Masyarakat Aceh Denmark Yang Bahagia

Penulis, Muhammad Armiyadi Signori (baju merah) bersama beberapa pengurus WAA dari beberapa Negara saat hadir dalam acara silaturahmi Rakyat Aceh seluruh dunia (I) di Denmark.[Foto/Dok/Waa].

WAA  – Selasa 29/12/2009, Catatan:  Muhammad Armiyadi Signori

Pagi, awal September 2009, saya mendarat di bandara Billund Denmark, ini salah satu momen berbahagia dalam hidup saya, ada dua alasan, yang pertama, saya akan mengikuti pertemuan Rakyat Aceh Sigom Donya ( silaturahmi Rakyat Aceh seluruh dunia) yang di adakan oleh Word Acehnesse Association (WAA) di kota Fjerritslev.

Sudah lama saya berkeingan mengikuti acara warga Aceh yang diadakan di Eropa atau Amerika, namun dulu saya belum mampu pergi ke Eropa atau Amerika, Alhamdulillah sekarang saya kuliah di Norwegia, jadi kesempatan untuk bertemu dan terlibat langsung dalam acara Silaturahmi masyarakat Aceh yang berada di luar negeri tidak saya sia-siakan, saya ingin tahu bagaimana saudara kita membuat acara, bagaimana pandangan mereka terhadap Aceh sekarang dan yang terakhir bagaimana kehidupan mereka di Eropa setelah bertahun-tahun meninggalkan Aceh.

Alasan kedua, adalah lembaga Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) menempatkan Negara ini sebagai Negara yang masyarakatnya paling bahagia di dunia pada tahun 2008. Ketika membaca berita itu saya berfikir,bagaimana kondisi masyarakat sebuah Negara yang di klaim sebagai yang paling bahagia di muka bumi tuhan ini, kali ini saya berkesempatan melihat langsung kehidupan mereka.

Negara Denmark sangat kaya, dengan sedikit sumber alam. Standar hidupnya termasuk tertinggi di dunia. Industri mulai berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1950, dan tahun 1960 sudah berlipat ganda. Ekspor barang-barang industri berlipat tiga kali. Pabrik-pabrik di Denmark menghasilkan barang berkualitas baik, seperti radio, televisi, mebel, dan barang-barang dari perak.

Denmark, Negara skandinavia yang mempunyanyi luas 43.100 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 5, 475 juta orang, di timur laut berbatasan dengan swedia, bagian selatan berbatasan dengan Jerman dan Polandia serta di barat lautnya berbatasan dengan Norwegia. Untuk transaksi jual beli sebagaimana negara Skandinavia lainnya mereka menggunakan mata uang mereka sendiri yaitu Kroner Denmark.

Sebenarnya ketika tiba di Denmark, saya telah mengunjungi dua negara dengan predikat paling atau “ter” di dunia. Yang pertama, Denmark, Negara yang rakyatnya paling bahagia di dunia, kedua Norwegia yang oleh PBB tahun 2008 dan 2009 juga di beri nilai sebagai Negara yang paling diinginkan sebagai tempat tinggal di dunia.

Ketika sampai di bandara, saya bersama dua kawan Aiyub ilyas dan Puji Astuti di sambut oleh Habib Makmur atau lebih dikenal dengan panggilan laut Tawar, dia berumur 38 tahun, Habib Makmur telah tinggal 11 tahun di Denmark, sehingga kulitnya yang putih karena berasal dari Aceh Tengah sudah benar-benar menjadi “bule”.

Setelah satu jam perjalanan yang menyenangkan, tanpa macet, tanpa suara klakson mobil, kami tiba di kota Silkeborg, disini kami berkumpul bersama beberapa warga Aceh di rumah Tgk Zulkifli Yahya yang dikalangan warga Aceh Eropa di panggil Geuchik Don, disini juga sangat menggembirakan karena sudah beberapa bulan saya tidak makan masakan Aceh, istri Geuchik Don menyediakan untuk kami.

Selanjutnya kami berangkat menuju kota Fjerritslev, tempat acara di langsungkan, sepanjang perjalanan saya melihat hamparan lahan pertanian datar dan luas, Denmark tidak memilki gunung atau bukit, jadi seluruh Negara mereka datar, Saya juga melihat kuda-kuda yang berdiri di dalam lingkaran yang di pagari dengan tali berarus listrik, sehingga lama-lama kuda-kuda itu akan patuh untuk selalu berdiri pada tempatnya, pemandangan yang juga menarik adalah banyaknya kincir angin yang besar dan tinggi di banyak tempat yang berguna untuk pembangkit listrik yang menyediakan listrik untuk seluruh warganya.

Selain industri Negara ini juga mengandalkan pertanian dan peternakan untuk pendapatan Negara dan masyarakat, ketika saya tanyakan , kenapa Negara ini bisa makmur, Bang Makmur menjawab, karena mereka punya banyak babi, jumlah babi lebih banyak dari penduduknya, saya tertawa mendengarnya, tapi Bang Makmur melanjutkan, Denmark Negara penghasil babi terbesar di dunia, juga penghasil gandum, telur dan keju.

Saya jadi ingat Aceh, provinsi kita ini memiliki daerah pertanian dan lahan untuk peternakan yang luas, tapi selalu kekurangan sapi pada tiap hari meugang sehingga harus impor dari Australia namun harganya tetap sangat tinggi.

Dua jam perjalanan, kami sampai di tempat acara, tempat pertemuannya berupa gedung sekolah yang sangat besar, yang di pinjam pakai oleh Kommune (pemerintahan setingkat kecamatan kalau di Aceh), di depan gedung terparkir puluhan mobil mewah, kemudian saya tahu kalau semua mobil itu adalah milik warga Aceh yang tinggal di Denmark. Ya, warga Aceh yang tinggal di berbagai Negara di Eropa, sebagian besar tinggal di Denmark dan Norwegia hidup berkecukupan.

Pemerintah Denmark yang telah menerima mereka sebagai refugee (penerima Suaka) bersama masyarakatnya memperlakukan warga Aceh dengan baik dan terhormat, menyediakan tempat tinggal, memberi pelatihan keterampilan sesuai keinginan warga Aceh, membantu mendapatkan pekerjaan dan apabila belum mendapatkan pekerjaan, maka pemerintah akan memberikan subsidi bulanan, Pemerintah Denmark akan melakukan apapun untuk masyarakatnya termasuk warga Aceh, yang penting jangan sampai ada warga negaranya yang stress. Soal gaji tidak masalah karena apapun pekerjaan yang kita lakukan tetap mendapatkan gaji yang layak.

Selama tiga hari kegiatan, yang di pandu oleh Koordinator WAA Tarmizi Age (Almukarram) dan di hadiri juga perwakilan masyakat sipil Aceh, Fajran Zain, J.Kamal Farza dan lukman Age dari Aceh Institute serta Fahrulrazi dari Partai Aceh berlangsung alot dan semarak karena antusiasme peserta yang luar biasa demi memberi ide untuk pembangunan masyarakat Aceh yang lebih baik.

Saya menemukan beberap hal hebat, yang pertama rasa persaudaraan yang sangat kental, saya baru pertama kali bertemu mereka tapi sepertinya saya sudah lama akrab dengan mereka, yang kedua mereka dan keluarganya berbicara dalam Bahasa Aceh padahal di sekolah anak – anak mereka belajar dalam bahasa Denmark dan Inggris, yang ketiga mereka sangat peduli dengan situasi di aceh.

Selesai acara kami di ajak oleh Tgk Ansari Tripa dan istrinya untuk menginap di rumahnya di kota Hjorring sekitar satu jam perjalanan dari Fjerritslev, mereka tinggal di sebuah apartemen di pusat kota. Tgk Ansari dan istrinya berasal dari Tripa Pidie. Keluraga ini mewakili kebanyakan keluarga Aceh di Denmark, punya tempat tinggal yang bagus, suami isteri bekerja dan anak – anak mampu berkomunikasi dalam bahasa Aceh, Denmark dan inggris.

Menurut koordinator WAA Tarmizi Age jumlah warga Aceh di Denmark sekitar 400 orang. Selain keluarga Tgk Ansari, kami juga mengunjungi keluarga Tgk Idris yang juga berasal dari Pidie dan beberapa keluarga Aceh lainnya, ada satu hal yang pasti, warga Denmark memang bahagia dan mampu membahagiakan tamu yang datang pada mereka.

Muhammad Armiyadi Signori Adalah aktivis World Achehnese Association, Mahasiswa Magister Mental Health Care, Hedmark university, Norwegia
Previous Post Next Post