JKA Salah Siapa?

Aiyub Ilyas adalah mahasiswa Hedmark Univesity College Norwegia dan salah seorang anggota WAA [Foto/Dok/WAA].

WAARabu 10/11/2010, JKA Salah Siapa?

Latar Belakang

Melihat banyaknya masalah yang kini dihadapi program spektakuler Irwandi Yusuf untuk masyarakat miskin alias JKA, kita merasa prihatin. Kenapa hal ini bisa terjadi? Unsyiah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi jantung hati rakyat Aceh tentunya punya bayak akademisi yang bisa dilibatkan untuk berfikir bagaimana caranya agar setiap program yang berhubungan hajat hidup orang miskin bisa berjalan degan baik, tidak digunakan sebagai objek politik, korupsi, kolusi apalagi nepotisme.

Penulis pernah berkunjung ke Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dan melihat bagaimana antusias masyarakat untuk berobat dengan program JKA yang diluncurkan Irwandi. Masyarakat sangat senang dan beterima kasih dengan adanya program ini. Namun dalam pelaksanaannya tentu masih banyak yang perlu dibenahi sehingga tidak dijadikan proyek politik para oposisi untuk melakukan proses pembusukan dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Intinya program JKA sangat bagus, tapi proses pelaksanaannya yang perlu dibenahi.

Kita ambil contoh kecil, proses birokrasi pengurusan pasien JKA sangat dipermudah. Pada awalnya hanya degan membawa KTP, sehingga masyarakat dari seluruh penjuru Aceh bisa berobat ke ruma sakit. Kemudahan ini telah menyebabkan masyarakat lebih senang menggunakan jalur JKA dari pada menggunaka Jamkesmas dan Askeskin.

Kita harus ingat kemudahan tidak selalu menguntungkan dan kadang mendatangkan masalah, kalau tidak dijalankan dengan sistem yang baik dan oleh orang-orang bertanggung jawab. Contoh kecil sistem antrian JKA, Jamkesmas dan Askeskin di RSU dr. Zainoel Abidin, belum bisa berjalan dengan baik, padahal semua fasilitas sudah tersedia. Ketika kita bertanya kepada petugas, mereka menjawab bahwa masyarakat Aceh susah diatur, semua mau menang sendiri dan ingin di dahului. Tapi kalau melihat antrian di Bank-Bank yang ada di Aceh, semua masyarakat mau megantri. Itu artinya masyarakat Aceh tidak seburuk yang kita kira.

Masalahnya adalah antrian perlu dijadikan budaya seperti yang dilakukan oleh Bank. Masyarakat tidak dilayani kalau tidak bisa menunjukkan nomor antrian, petugas harus konsisten apapun yang terjadi sehingga sistem bisa berjalan. Tapi yang terlihat disana adalah orang yang tidak punya nomor antripun dilayani oleh petugas, belum lagi ada pelayanan dari belakang pintu dengan memanfaatkan kedekatan dengan petugas pelayanan. Hal inilah yang perlu dibenahi sehingga tidak merusak sistem yang dibuat.

Hal yang positif lagi, sekarang ini rumah sakit lama atas inisiatif direktur RSU dr. Zainoel Abidin telah digunakan sebagai tempat tinggal para keluarga pasien yang datang dari daerah-daerah yang jauh dari ibu kota propinsi. Ini dapat membantu mereka yang memang miskin sehingga dapat menghemat onkos. Tapi permasalahannya, pasien kadang harus menunggu 1 mingu, 2 minggu, bahkan sebulan untuk mendapat giliran. Hal ini tentu akan memberatkan pasien. Belum lagi masyarakat berbondong-bondong ke RSUZA yang menurut mereka memiliki alat, dokter dan pelayanan yang lebih bagus.

Solusi:

Masalah ini tentu harus mendapat perhatian kita semua untuk memperbaiki sistem yang ada sehingga pelayanan JKA dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat Aceh. Untuk itu penulis sedikit berbagi pemikiran sebagaimana yang sudah penulis lihat dalam program-program kesehatan yang dilakukan di negara-negara skandinavia seperti Norwegia umpamanya.

Semu proses pelayanan selalu dimulai dari bawah, dimana masyarakat yang ingin medapatkan pelayanan gratis harus menempuh prosedur standar yang telah ditetapkan. Masyarakat pertama kali harus menggunakan pelayanan dokter keluarga yang ada di lingkungan mereka dan di Aceh bisa kita asumsikan dengan Puskesmas di Aceh. Semua kasus-kasus non emergensi harus mengikuti prosedur ini. Sedangkan untuk kasus-kasus emergensi (sakit berat) mereka hanya perlu menelpon rumah sakit di kabupaten mereka tinggal, kemudian petugas akan mengkaji gejala pertelpon seberapa emergensi kasus tersebut. Dan kalau betul-betul emergensi, maka ambulance akan datang menjemput pasien ke rumah dimanapun mereka berada dalam waktu yang sesegera mungkin. Tapi ingat pasien jangan coba-coba menipu karena dendanya sangat besar. Tapi tentunya rumah sakit telah mensosialisasikan kepada masyarakat tentang mana-mana yang disebut kasus emergensi. Dan kalau di Aceh bisa dilakukan dengan menyediakan brosur di setiap Puskesmas.

Bagi kasus-kasus non emergesi dan membutuhkan perawatan tindak lanjut akan segera dirujuk ke rumah sakit hari itu juga secara online (via internett). Rumah sakit akan memproses kasus rujukan ini. Dalam proses seleksi, rumah sakit menggunakan skala prioritas sesuai degan berat tidaknya kasus dan kapan kasus itu di rujuk. Setelah proses seleksi dilakukan, pihak rumah sakit akan mengurutnya dalam bentuk antrian sesuai dengan kemampuan rumah sakit untuk melayaninya. Dalam hal ini rumah sakit juga mengalokasikan waktu untuk menangani kasus-kasus emergensi yang mungkin muncul setiap waktu.

Kemudian surat panggilan dikirim ke pasien yang menunjukkan kapan mereka harus datang ke rumah sakit, hari apa, tanggal berapa dan pukul berapa. Sehingga jika pasien datang, maka langsung mendapat penangaan. Bila mereka terlambat maka mereka akan dijadwalkan ulang. Proses pemeriksaan hingga mendapatkan diagnosa dilakukan dalam 1 hari dan langsung diberitahukan proses penangannya, apakah bisa langsung dilakukan di rumah sakit tersebut atau harus di rujuk ke rumah sakit provinsi. Bila ada kasus-kasus yang belum memiliki spesialisasi di rumah sakit kabupaten, dilakukan koordinasi antara Puskesmas dan rumah sakit kabupaten untuk merujuk pasien langsung ke rumah sakit provinsi. Sehingga semua proses rujukan tidak melibatkan pasien. Pasien hanya menunggu surat panggilan di rumah.

Kalau pasien harus dirujuk ke rumah sakit provinsi, maka proses yang sama akan di lakukan, sehingga pasien tidak menunggu menunggu antrian ketika mereka berada di rumah sakit. Untuk mengatasi menumpuknya pasien yang mau berobat ke rumah sakit provinsi yang yang menurut masyarakat memiliki fasilitas lebih lengkap dan dokternya lebih bagus. Mereka membuat beberapa prosedur standarisasi, seperti standarisasi pemeriksaan untuk diagnosa dan standarisasi pelayanan minimal. Dimana mereka menentukan standar alat pemeriksaan dan standar baku proses diagnosa di setiap rumah sakit kabupaten. Begitu juga halnya dengan kamar operasi.

Peran dinas kesehatan provinsi untuk selalu menyetarakan standarisasi tersebut. Ini mereka lakukan dengan pertemuan dan diskusi para direktur rumah sakit yang dilakukan secara rutin sesuai kebutuhan, yang kemudian akan dikonsultasikan dengan para pemangku jabatan di kabupaten. Juga memberikan penataran kepada dokter dan profesi lain yang terlibat. Sehingga diharapkan semua proses sama dilakukan disetiap rumah sakit. Hasil pemeriksaan dan diagnosa pun tidak perlu di ulangi ketika pasien di rujuk dari rumah sakit kabupaten ke provinsi. Jangan seperti yang kita alami di Aceh saat ini, dimana dokter di rumah sakit provinsi sering tidak yakin akan diagnosa dari rumah sakit kabupaten, sehingga perlu dialakukan proses pemeriksaan dan diagnosa ulang.

Untuk mengantisipasi perbedaan kompetensi dokter dan profesi lain diantara rumah sakit kabupaten, mereka meyediakan jasa konsultasi sehingga diharapkan diagnosa dan proses penanganan akan seragam. Hal ini bisa menghindari adanya ketidak percayaan masyarakat terhadap rumah sakit kabupaten.

Semua proses diatas harus dilakukan bila mereka ingin berobat secara gratis. Tapi bila ingin prosesnya cepat, maka mereka harus membayar. Dan untuk menghindari kebiasaan masyarakat yang memiliki sifat manja terhadap pelayanan kesehatan. Mereka memungut sedikit dari pasien yang berobat untuk konsultasi dokter. Dan tentunya hal ini tidak mungkin dilakukan di Aceh karena masyarakat memiliki penghasilan yang rendah.

Kesimpulan:

Sistem yang penulis terangkan diatas, tentu tidak terus cocok dilaksanakan di Aceh dengan struktur pemerintahan, ekonomi dan kultur masyarakat yang berbeda. Tapi hendaknya hal ini bisa menjadi pemikiran awal untuk terus berbenah sehingga pelayanan kepada masyarakat bisa diperbaiki dari hari ke hari.

Karena mau menghadapi Pemilukada, tentunya para petarung jangan melakukan proses pembusukan untuk program-program yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Informasi harus real diberikan kepada masyarakat. Mana program yang bagus dan mana program yang tidak bagus. Program yang tidak bagus harus dilihat secar objektif apakah programnya tidak bagus atau sistem pengaturannya yang tidak bagus. Jadi intinya masyarakat harus mendapat pencerahan sehingga mereka bisa memilih pemimpin yang benar-benar baik dan pro terhadap masyarakat miskin. Akhirnya kita mengharap Aceh dari hari ke hari akan menjadi lebih baik, amin.

Penulis adalah mahasiswa Hedmark Univesity College Norwegia dan salah seorang anggota WAA
Previous Post Next Post