PerEkonomian Pertanian Di Aceh

Annisa (saat di Aceh). Di sini sebenarnya adalah persawahan, namun di penuhi tumbuhan ilalang karena tidak ada air yang mengalir [Foto/Razlina Reichardt/Waa].

WAASabtu 16/01/2010 PerEkonomian Pertanian Di Aceh, Oleh: Razlina Reichardt

JERMAN – Pikiranku dan perasaanku selalu dan selalu saja ke Aceh, walau ragaku nun jauh di
Negeri Orang, segala sesuatu tentang perkembangan Aceh selalu aku mengikutinya Walau terkadang sangat menyedihkan.

Terutama bila akau membaca tentang perkembangan Ekonomi di Aceh boleh dikata setelah perjanjian MOU.

Pada thn 2006 aku pernah pulang ke Aceh, saat itu baru saja 1 tahun pembangunan yang di lakukan di Aceh setelah terjadinya gelombang dasyat Tsunami yang mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia.

Sekarang mungkin pasti semakin berkembang, yang ingin aku sampai kan disini tentang pembangunan ekonomi pertanian yang nampaknya semakin merosot dan mundur menurutku.

Sewaktu aku pulang kekampung halamanku di Aceh bahagian Selatan, dimana dulunya sawah melintang sepanjang perjalanan pulang, namun kini telah berdiri perkantoran-perkantoran pemerintah, pertokoan maupun rumah-rumah penduduk yang semakin padat, walaupun dalam keadaan dan situasi yang sangat kritis.

Ladang yang di tingal begitu saja oleh petani [Foto/Razlina Reichardt/Waa].
Disamping minyak dan gas, Aceh juga dulunya terkenal peng Export beras sampai ke negeriTetangga, tapi sekarang Aceh malah menginport beras dari luar daerah, bukan kah ini sangat menyedihkan dan saya kira ini merupakan sampel mundur buat kita bansa yang selalu bangga dengan keagungan Iskandar Muda. Bansa yang terkenal gagah melakukan hubungan diplomatik dengan berbagai negara di dunia di tempo dulu.

Aku ingin mengusulkan bagaimana bila Aceh (kita) bekerja sama, membangun hubungan yang nyata dan jelas, cepat dan dirasakan oleh seluruh rakyat dengan menjalin ikatan bersama negara-negara berkembang seperti Europa yang juga maju dengan pertanian dan perternakan, bukan hanya di bidang industri saja, contohnya pertanian dan perternakan di Jerman dan Denmark tentu sangaatlah jauh perbedaannya dengan Aceh dan saya yakin peluang besar masih terbuka untuk kita memajukan Aceh.

Di negara-negara Eropa mungkin adanya kemajuan tehnologi agra kimia, apa salahnya sarjana pertanian kita di utus untuk belajar mengenai kemajuan tehnologi pertanian dengan Jerman, Denmark agar se-kembali ke Aceh nantinya bisa menciptakan hasil pertanian semaximal mungkin, bahkan bisa mengexport kembali keluar negeri.

Bila saya ke toko Asia di Jerman untuk membeli beras, beras tersebut banyak berasal dari negara tentangga Aceh di Asia , bukan dari Indonesia juga bukan dari Aceh, Padahal Aceh bukan lah negara yang di larang menjual barangnya ke luar Negeri, tapi sepi sekali barang dari Aceh di Luar Negri. Yang pastinya kejayaan tak akan datang tanpa usaha yang gigih dalam kebersamaan untuk kemajuan Aceh. Gebrakan pemerintah pilihan rakyat Aceh di tunggu oleh semua orang.

Razlina Reichardt adalah aktivis World Achehnese Association berdomisili di Jerman
Previous Post Next Post