WAA – Press Release : Sabtu 15/08/15, bertepatan sepuluh tahun (satu dekade) perdamaian RI dan GAM
sepakat mendatangani Memorandum Of understanding
(MoU) atau perjanjian damai Aceh di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005. Sesuai
nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang di tandatangani di Helsinki Finlandia tersebut, bahwa pemerintah Indonesia hanya mempunyai wewenang atau berurusan lagi terhadap Aceh dalam enam (6) hal, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1, poin 1.1.2 dan prinsip-prinsip
sab poin a,b,c,d.
Terkait dengan itu, maka pemerintah Aceh bisa melakukan apa saja yang mereka buat sesuai undang-undang baru yang dibuat oleh parlemen Aceh (DPRA) untuk penyelenggarakan pemerintahan di Aceh (sesuai aspirasi masyarakat Aceh) tanpa ada persetujuan lagi dari pemerintah pusat. Apalagi untuk membangun aceh dari ketinggalan akibat perang dan bencana tsunami hingga mencapai kemajuan secara berterusan.
Terkait dengan itu, maka pemerintah Aceh bisa melakukan apa saja yang mereka buat sesuai undang-undang baru yang dibuat oleh parlemen Aceh (DPRA) untuk penyelenggarakan pemerintahan di Aceh (sesuai aspirasi masyarakat Aceh) tanpa ada persetujuan lagi dari pemerintah pusat. Apalagi untuk membangun aceh dari ketinggalan akibat perang dan bencana tsunami hingga mencapai kemajuan secara berterusan.
Jika qanun-qanun yang sudah di buat
dan disahkan oleh pemerintah aceh tidak disetujui oleh pemerintah pusak atau
diulur-ulurkan waktu tidak ada kejelasan yang pasti sehingga menghabat
terlaksananya kewenangan Aceh secara prinsip kesepakatan perdamaian. Maka
pemerintah Aceh serahkan saja persoalan itu kepada GAM untuk berdioalog kembali
dengan pemerintah Indonesia karena tugah GAM juga masih komitmen mengawal
poin-poin MoU Hilsinki agar berjalan sesuai dengan perjanjian mereka.
Berdasarkan evaluasi World Acehnese Association ( WAA ) yang berpusat di Denmark, menurut kami genap 10 tahun perdamaian, pemerintah aceh masih gagal mengwujudkan kewenangan Aceh dan merealisasi poin-poin MoU sesuai kesepakatan RI dan GAM. Semestinya Pemerintah Aceh harus malu, apalagi mantan-mantan Bos GAM sudah menjadi kepala pemerintah Aceh, legeslativ, eksekutiv dan sampé troëh bak geushik ureung ateuëh.
Koordinator WAA, menelusuri bahwa telah terjadi penipuan baru dalam mengwujudkan kewenangan Aceh, seperti adanya korupsi berjamaah, fungsi pemerintahan tidak baik, pembangunan asal jadi, sehingga masyarakat Aceh dapat merasakan sistem penjajahan moderen diterapkan dibalik perdamaian.
Oleh karana itu, maka WAA mengingatkan
kembali pemerintah RI dan GAM serta pemerintah Aceh untuk mengikuti
prinsip-prinsip beriku ini :
- Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh segera menjalankan kewenangan Aceh sesuai poin-poin MoU Helsinki sesuai nota kesepakat.
- RI dan GAM harus bertanggung jawab dan tegas untuk meyelesaikan semua persoalan MoU yang masih tertunda.
- Petinggi GAM yang sudah terperangkap dengan kekuasan jangan terlena di singgahsana sehingga mengabaikan amanah perjuangan bangsa.
- Wakil GAM yang sudah terlibat dalam proses perunding Helsinki harus megambil tanggung jawab moral terhadap kegagalan dalam merealisasikan poin-poin MoU.
- Pemerintah aceh haruh memperhatikan nasip para eks kombatan untuk dapat hidup yang lebih mandari, begitu juga hak korban konflik dan fakir miskin di Aceh.
Salam perdamaian,
Koordinator WAA
Hassan Basri
Bansigom Donja keu Aceh!