahahn Irwandi Yusuf – M. Nazar harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membuktikan misi dan visinya demi pembangunan Aceh ke depan. Pemerintah Aceh secara konsisten dan berani harus membenahi moral negeri ini.

Terutama yang  diperbaiki adalah moral para pejabat terlebih dulu daripada moral rakyat. Moral mulia itu hendaknya dimulai dari birokrasi daerah. Moral yang ingin dibangun di sini adalah membentuk sifat kejujuran yang monumental dan permanen, dan bukan kejujuran kontemporer dan sifatnya sementara. Tapi kejujuran yang sifatnya berkesinambungan, secara terus menerus.

Sikap jujur ini hendaknya memang dipraktikkan dari jajaran teratas, yakni dari gubernus, birokrasi pemerintahan sampai ke rakyat sejatinya memang harus ada sikap hidup yang jujur.

Bila semua lini masyarakat telah mempraktikkan prilaku kejujuran,  insya Allah berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat Aceh secara keseluruhan. Dampak positifnya yaitu kemakmuran rakyat akan bisa kita lihat kemudian.

Beberapa negara pemberantas korupsi habis-habisan sampai menjadi negara-negara bersih telah dilakukan negara Singapur, Malaysia, China, Selandia Baru, Kanada dan lainnya. Ternyata negara-negara yang bersih dari tindak perilaku korupsi, lebih cepat mencapai kesejahteraan rakyat. Lantas beranikan Pemerintah Aceh segera mengsahkan kanun korupsi ? Kita lihat saja nanti.    

Noni Soraya M.Djuned  adalah Akademisi dan Alumnus Institut Pertanian Bogor 
Previous Post Next Post