Berlin, Aceh Dan Wisata Dari Kehancuran


WAA - Berlin, Aceh Dan Wisata Dari Kehancuran

Orang bijak mengatakan, bencana atau musibah besar tidak hanya bermakna kehancuran yang memilukan, tapi bencana juga berarti peluang, kesempatan untuk menjadi lebih baik. Hal ini sepertinya disadari betul oleh pemerintah Jerman, setidaknya terlihat dari pengelolahan berbagai tempat bersejarah, bukti kelam kepemimpinan Hitler serta kehancuran akibat perang dunia ke-dua sebagai objek wisata di kota Berlin.

Kemampuan mengelola berbagai tempat wisata, menjadikan kota ini sebagai kota salah satu kota yang paling banyak di kunjungi di eropa bersama Paris, london dan Roma. Walaupun turis datang tentu saja bukan hanya untuk menikmati tempat-tempat peninggalan musibah tersebut, karena memang cukup banyak objek wisata lainnya di kota Berlin yang mampu menarik minat wisatawan, namun tempat-tempat peninggalan bencana tersebut tetap menjadi nilai jual utama.

Tembok Berlin, di dirikan pada tahun 1961 oleh pemerintah Jerman Timur, untuk mencegah pelarian warga mereka ke dunia luar dan menjadi pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur paska perang dunia ke dua. Tembok ini menyimpan banyak kesan muram bagi penduduk Jerman karena mereka yang masih bersaudara, malah satu keluarga harus terpisah oleh tembok setinggi sekitar 2 meter ini .

Tembok yang sebelum di buka pada tahun 1989, sering didatangi oleh pemimpin dunia, termasuk presiden Ameriak Serikat J.F Kennedy dan  Ronald Reagen  untuk berpidato mengutuk Uni Soviet, kini menjadi salah satu tujuan utama turis mancanegera yang berkunjung ke kota berlin. Ini  rasanya wajar saja, karena hanya ada dua tembok di alam raya  ini yang tersohor keseluruh penjuru dunia yaitu Tembok Berlin dan Great Wall di Cina. Bagi wisatawan yang berkunjung ke kota Berlin rasanya akan hambar bila tidak mengunjungi tembok ini.

Di salah satu sudut tembok Berlin ada sebuh tempat pemeriksaan pada saat tembok itu belum di robohkan, Checkpoint Charlie, tempak pemeriksaan bagi turis atau warga Jerman Barat yang ingin memasuki Jerman Timur, sedangkan bagi warga Jerman Timur sendiri tidak dibolehkan melewati tempat ini, sehingga banyak dari mereka berusaha melewati tembok ini dengan berbagai cara untuk melarikan diri dari negara mereka sendiri dan sebahagiannya berakhir dengan kematian akibat ditembak oleh tentara penjaga tembok. Berbagai aksi melintasi perbatasan itu kini dapat dikenang di Mauermuseum Haus Am Checkpoint Charlie atau Museum Tembok Berlin di Checkpoint Charlie.

Sekarang, Checkpoint Charlie  banyak di kunjungi wisatawan, walaupun tempat ini sudah menjadi pusat pertokoan, namun masih tetap dijaga keasliannya, termasuk ada petugas yang menggunakan seragam tentara Amerika lengkap dengan tumpukan karung yang mejadi tempat perlindungan seperti tempat-tempat pemeriksaan militer di tempat kita pada saat konflik serta pengibaran bendera Amerika di tempat tersebut.

Tidak jauh dari Tembok Berlin, kita bisa mengunjungi makam yahudi, korban kekejaman Hitler, Holocaust. Tempat ini tidak menyerupai makam dan jauh dari kesan angker karena bentuknya seperti tiang-tiang bangunan empat persegi yang berukuran besar, ada yang berukuran panjang, lebih dari dua meter, ada yang pendek, sekitar satu meter, ini tempat kekejaman manusia yang menjadi objek wisata.

Selain tiga objek wisata yang berdekatan tadi, kita bisa mengunjungi Katedral Kaisar Wilhelm Memorial, ini benar benar kehancuran perang, karena katedral ini di bom oleh tentara sekutu pada saat perang dunia ke-2 sehingga bagian atasnya rusak dan sampai sekarang dibiarkan seperti adanya. Katedral tersebut kini di fungsikan sebagai museum, yang memamerkan berbagai foto–foto dan benda kenangan lainnya dari kaisar wilhelm. Katedral ini juga menjadi simbol anti perang.

Aceh yang mengalami bencana alam berat, tsunami, yang merupakan bencana alam terbesar dalam sejarah dunia moderen, karena menewaskan lebih dari 300 ribu jiwa dan mungkin juga musibah yang paling menyita perhatian masyarakat dunia, sepertinya bisa meniru pariwisata Berlin.

Sekarang pemerintah Aceh sedang berusaha keras menjadikan Banda Aceh sebagai target wisatawan dunia, bahkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan bila tidak menemukan kepala dinas pariwisata yang mumpuni di Aceh, dia akan mendatangkan dari luar Aceh. Ini menunjukkan keseriusan pemerintahkan Aceh untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai kota wisata.

Gubernur Irwandi tentu tidak sedang bermimpi, karena Banda Aceh punya banyak potensi wisata, terutama peninggalan tsunami, kapal terapung misalnya, ini bisa  menjadi sesutu yang seru untuk dikunjungi, karena rasanya tidak ada di negara manapun, kapal bisa berada di darat akibat di bawa air  sampai 8 km. Museum tsunami juga bisa menjadi daya tarik yang hebat.

Namun wisatawan mengunjungi suatu daerah bukan cuma karena daya tarik objek wisatanya tapi juga karena faktor-faktor lainnya seperti keamanan, kemudahan transportasi dan akomodasi yang terjangkau serta yang juga penting adalah sikap dari masyarakat terhadap turis. Ini yang harus diperhatikan, dibenahi dan ditingkatkan oleh pemerintah Aceh

Saya tertarik dan memberi apresiasi tinggi dengan apa yang dilakukan oleh Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Aceh yang melakukan pembinaan terhadap para abang becak di Banda Aceh dalam rangka  meningkatkan pelayanan kepada wisatawan lokal maupun asing yang berkunjung ke Kota Banda Aceh, serta menyukseskan program Banda Aceh Visit Year 2011 (Serambi. 30.12.2010.).

Menarik, karena abang becak akan banyak berhubungan dengan turis baik lokal maupun asing dan citra Banda Aceh juga akan dipengaruhi oleh pelayanan mereka kepada pelancong. Saya pernah malu berat ketika dosen saya di Norwegia, yang pernah datang ke Aceh menertawakan ”kecoroban” abang becak, karena ketika naik becak, perjalanan ketempat penginapannya menjadi sangat jauh  dari yang seharusnya.

Kita tentu sangat mendukung program Banda Aceh Visit Year 2011, dan belajar dari wisata kehancuran Berlin, seharusnya Banda Aceh juga mampu mengikuti jejak mereka, tidak semunya bisa sebagian.

Muhammad Armiyadi Signori adalah Mahasiswa Hedmark University Norwegia, Aktivis World Achehnese Association.
Previous Post Next Post