![]() |
Azmi Abubakar aktivis World Achehnese Association, Mahasiswa Fakultas Syariah wal Qanun, Al Azhar University Cairo [Foto/Dok/Waa]. |
WAA – Sabtu 10/07/2010, Nilai Kebersamaan untuk Para Generasi (dari “Seulawah” hingga “Lambaian Tangan Sang Wali”)
Oleh: Azmi Abubakar
“kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan ketenangan dalam segala kegiatan masyarakat itu, sedangkan saling bermusuhan menyebabkan seluruh kegiatan itu terhenti.”(Badiuzzaman Said Nursi)
Agaknya tulisan “memupuk semangat kebersamaan” yang ditulis oleh Amrizal J Parang 2 tahun lalu dalam sebuah media lokal telah menyulutkan saya untuk menulis kembali tentang kebersamaan, mungkin dari sudut pandang dan lakon yang lebih sederhana. Karena memang kata-kata kebersamaan itu begitu berharga kalau ditulis apalagi dalam aplikasi keseharian. Sehingga yang membeli kebersamaan adalah orang-orang pilihan lagi tahan banting, tidak mudah lapuk terkena cahaya glamornya dunia. Tak ada pilihan lain selain merawat kebersamaan, dengan cara memberi pupuk agar bunga yang bernama kebersamaan bertambah subur dan terus diwariskan kepada anak cucu. Sehingga duka lara yang saudaranya alami menjadi berkurang karena olah hati para pemilik kebersamaan.
Saya teringat dengan leadership basic training (LBT) yang dilaksanakan oleh organisasi pelajar islam Indonesia (PII) di sebuah kampung pedalaman Pidie Aceh, 4 tahun lalu. Sang instruktur begitu biasa kami panggil, lagi membuat sebuah sandiwara menguji kekritisan dan kepekaan kami terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Sambil menghirup rokok, sesekali melihat ka arah kami semua dengan tajam bak seorang musuh yang sangat dibenci, memancing kami untuk menghardiknya, menahannya untuk berhenti dari menghirup asap. Ah Kami bungkam saja seribu bahasa, tak berkutik apa-apa.
Rupanya para anggota training belum menunjukkan kepekaan terhadap hal-hal yang terjadi dimasyarakat, semuanya serba aku, omong kosong dengan orang lain mau berlaku apa. Ini menunjukkan belum adanya kemampuan bersama untuk mencegah kemungkaran yang terjadi di sekitar. Begitu dekat, dan itu baru dalam lingkup training.Bagaimana kalau saja sandiwara yang dilakonkan Instruktur waktu itu adalah kejadian nyata di masyarakat. Pun pada kenyataannya sangat banyak kita temukan berbagai kemungkaran yang terjadi di depan mata kepala, toh…kita hanya bisa menjadi patung untuk diri sendiri, tak menggubrisnya sama sekali!
Dalam ranah berbangsa dan bernegara, saya kembali teringat bagaimana peran rakyat Aceh dulu ketika masa revolusi kemerdekaan republik Indonesia.Sumbangan dua buah pesawat yang diberi nama “seulawah” dengan nomor RI 001 dan RI 002 menjadi bukti betapa kebersamaan itu coba dirajut. Ditambah lagi dengan peranan radio rimba raya dan sederetan bentuk kebersaman lain yang tak mungkin disebutkan satu persatu.Sekali lagi ini merupakan bukti betapa kebersamaan itu telah tercipta sejak dulu sesama bangsa-bangsa yang ada di nusantara, berikut peranan bangsa-bangsa di seantereo Nusantara. Jauh sebelum itu pula kebersamaan telah terangkai ketika kesultanan-kesultanan islam nusantara berkuasa hingga datang kaphe Belanda mengoyak dengan politik devide et emperanya.
Adalah Almarhum DR Tgk Hasan Muhammad di Tiro, sang pembela kebebasan, saya mencatat saat almarhum mengunjungi kampung halamannya 2 tahun lalu, ketika kebersaman yang disemai dalam pakaian damai itu begitu kentara. Walaupun hanya melalui lambaian tangan, ingat saja ketika di Beureuneuen Pidie, disaat para masyarakat ramai-ramai menanti wali di mesjid Abu Beureu eh untuk berziarah ke makam gurunya almarhum Tgk Daud Beureu eh, sungguh rasa itu melekat kuat. Begitu juga ketika rombongan wali melangkah kaki ke pedalaman Lamlo di Blang Keumot untuk berziarah ke makam ibunda, para masyarakat seakan telah menyatu dengan tokoh kharismatik itu.
Seiring waktu yang terus berputar, umur manusia semakin bertambah, umur dan waktu seakan menuntut kita untuk berubah, menghilangkan sifat keegoisan dan peka terhadap fenomena-fenomena sosial. Sebuah proses tentu harus kita lewati sedikit demi sedikit membawa kita kepada sebuah pencerahan akan pentingnya kebersamaan.
Kebersamaan-lah yang akan membuat kita kuat, karena dalam kebersamaan telah terselip sifat persatuan antar sesama hamba Allah untuk saling tolong menolong dan bahu membahu, sehingga beban yang ada dipundak akan terasa ringan, senyum yang kecut akan menjadi bersinar, tangan-tangan yang patah akan kembali pulih, kaki-kaki yang berat untuk melangkah mencari kerja, melangkah ke mesjid akan terasa ringan hanya dengan dengan satu kata, Jamaah kebersamaan!
Betapa sulit kalau membayangkan kehidupan sosial yang kita lalui ini tanpa terselip embel-embel kebersamaan. Bayangkan saja bagaimana bumi yang sudah tua ini akan kembali menangis kalau saja masih ada oknum-oknum yang dalam hidup ini hanya mementingkan diri sendiri.
Keakuanya sangat ditonjolkan, sehingga mata menjadi buta melihat seorang nenek kelaparan, menjadi tuli ketika melihat seorang anak menjerit kehilangan ayah dan ibunya, menjadi bisu ketika melihat kemungkaran yang ada di depan. Seakan kaki menjadi lumpuh ketika azan berkumandang memanggil sang jiwa untuk beribadah kepada Rabbnya yang maha suci.
Alhamdulillah…itu yang bisa terucap kini, kembali bersyukur berada ditengah-tengah komunitas yang sangat peduli kepada kebersamaan. Ya di bumi kinanah, negeri para nabi telah mengajarkan saya akan indahnya bunga yang benama kebersamaan, lewat Keluarga Mahasiswa Aceh(KMA) Mesir, kami semua belajar untuk tersenyum, kadang tertawa, menangis ketika susah, bersyukur dan bersabar menghadapi hari demi hari dalam lautan ilmu yang tengah kami cicipi.
Ya Allah…kami berlindung kepada engkau dari perkara-perkara yang membuat kami terpecah belah, berikan kami kekuatan ya Qawiyyu, untuk menjalani hari ini bersama-sama, semata-mata hanya untuk beribadah kepada engkau. La haulaa Wa laa Quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adhim.
Azmi Abubakar aktivis World Achehnese Association, Mahasiswa Fakultas Syariah wal Qanun, Al Azhar University Cairo