Azmi Abubakar peminat masalah budaya dan sejarah Aceh, Mahasiswa Al-Azhar Cairo dan Aktivis World Achehnese Association (WAA), [Foto/Dok/Pribadi]. |
WAA - Kamis 29/09/2011, Swadesisasi Aceh Ala Ghandi
Sebagai seorang nasionalis, Mahatma Gandhi pernah menyerukan kepada bangsanya untuk kembali pada budaya asal India dengan memakai bahan-bahan buatan negeri sendiri.
Ajaran Mahatma Gandhi ini dikenal dengan istilah swadesi. Seruan Gandhi dalam ajarannya ini bukan tanpa alasan, mengingat masa itu India sedang lenanya bergumul dengan produk budaya luar. Lebih-lebih setelah kedatangan Inggris yang merengut segala budaya murni India.
Literatur sejarah menulis bahwa pada tahun 1600, Inggris mendirikan EIC (East India Company) untuk mematahkan perdagangan monopoli rempah-rempah yang dilakukan oleh Belanda. Hegemoni Inggris ke India ini menyebabkan India semakin kehilangan segala kekayaan budaya, dimana orisinalitas budaya masa itu semakin terkikis.
Mayarakat tak mampu membendung segala jenis budaya baru Inggris yang masuk menggairahkan. Apalagi politik adu domba sesama raja-raja India yang berhasil dirancang oleh Inggris telah menjadikan India lupa untuk memelihara budayanya.
Pasca perang India 1857 terhadap Inggris, secara perlahan gerakan-gerakan berbau nasionalisme India telah menunjukkan taringnya. Gerakan ini dikomandoi oleh orang-orang India berpendidikan seperti Mahatma Gandhi sebagaimana penulis sebutkan.
Swadesi dalam Aceh Post Modern
Hari ini Aceh sebagai sebuah bangsa justru semakin berlari jauh dari warisan budaya indatu. Ureung Aceh secara terus menerus dan tanpa disadarinya mengambil identitas budaya luar yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Aceh, sebagaimana yang disebut oleh Hasanuddin Yusuf Adan dalam bukunya Aceh dan Inisiatif NKRI, 2011.
Contoh nyata yang bisa kita lihat hari ini adalah pengikisan dan penghilangan indentitas keacehan lewat media, baik itu media televisi maupun media cetak. Bisa kita katakan media pertelevisian Indonesia belum mampu merangkul semangat keindonesiaan yang terdiri dari beragam budaya bangsa seperti budaya Kalimantan, Papua, Maluku dan lain sebagainya.
Sebaliknya budaya Jawalah secara terus menerus kental bermain disini melalui setiap gaya berbahasa dan busana. Sehingga Aceh yang mempunyai budaya sendiri akhirnya harus menelan mentah-mentah setiap penjajahan budaya yang dilakukan. Dimana semua gaya hidup mulai dari anak kecil sampai muda sudah berkiblat dengan apa yang berbau barat ala ibu kota.
Sebagian media cetak di Aceh hari ini juga tak bisa melawan budaya-budaya luar nan liar yang sama sekali sangat bertolak belakang dengan budaya luhur Aceh.
Semangat keislaman di Aceh yang telah menjadi warisan budaya indatu sama sekali tak kita temukan. Sebagian Media cetak di Aceh hari ini asyik saja menjual postur-postur tubuh wanita untuk dinikmati oleh generasi muda Aceh. Bukan tak mungkin hal ini akan berdampak kepada semakin berkurangnya semangat keislaman yang dimiliki ureung Aceh.
Padahal kalau merujuk kembali kepada Mahatma Gandhi dengan ajaran swadesinya, kita akan diperlihatkan bagaimana gigihnya sang nasionalis legendaris itu mengajak bangsa India untuk kembali kepada budaya asal. Menariknya hal itu terjadi dalam masa-masa perlawanan India kepada Inggris. kekhawatiran Gandhi akan nasib India dengan hegemoni budaya barat itu patut kita apresiasi. Terbukti Swadesi Gandhi berjalan baik di India.
Kita mendapati India hari ini tetap saja berkutat mempertahankan budaya aslinya walaupun disana-sini masih ada pengaruh barat yang tak bisa kita tampikkan.
Semangat mulia Gandhi dengan ajaran swadesinya adalah laku yang baik untuk dicontoh. Gandhi sendiri telah membuktikan keteguhannya untuk mempertahankan budaya bangsanya dalam busana berpakaian tradsional India hatta ke luar negeri sekalipun.
Semangatnya yang lain ditunjukkan manakala Gandhi dipenjara, ia menenun sendiri pakaian tradisional India.
Akhirnya swadesisasi perlu kita wujudkan di Aceh dengan maksud untuk memulihkan kembali budaya-budaya Aceh yang telah mengakar kuat sejak masa indatu. Indentitas keacehan dengan islamnya perlu kita kuatkan kembali.
Dimana upaya kejalan itu tak cukup dengan seremonial beberapa jam saja atau kegiatan sosialisasi beberapa hari saja. Namun perlu kerja keras dan dukungan, serta kesadaran lebih mendalam dari seluruh ureung Aceh. Pencanangan beut Magrib dari pemerintah Aceh satu dari sekian banyak upaya untuk menuju swadesisasi Aceh ala Gandhi.
Semoga ini menjadi modal awal untuk terus membangkitkan kembali budaya keacehan warisan Indatu.
Penulis adalah peminat masalah budaya dan sejarah Aceh, Mahasiswa Al-Azhar Cairo dan Aktivis World Achehnese Association (WAA)