Strategi Membentuk Masyarakat Madani

Tgk Safrizal July, S.Pd.I.

WAA - 11/05/2009
Dalam Perspektif  Islam
OPINI - Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, masyarakat kaum muslimin yang Islami itu pun mengalami goncangan yang luar biasa dan kehilangan unsur-unsurnya.  Masyarakat kaum muslimin pun menjadi tidak Islami dan hila

ng kekhasan mereka.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana metode yang harus ditempuh untuk membentuk kembali masyarakat Islam yang telah hancur itu ?
Jawabannya, yang harus dilakukan tiada lain adalah melakukan perubahan masyarakat (taghyirul mujtama’), yakni mengubah masyarakat tidak Islami yang ada sekarang menjadi masyarakat Islam.
Para ulama menjelaskan bahwa, Perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan melakukan perubahan terhadap unsur-unsur masyarakat, yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham).
Mengenai bentuk fisik individu dan karakter-karakter khas yang ada padanya (khashiyat), yaitu kebutuhan jasmani (al hajat al ‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), tentunya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk mengubahnya. Yang dapat diubah adalah aqidah dan kepribadian (syakhshiyah) mereka, sebab perubahan pada aspek ini adalah mungkin untuk dilakukan manusia.
Adapun pemikiran masyarakat –yang digunakan untuk menghukumi perbuatan (af’al) dan barang yang digunakan manusia (asy-ya’)- adalah mungkin untuk diubah. Caranya ialah dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai suatu komunitas umum (majmu’ah ‘ammah) bukan sebagai individu-individu (afrad). Perubahan pemikiran dapat ditandai dengan penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap suatu aqidah yang menjadi sumber berbagai pemikiran. Perubahan pemikiran ini selanjutnya diikuti dengan perubahan perasaan (masya’ir) dan peraturan (nizham) yang mengatur berbagai urusan masyarakat.
Perubahan masyarakat ini haruslah menuju kepada kondisi masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, para pejuang perubahan masyarakat haruslah berusaha mengubah masyarakat yang tidak bangkit (mujtama’ ghairu nahidh) -yaitu masyarakat yang tidak unik-menjadi masyarakat yang bangkit (mujtama’ nahidh), yaitu masyarakat yang unik.
Di seluruh dunia sekarang, setelah hancurnya Uni Sovyet tahun 1991,  hanya terdapat satu model masyarakat unik, yaitu masyarakat kapitalis (al mujtama’ ar ra’sumali), yang terwujud secara konkret pada negara-negara pemeluk ideologi kapitalisme, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Sedangkan masyarakat-masyarakat yang lain adalah masyarakat yang tidak bangkit dan tidak unik.
Adalah sangat sulit mengubah masyarakat yang bangkit lagi unik –dari dalam– menuju masyarakat yang bangkit dan unik dengan jenis yang lain. Misalnya mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis, atau mengubah masyarakat kapitalis yang unik menjadi masyarakat yang tidak unik. Ini sulit sekali terwujud meskipun bukan sesuatu hal yang mustahil.
Perubahan masyarakat mana pun -baik unik maupun tidak unik- dapat terjadi dari luar dengan kekuatan militer atau qiyadah fikriyah (idelogi). Sedang perubahan masyarakat tidak unik dari dalam, dapat terjadi secara alamiah dan sangat mungkin terjadi hanya dengan qiyadah fikriyah (idelogi). Sebab termasuk sifat masyarakat tidak unik, adalah tidak adanya kestabilan dan kemantapan, yang terjadi karena kemerosotannya dan karena tidak adanya peluang bagi individu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya secara sahih, yang akan mengakibatkan individu-individu tersebut akan berpartisipasi dalam perubahan masyarakat.
Mekanisme Perubahan Masyarakat.
Bagaimana mekanisme perubahan masyarakat ini terjadi ? Masyarakat dengan empat unsur penyusunnya –yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham)- dapat diumpamakan dengan sebuah sebuah gelas yang berisi cairan. Individu-individu dapat diumpamakan dengan gelas; sedang pemikiran, perasaan, dan peraturan dapat diumpamakan sebagai cairan di dalam gelas itu. Gelas tersebut akan memiliki warna sesuai dengan warna cairan yang ada di dalamnya. Dengan perumpamaan ini dapat diterangkan, bahwa perubahan masyarakat tidak ditempuh dengan cara menuangkan cairan baru dengan warna baru ke dalam gelas tersebut, melainkan dengan membuang cairan lama dan selanjutnya menuangkan cairan baru sebagai gantinya.  Dengan demikian, masyarakat akan dapat berubah secara fundamental dan berubah warnanya, sebab pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada pada individu-individu adalah faktor yang menentukan warna suatu masyarakat.
Jadi kalau kita hendak mengubah masyarakat tidak unik menjadi masyarakat unik yang bangkit, kita harus memulainya dengan cara membuang cairan yang ada dalam gelas. Hal ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu mengenai ketidaklayakan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada di tengah-tengah mereka. Setelah itu, gelas yang kosong itu diisi dengan cairan baru sebagai ganti cairan lama yang telah dibuang. Ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu terhadap pemikiran, perasaan, dan peraturan baru yang menjadi dasar perubahan masyarakat.
Setiap mabda’ (ideologi) memiliki metodenya masing-masing untuk mengubah masyarakat. Metode ideologi kapitalisme adalah dengan melakukan imperialisme (isti’mar) terhadap berbagai bangsa yang akan diubah. Metode ideologi sosialisme adalah dengan menciptakan kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat yang akan diubah. Sedang metode ideologi Islam adalah dengan jihad fi sabilillah, yaitu mengemban Aqidah Islamiyah kepada manusia dalam bentuk yang dapat membangkitkan perhatian, serta menghancurkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi tersampaikannya Aqidah Islamiyah kepada manusia. Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah.menegakan shalat,menunaikan zakat Jika mereka mengucapkannya maka terpeliharalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka adalah pada allah.”(HR. Bukhari & muslim).
Hanya saja perlu dipahami bahwa metode-metode tersebut -termasuk metode Islam– digunakan ketika terdapat negara yang menerapkan ideologi yang diyakini. Metode Islam, penerapannya nampak secara jelas dengan terjadinya penaklukan-penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) setelah berdirinya daulah Islamiyah di Madinah. Metode kapitalisme dan metode sosialisme nampak dalam Perang Dunia I dan II yang dilakukan oleh masing-masing negara yang menerapkan kapitalisme dan sosialisme.
Adapun bila tidak terdapat negara yang menerapkan ideologi, maka metode yang digunakan –untuk mewujudkan ideologi – tidak sama dengan metode bila ada negara yang menerapkan ideologi.
Dalam kondisi tidak adanya negara Khilafah seperti sekarang ini, maka metode perubahan masyarakat dalam Islam tentunya bukanlah dengan jalan jihad fi sabilillah, melainkan dengan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam di Madinah. Allah SWT telah mengutus Rasulullah di Makkah yang merupakan masyarakat jahiliyah. Rasulullah SAW berjuang mengubah masyarakat sesuai dengan metode yang ditetapkan Allah SWT dalam tiga tahapan (marhalah) :
1. Pembinaan dan Pengkaderan
Tahap pertama : adalah tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif) dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.
2. Berinteraksi dengan masyarakat
Adapun tahap kedua, adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’a al ummah) dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :
Artinya “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr : 94)
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
3. Pengambil Alihan Kekuasaan
Sedang tahap ketiga, adalah tahap pengambil-alihan kekuasaan (marhalah istilam al hukm), ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Bila tahap-tahap dakwah Rasulullah dicermati dan dianalisis, akan nampak bahwa perubahan unsur-unsur masyarakat berlangsung sebagaimana digambarkan pada tabel 1 berikut :
No
Tahapan Dakwah
Perubahan
Indikator Perubahan
Pemikiran
Perasaan
Peraturan
1
Pembinaan dan Pengkaderan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
1.Terbentuknya kepri-badian Islam
2.Terbentuknya kelompok dakwah
2
Interaksi dengan Umat
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) tanpa institusi negara
1.Terbentuknya opini umum ttg Islam
2.Terbentuknya basis dukungan masyarakat
3
Pengambilalihan Kekuasan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) dengan institusi negara
1.Terbentuknya institusi negara
2.Dilaksanakannya misi negara, yaitu : penerapan hukum Islam dan penyebaran dakwah dengan jihad
Tabel  1. Perubahan Unsur-Unsur Masyarakat dalam Tahapan Dakwah Rasulullah SAW.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa masyarakat yang dibangun Rasulullah saw. di kota Madinah adalah masyarakat Islam (al mujtama’ al Islami) karena terdiri dari mayoritas kaum muslimin yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan, yakni pemikiran, perasaan, dan peraturan Islami. Kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan atas dasar Islam inilah yang digunakan dalam melangsungkan hubungan di antara individu warga masyarakat tersebut.
Masyarakat Islami dan misi mereka –yaitu mengemban risalah Islam yang universal itu– ternyata bergerak meluas untuk menyatukan berbagai bangsa yang memiliki aneka ragam bahasa, kesukuan dan kebangsaan, kebudayaan, dan perundangan, menjadi satu umat, yakni umat Islam atau satu masyarakat, yakni masyarakat Islam. 

Masyarakat yang begitu besar dan menghuni bentangan alam yang begitu luas berada dalam satu kesatuan negara, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.  Kuat lemahnya negara tersebut mempengaruhi kuat lemahnya masyarakat Islam. Ketika Daulah Khilafah ini runtuh, maka lenyaplah payung (institusi) yang mewadahi masyarakat Islam dan unsur-unsurnya, khususnya unsur peraturan Islam (nizham Islam). Dengan runtuhnya negara tersebut, satu unsur masyarakat  Islam -yaitu peraturan Islam (nizham Islam)-telah lenyap. Sementara berbagai pemikiran dan perasaan Islam yang ada pada individu-individu muslim sebenarnya masih ada, walaupun mengalami kemerosotan.
 REFERENSI:
Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya Ad Daulah al Islamiyah ,
Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya Mitsaaqul Ummah
Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya Mafahim Islamiyah
Ibnu Hisyam, dalam bukunya Sirah Ibnu Hisyam
 Penulis adalah Safrizal July, S.Pd.I Aktivis World Achehnese Association (WAA) WAA News – Senin 11/05/2009
Dalam Perspektif  Islam
OPINI - Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, masyarakat kaum muslimin yang Islami itu pun mengalami goncangan yang luar biasa dan kehilangan unsur-unsurnya.  Masyarakat kaum muslimin pun menjadi tidak Islami dan hilang kekhasan mereka.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana metode yang harus ditempuh untuk membentuk kembali masyarakat Islam yang telah hancur itu ?
Jawabannya, yang harus dilakukan tiada lain adalah melakukan perubahan masyarakat (taghyirul mujtama’), yakni mengubah masyarakat tidak Islami yang ada sekarang menjadi masyarakat Islam.
Para ulama menjelaskan bahwa, Perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan melakukan perubahan terhadap unsur-unsur masyarakat, yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham).
Mengenai bentuk fisik individu dan karakter-karakter khas yang ada padanya (khashiyat), yaitu kebutuhan jasmani (al hajat al ‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), tentunya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk mengubahnya. Yang dapat diubah adalah aqidah dan kepribadian (syakhshiyah) mereka, sebab perubahan pada aspek ini adalah mungkin untuk dilakukan manusia.
Adapun pemikiran masyarakat –yang digunakan untuk menghukumi perbuatan (af’al) dan barang yang digunakan manusia (asy-ya’)- adalah mungkin untuk diubah. Caranya ialah dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai suatu komunitas umum (majmu’ah ‘ammah) bukan sebagai individu-individu (afrad). Perubahan pemikiran dapat ditandai dengan penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap suatu aqidah yang menjadi sumber berbagai pemikiran. Perubahan pemikiran ini selanjutnya diikuti dengan perubahan perasaan (masya’ir) dan peraturan (nizham) yang mengatur berbagai urusan masyarakat.
Perubahan masyarakat ini haruslah menuju kepada kondisi masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, para pejuang perubahan masyarakat haruslah berusaha mengubah masyarakat yang tidak bangkit (mujtama’ ghairu nahidh) -yaitu masyarakat yang tidak unik-menjadi masyarakat yang bangkit (mujtama’ nahidh), yaitu masyarakat yang unik.
Di seluruh dunia sekarang, setelah hancurnya Uni Sovyet tahun 1991,  hanya terdapat satu model masyarakat unik, yaitu masyarakat kapitalis (al mujtama’ ar ra’sumali), yang terwujud secara konkret pada negara-negara pemeluk ideologi kapitalisme, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Sedangkan masyarakat-masyarakat yang lain adalah masyarakat yang tidak bangkit dan tidak unik.
Adalah sangat sulit mengubah masyarakat yang bangkit lagi unik –dari dalam– menuju masyarakat yang bangkit dan unik dengan jenis yang lain. Misalnya mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis, atau mengubah masyarakat kapitalis yang unik menjadi masyarakat yang tidak unik. Ini sulit sekali terwujud meskipun bukan sesuatu hal yang mustahil.
Perubahan masyarakat mana pun -baik unik maupun tidak unik- dapat terjadi dari luar dengan kekuatan militer atau qiyadah fikriyah (idelogi). Sedang perubahan masyarakat tidak unik dari dalam, dapat terjadi secara alamiah dan sangat mungkin terjadi hanya dengan qiyadah fikriyah (idelogi). Sebab termasuk sifat masyarakat tidak unik, adalah tidak adanya kestabilan dan kemantapan, yang terjadi karena kemerosotannya dan karena tidak adanya peluang bagi individu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya secara sahih, yang akan mengakibatkan individu-individu tersebut akan berpartisipasi dalam perubahan masyarakat.
Mekanisme Perubahan Masyarakat.
Bagaimana mekanisme perubahan masyarakat ini terjadi ? Masyarakat dengan empat unsur penyusunnya –yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham)- dapat diumpamakan dengan sebuah sebuah gelas yang berisi cairan. Individu-individu dapat diumpamakan dengan gelas; sedang pemikiran, perasaan, dan peraturan dapat diumpamakan sebagai cairan di dalam gelas itu. Gelas tersebut akan memiliki warna sesuai dengan warna cairan yang ada di dalamnya. Dengan perumpamaan ini dapat diterangkan, bahwa perubahan masyarakat tidak ditempuh dengan cara menuangkan cairan baru dengan warna baru ke dalam gelas tersebut, melainkan dengan membuang cairan lama dan selanjutnya menuangkan cairan baru sebagai gantinya.  Dengan demikian, masyarakat akan dapat berubah secara fundamental dan berubah warnanya, sebab pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada pada individu-individu adalah faktor yang menentukan warna suatu masyarakat.
Jadi kalau kita hendak mengubah masyarakat tidak unik menjadi masyarakat unik yang bangkit, kita harus memulainya dengan cara membuang cairan yang ada dalam gelas. Hal ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu mengenai ketidaklayakan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada di tengah-tengah mereka. Setelah itu, gelas yang kosong itu diisi dengan cairan baru sebagai ganti cairan lama yang telah dibuang. Ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu terhadap pemikiran, perasaan, dan peraturan baru yang menjadi dasar perubahan masyarakat.
Setiap mabda’ (ideologi) memiliki metodenya masing-masing untuk mengubah masyarakat. Metode ideologi kapitalisme adalah dengan melakukan imperialisme (isti’mar) terhadap berbagai bangsa yang akan diubah. Metode ideologi sosialisme adalah dengan menciptakan kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat yang akan diubah. Sedang metode ideologi Islam adalah dengan jihad fi sabilillah, yaitu mengemban Aqidah Islamiyah kepada manusia dalam bentuk yang dapat membangkitkan perhatian, serta menghancurkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi tersampaikannya Aqidah Islamiyah kepada manusia. Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah.menegakan shalat,menunaikan zakat Jika mereka mengucapkannya maka terpeliharalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka adalah pada allah.”(HR. Bukhari & muslim).
Hanya saja perlu dipahami bahwa metode-metode tersebut -termasuk metode Islam– digunakan ketika terdapat negara yang menerapkan ideologi yang diyakini. Metode Islam, penerapannya nampak secara jelas dengan terjadinya penaklukan-penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) setelah berdirinya daulah Islamiyah di Madinah. Metode kapitalisme dan metode sosialisme nampak dalam Perang Dunia I dan II yang dilakukan oleh masing-masing negara yang menerapkan kapitalisme dan sosialisme.
Adapun bila tidak terdapat negara yang menerapkan ideologi, maka metode yang digunakan –untuk mewujudkan ideologi – tidak sama dengan metode bila ada negara yang menerapkan ideologi.
Dalam kondisi tidak adanya negara Khilafah seperti sekarang ini, maka metode perubahan masyarakat dalam Islam tentunya bukanlah dengan jalan jihad fi sabilillah, melainkan dengan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam di Madinah. Allah SWT telah mengutus Rasulullah di Makkah yang merupakan masyarakat jahiliyah. Rasulullah SAW berjuang mengubah masyarakat sesuai dengan metode yang ditetapkan Allah SWT dalam tiga tahapan (marhalah) :
1. Pembinaan dan Pengkaderan
Tahap pertama : adalah tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif) dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.
2. Berinteraksi dengan masyarakat
Adapun tahap kedua, adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’a al ummah) dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :
Artinya “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr : 94)
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
3. Pengambil Alihan Kekuasaan
Sedang tahap ketiga, adalah tahap pengambil-alihan kekuasaan (marhalah istilam al hukm), ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Bila tahap-tahap dakwah Rasulullah dicermati dan dianalisis, akan nampak bahwa perubahan unsur-unsur masyarakat berlangsung sebagaimana digambarkan pada tabel 1 berikut :
No
Tahapan Dakwah
Perubahan
Indikator Perubahan
Pemikiran
Perasaan
Peraturan
1
Pembinaan dan Pengkaderan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
1.Terbentuknya kepri-badian Islam
2.Terbentuknya kelompok dakwah
2
Interaksi dengan Umat
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) tanpa institusi negara
1.Terbentuknya opini umum ttg Islam
2.Terbentuknya basis dukungan masyarakat
3
Pengambilalihan Kekuasan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) dengan institusi negara
1.Terbentuknya institusi negara
2.Dilaksanakannya misi negara, yaitu : penerapan hukum Islam dan penyebaran dakwah dengan jihad
Tabel  1. Perubahan Unsur-Unsur Masyarakat dalam Tahapan Dakwah Rasulullah SAW.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa masyarakat yang dibangun Rasulullah saw. di kota Madinah adalah masyarakat Islam (al mujtama’ al Islami) karena terdiri dari mayoritas kaum muslimin yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan, yakni pemikiran, perasaan, dan peraturan Islami. Kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan atas dasar Islam inilah yang digunakan dalam melangsungkan hubungan di antara individu warga masyarakat tersebut.
Masyarakat Islami dan misi mereka –yaitu mengemban risalah Islam yang universal itu– ternyata bergerak meluas untuk menyatukan berbagai bangsa yang memiliki aneka ragam bahasa, kesukuan dan kebangsaan, kebudayaan, dan perundangan, menjadi satu umat, yakni umat Islam atau satu masyarakat, yakni masyarakat Islam. 

Masyarakat yang begitu besar dan menghuni bentangan alam yang begitu luas berada dalam satu kesatuan negara, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.  Kuat lemahnya negara tersebut mempengaruhi kuat lemahnya masyarakat Islam. Ketika Daulah Khilafah ini runtuh, maka lenyaplah payung (institusi) yang mewadahi masyarakat Islam dan unsur-unsurnya, khususnya unsur peraturan Islam (nizham Islam). Dengan runtuhnya negara tersebut, satu unsur masyarakat  Islam -yaitu peraturan Islam (nizham Islam)-telah lenyap. Sementara berbagai pemikiran dan perasaan Islam yang ada pada individu-individu muslim sebenarnya masih ada, walaupun mengalami kemerosotan.
 REFERENSI:
Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya Ad Daulah al Islamiyah ,
Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya Mitsaaqul Ummah
Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya Mafahim Islamiyah
Ibnu Hisyam, dalam bukunya Sirah Ibnu Hisyam

 Penulis adalah Safrizal July, S.Pd.I Aktivis World Achehnese Association (WAA)VWAA News – Senin 11/05/2009
Dalam Perspektif  Islam
OPINI - Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, masyarakat kaum muslimin yang Islami itu pun mengalami goncangan yang luar biasa dan kehilangan unsur-unsurnya.  Masyarakat kaum muslimin pun menjadi tidak Islami dan hilang kekhasan mereka.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana metode yang harus ditempuh untuk membentuk kembali masyarakat Islam yang telah hancur itu ?
Jawabannya, yang harus dilakukan tiada lain adalah melakukan perubahan masyarakat (taghyirul mujtama’), yakni mengubah masyarakat tidak Islami yang ada sekarang menjadi masyarakat Islam.
Para ulama menjelaskan bahwa, Perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan melakukan perubahan terhadap unsur-unsur masyarakat, yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham).
Mengenai bentuk fisik individu dan karakter-karakter khas yang ada padanya (khashiyat), yaitu kebutuhan jasmani (al hajat al ‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), tentunya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk mengubahnya. Yang dapat diubah adalah aqidah dan kepribadian (syakhshiyah) mereka, sebab perubahan pada aspek ini adalah mungkin untuk dilakukan manusia.
Adapun pemikiran masyarakat –yang digunakan untuk menghukumi perbuatan (af’al) dan barang yang digunakan manusia (asy-ya’)- adalah mungkin untuk diubah. Caranya ialah dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai suatu komunitas umum (majmu’ah ‘ammah) bukan sebagai individu-individu (afrad). Perubahan pemikiran dapat ditandai dengan penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap suatu aqidah yang menjadi sumber berbagai pemikiran. Perubahan pemikiran ini selanjutnya diikuti dengan perubahan perasaan (masya’ir) dan peraturan (nizham) yang mengatur berbagai urusan masyarakat.
Perubahan masyarakat ini haruslah menuju kepada kondisi masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, para pejuang perubahan masyarakat haruslah berusaha mengubah masyarakat yang tidak bangkit (mujtama’ ghairu nahidh) -yaitu masyarakat yang tidak unik-menjadi masyarakat yang bangkit (mujtama’ nahidh), yaitu masyarakat yang unik.
Di seluruh dunia sekarang, setelah hancurnya Uni Sovyet tahun 1991,  hanya terdapat satu model masyarakat unik, yaitu masyarakat kapitalis (al mujtama’ ar ra’sumali), yang terwujud secara konkret pada negara-negara pemeluk ideologi kapitalisme, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Sedangkan masyarakat-masyarakat yang lain adalah masyarakat yang tidak bangkit dan tidak unik.
Adalah sangat sulit mengubah masyarakat yang bangkit lagi unik –dari dalam– menuju masyarakat yang bangkit dan unik dengan jenis yang lain. Misalnya mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis, atau mengubah masyarakat kapitalis yang unik menjadi masyarakat yang tidak unik. Ini sulit sekali terwujud meskipun bukan sesuatu hal yang mustahil.
Perubahan masyarakat mana pun -baik unik maupun tidak unik- dapat terjadi dari luar dengan kekuatan militer atau qiyadah fikriyah (idelogi). Sedang perubahan masyarakat tidak unik dari dalam, dapat terjadi secara alamiah dan sangat mungkin terjadi hanya dengan qiyadah fikriyah (idelogi). Sebab termasuk sifat masyarakat tidak unik, adalah tidak adanya kestabilan dan kemantapan, yang terjadi karena kemerosotannya dan karena tidak adanya peluang bagi individu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya secara sahih, yang akan mengakibatkan individu-individu tersebut akan berpartisipasi dalam perubahan masyarakat.
Mekanisme Perubahan Masyarakat.
Bagaimana mekanisme perubahan masyarakat ini terjadi ? Masyarakat dengan empat unsur penyusunnya –yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham)- dapat diumpamakan dengan sebuah sebuah gelas yang berisi cairan. Individu-individu dapat diumpamakan dengan gelas; sedang pemikiran, perasaan, dan peraturan dapat diumpamakan sebagai cairan di dalam gelas itu. Gelas tersebut akan memiliki warna sesuai dengan warna cairan yang ada di dalamnya. Dengan perumpamaan ini dapat diterangkan, bahwa perubahan masyarakat tidak ditempuh dengan cara menuangkan cairan baru dengan warna baru ke dalam gelas tersebut, melainkan dengan membuang cairan lama dan selanjutnya menuangkan cairan baru sebagai gantinya.  Dengan demikian, masyarakat akan dapat berubah secara fundamental dan berubah warnanya, sebab pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada pada individu-individu adalah faktor yang menentukan warna suatu masyarakat.
Jadi kalau kita hendak mengubah masyarakat tidak unik menjadi masyarakat unik yang bangkit, kita harus memulainya dengan cara membuang cairan yang ada dalam gelas. Hal ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu mengenai ketidaklayakan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada di tengah-tengah mereka. Setelah itu, gelas yang kosong itu diisi dengan cairan baru sebagai ganti cairan lama yang telah dibuang. Ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu terhadap pemikiran, perasaan, dan peraturan baru yang menjadi dasar perubahan masyarakat.
Setiap mabda’ (ideologi) memiliki metodenya masing-masing untuk mengubah masyarakat. Metode ideologi kapitalisme adalah dengan melakukan imperialisme (isti’mar) terhadap berbagai bangsa yang akan diubah. Metode ideologi sosialisme adalah dengan menciptakan kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat yang akan diubah. Sedang metode ideologi Islam adalah dengan jihad fi sabilillah, yaitu mengemban Aqidah Islamiyah kepada manusia dalam bentuk yang dapat membangkitkan perhatian, serta menghancurkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi tersampaikannya Aqidah Islamiyah kepada manusia. Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah.menegakan shalat,menunaikan zakat Jika mereka mengucapkannya maka terpeliharalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka adalah pada allah.”(HR. Bukhari & muslim).
Hanya saja perlu dipahami bahwa metode-metode tersebut -termasuk metode Islam– digunakan ketika terdapat negara yang menerapkan ideologi yang diyakini. Metode Islam, penerapannya nampak secara jelas dengan terjadinya penaklukan-penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) setelah berdirinya daulah Islamiyah di Madinah. Metode kapitalisme dan metode sosialisme nampak dalam Perang Dunia I dan II yang dilakukan oleh masing-masing negara yang menerapkan kapitalisme dan sosialisme.
Adapun bila tidak terdapat negara yang menerapkan ideologi, maka metode yang digunakan –untuk mewujudkan ideologi – tidak sama dengan metode bila ada negara yang menerapkan ideologi.
Dalam kondisi tidak adanya negara Khilafah seperti sekarang ini, maka metode perubahan masyarakat dalam Islam tentunya bukanlah dengan jalan jihad fi sabilillah, melainkan dengan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam di Madinah. Allah SWT telah mengutus Rasulullah di Makkah yang merupakan masyarakat jahiliyah. Rasulullah SAW berjuang mengubah masyarakat sesuai dengan metode yang ditetapkan Allah SWT dalam tiga tahapan (marhalah) :
1. Pembinaan dan Pengkaderan
Tahap pertama : adalah tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif) dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.
2. Berinteraksi dengan masyarakat
Adapun tahap kedua, adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’a al ummah) dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :
Artinya “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr : 94)
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
3. Pengambil Alihan Kekuasaan
Sedang tahap ketiga, adalah tahap pengambil-alihan kekuasaan (marhalah istilam al hukm), ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Bila tahap-tahap dakwah Rasulullah dicermati dan dianalisis, akan nampak bahwa perubahan unsur-unsur masyarakat berlangsung sebagaimana digambarkan pada tabel 1 berikut :
No
Tahapan Dakwah
Perubahan
Indikator Perubahan
Pemikiran
Perasaan
Peraturan
1
Pembinaan dan Pengkaderan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
1.Terbentuknya kepri-badian Islam
2.Terbentuknya kelompok dakwah
2
Interaksi dengan Umat
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) tanpa institusi negara
1.Terbentuknya opini umum ttg Islam
2.Terbentuknya basis dukungan masyarakat
3
Pengambilalihan Kekuasan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) dengan institusi negara
1.Terbentuknya institusi negara
2.Dilaksanakannya misi negara, yaitu : penerapan hukum Islam dan penyebaran dakwah dengan jihad
Tabel  1. Perubahan Unsur-Unsur Masyarakat dalam Tahapan Dakwah Rasulullah SAW.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa masyarakat yang dibangun Rasulullah saw. di kota Madinah adalah masyarakat Islam (al mujtama’ al Islami) karena terdiri dari mayoritas kaum muslimin yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan, yakni pemikiran, perasaan, dan peraturan Islami. Kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan atas dasar Islam inilah yang digunakan dalam melangsungkan hubungan di antara individu warga masyarakat tersebut.
Masyarakat Islami dan misi mereka –yaitu mengemban risalah Islam yang universal itu– ternyata bergerak meluas untuk menyatukan berbagai bangsa yang memiliki aneka ragam bahasa, kesukuan dan kebangsaan, kebudayaan, dan perundangan, menjadi satu umat, yakni umat Islam atau satu masyarakat, yakni masyarakat Islam. 

Masyarakat yang begitu besar dan menghuni bentangan alam yang begitu luas berada dalam satu kesatuan negara, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.  Kuat lemahnya negara tersebut mempengaruhi kuat lemahnya masyarakat Islam. Ketika Daulah Khilafah ini runtuh, maka lenyaplah payung (institusi) yang mewadahi masyarakat Islam dan unsur-unsurnya, khususnya unsur peraturan Islam (nizham Islam). Dengan runtuhnya negara tersebut, satu unsur masyarakat  Islam -yaitu peraturan Islam (nizham Islam)-telah lenyap. Sementara berbagai pemikiran dan perasaan Islam yang ada pada individu-individu muslim sebenarnya masih ada, walaupun mengalami kemerosotan.
 REFERENSI:
Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya Ad Daulah al Islamiyah ,
Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya Mitsaaqul Ummah
Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya Mafahim Islamiyah
Ibnu Hisyam, dalam bukunya Sirah Ibnu Hisyam
 Penulis adalah Safrizal July, S.Pd.I Aktivis World Achehnese Association (WAA) WAA News – Senin 11/05/2009
Dalam Perspektif  Islam
OPINI - Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, masyarakat kaum muslimin yang Islami itu pun mengalami goncangan yang luar biasa dan kehilangan unsur-unsurnya.  Masyarakat kaum muslimin pun menjadi tidak Islami dan hilang kekhasan mereka.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana metode yang harus ditempuh untuk membentuk kembali masyarakat Islam yang telah hancur itu ?
Jawabannya, yang harus dilakukan tiada lain adalah melakukan perubahan masyarakat (taghyirul mujtama’), yakni mengubah masyarakat tidak Islami yang ada sekarang menjadi masyarakat Islam.
Para ulama menjelaskan bahwa, Perubahan dalam masyarakat akan terjadi dengan melakukan perubahan terhadap unsur-unsur masyarakat, yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham).
Mengenai bentuk fisik individu dan karakter-karakter khas yang ada padanya (khashiyat), yaitu kebutuhan jasmani (al hajat al ‘udhwiyah) dan naluri (gharizah), tentunya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk mengubahnya. Yang dapat diubah adalah aqidah dan kepribadian (syakhshiyah) mereka, sebab perubahan pada aspek ini adalah mungkin untuk dilakukan manusia.
Adapun pemikiran masyarakat –yang digunakan untuk menghukumi perbuatan (af’al) dan barang yang digunakan manusia (asy-ya’)- adalah mungkin untuk diubah. Caranya ialah dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai suatu komunitas umum (majmu’ah ‘ammah) bukan sebagai individu-individu (afrad). Perubahan pemikiran dapat ditandai dengan penerimaan sebagian besar masyarakat terhadap suatu aqidah yang menjadi sumber berbagai pemikiran. Perubahan pemikiran ini selanjutnya diikuti dengan perubahan perasaan (masya’ir) dan peraturan (nizham) yang mengatur berbagai urusan masyarakat.
Perubahan masyarakat ini haruslah menuju kepada kondisi masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, para pejuang perubahan masyarakat haruslah berusaha mengubah masyarakat yang tidak bangkit (mujtama’ ghairu nahidh) -yaitu masyarakat yang tidak unik-menjadi masyarakat yang bangkit (mujtama’ nahidh), yaitu masyarakat yang unik.
Di seluruh dunia sekarang, setelah hancurnya Uni Sovyet tahun 1991,  hanya terdapat satu model masyarakat unik, yaitu masyarakat kapitalis (al mujtama’ ar ra’sumali), yang terwujud secara konkret pada negara-negara pemeluk ideologi kapitalisme, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Sedangkan masyarakat-masyarakat yang lain adalah masyarakat yang tidak bangkit dan tidak unik.
Adalah sangat sulit mengubah masyarakat yang bangkit lagi unik –dari dalam– menuju masyarakat yang bangkit dan unik dengan jenis yang lain. Misalnya mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis, atau mengubah masyarakat kapitalis yang unik menjadi masyarakat yang tidak unik. Ini sulit sekali terwujud meskipun bukan sesuatu hal yang mustahil.
Perubahan masyarakat mana pun -baik unik maupun tidak unik- dapat terjadi dari luar dengan kekuatan militer atau qiyadah fikriyah (idelogi). Sedang perubahan masyarakat tidak unik dari dalam, dapat terjadi secara alamiah dan sangat mungkin terjadi hanya dengan qiyadah fikriyah (idelogi). Sebab termasuk sifat masyarakat tidak unik, adalah tidak adanya kestabilan dan kemantapan, yang terjadi karena kemerosotannya dan karena tidak adanya peluang bagi individu di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya secara sahih, yang akan mengakibatkan individu-individu tersebut akan berpartisipasi dalam perubahan masyarakat.
Mekanisme Perubahan Masyarakat.
Bagaimana mekanisme perubahan masyarakat ini terjadi ? Masyarakat dengan empat unsur penyusunnya –yaitu individu (afrad), pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (nizham)- dapat diumpamakan dengan sebuah sebuah gelas yang berisi cairan. Individu-individu dapat diumpamakan dengan gelas; sedang pemikiran, perasaan, dan peraturan dapat diumpamakan sebagai cairan di dalam gelas itu. Gelas tersebut akan memiliki warna sesuai dengan warna cairan yang ada di dalamnya. Dengan perumpamaan ini dapat diterangkan, bahwa perubahan masyarakat tidak ditempuh dengan cara menuangkan cairan baru dengan warna baru ke dalam gelas tersebut, melainkan dengan membuang cairan lama dan selanjutnya menuangkan cairan baru sebagai gantinya.  Dengan demikian, masyarakat akan dapat berubah secara fundamental dan berubah warnanya, sebab pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada pada individu-individu adalah faktor yang menentukan warna suatu masyarakat.
Jadi kalau kita hendak mengubah masyarakat tidak unik menjadi masyarakat unik yang bangkit, kita harus memulainya dengan cara membuang cairan yang ada dalam gelas. Hal ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu mengenai ketidaklayakan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang ada di tengah-tengah mereka. Setelah itu, gelas yang kosong itu diisi dengan cairan baru sebagai ganti cairan lama yang telah dibuang. Ini ditempuh dengan cara meyakinkan individu-individu terhadap pemikiran, perasaan, dan peraturan baru yang menjadi dasar perubahan masyarakat.
Setiap mabda’ (ideologi) memiliki metodenya masing-masing untuk mengubah masyarakat. Metode ideologi kapitalisme adalah dengan melakukan imperialisme (isti’mar) terhadap berbagai bangsa yang akan diubah. Metode ideologi sosialisme adalah dengan menciptakan kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat yang akan diubah. Sedang metode ideologi Islam adalah dengan jihad fi sabilillah, yaitu mengemban Aqidah Islamiyah kepada manusia dalam bentuk yang dapat membangkitkan perhatian, serta menghancurkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi tersampaikannya Aqidah Islamiyah kepada manusia. Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda :
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah.menegakan shalat,menunaikan zakat Jika mereka mengucapkannya maka terpeliharalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak islam dan perhitungan mereka adalah pada allah.”(HR. Bukhari & muslim).
Hanya saja perlu dipahami bahwa metode-metode tersebut -termasuk metode Islam– digunakan ketika terdapat negara yang menerapkan ideologi yang diyakini. Metode Islam, penerapannya nampak secara jelas dengan terjadinya penaklukan-penaklukan Islam (futuhat Islamiyah) setelah berdirinya daulah Islamiyah di Madinah. Metode kapitalisme dan metode sosialisme nampak dalam Perang Dunia I dan II yang dilakukan oleh masing-masing negara yang menerapkan kapitalisme dan sosialisme.
Adapun bila tidak terdapat negara yang menerapkan ideologi, maka metode yang digunakan –untuk mewujudkan ideologi – tidak sama dengan metode bila ada negara yang menerapkan ideologi.
Dalam kondisi tidak adanya negara Khilafah seperti sekarang ini, maka metode perubahan masyarakat dalam Islam tentunya bukanlah dengan jalan jihad fi sabilillah, melainkan dengan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam membentuk masyarakat Islam di Madinah. Allah SWT telah mengutus Rasulullah di Makkah yang merupakan masyarakat jahiliyah. Rasulullah SAW berjuang mengubah masyarakat sesuai dengan metode yang ditetapkan Allah SWT dalam tiga tahapan (marhalah) :
1. Pembinaan dan Pengkaderan
Tahap pertama : adalah tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif) dilakukan Rasulullah SAW pada tahap awal dakwah beliau selama tiga tahun. Beliau berdakwah melalui individu dan menyam­paikan kepada orang-orang (yang ada di Makkah dan sekitarnya) apa yang telah disampaikan Allah kepada­nya. Bagi orang yang sudah mengimaninya, maka ia diikat dengan kelompoknya (pengikut Rasul) atas dasar Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasulullah SAW berusaha mengajarkan Islam kepada setiap orang baru dan membacakan kepada mereka apa-apa yang telah diturunkan Allah dan ayat-ayat Al-Quran, sehingga mereka berpola hidup secara Islam. Beliau bertemu dengan mereka secara rahasia dan membina mereka secara rahasia pula di tempat-tempat yang tersembunyi. Selain itu mereka melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian penyebaran Islam makin meluas dan menjadi buah bibir masyarakat (Makkah), yang pada akhirnya secara berangsur-angsur mereka masuk ke dalam Islam.
2. Berinteraksi dengan masyarakat
Adapun tahap kedua, adalah tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’a al ummah) dilaksanakan Rasulullah SAW setelah turunnya firman Allah SWT :
Artinya “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr : 94)
Rasulullah SAW diperintahkan menyampaikan risalahnya secara terang-terangan. Beliau menyeru orang-orang Quraisy di bukit Shafa dan memberitahu bahwasanya beliau adalah seorang nabi yang diutus. Beliau meminta agar mereka beriman kepadanya. Beliau memulai menyampaikan dakwahnya kepada kelompok-kelompok dan kepada individu-individu. Beliau menentang orang-orang Quraisy melawan tuhan-tuhan mereka, aqidah dan pemikiran mereka, mengungkapkan kepalsuan, kerusakan dan kesalahannya.
Beliau menyerang dan mencela setiap aqidah dan pemikiran kufur yang ada pada saat itu, sementara ayat Al-Quran masih turun secara berangsur-angsur. Ayat Al-Quran tersebut turun dan menyerang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy, seperti perbuatan memakan riba, mengubur anak-anak perempuan (hidup-hidup), mengurangi timbangan dan perzinahan. Seiring dengan itu ayat Al-Quran turun mengecam para pemimpin dan tokoh-tokoh Quraisy, mencapnya sebagai orang bodoh, termasuk nenek moyang mereka dan mengungkapkan persekongkolan yang mereka rancang untuk menentang Rasul dan sahabat-sahabatnya.
3. Pengambil Alihan Kekuasaan
Sedang tahap ketiga, adalah tahap pengambil-alihan kekuasaan (marhalah istilam al hukm), ditempuh dengan cara melakukan thalabun nushrah (mencari pertolongan dan dukungan) untuk menjamin keberlangsungan dakwah secara aman dan memperoleh kekuasaan. Dalam sirah Rasulullah SAW, beliau mendapatkan nushrah dari kabilah Aus dan Khazraj yang dengan peristiwa Baiat Aqabah II, mereka akhirnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Secara nyata kekuasaan ini dilaksanakan dan dijalankan oleh Rasulullah SAW setelah beliau berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai Daulah Islamiyah pertama di muka bumi, untuk menegakkan hukum Allah di dalam negeri dan menyebarluaskan Islam dengan jalan dakwah dan jihad ke luar negeri.
Bila tahap-tahap dakwah Rasulullah dicermati dan dianalisis, akan nampak bahwa perubahan unsur-unsur masyarakat berlangsung sebagaimana digambarkan pada tabel 1 berikut :
No
Tahapan Dakwah
Perubahan
Indikator Perubahan
Pemikiran
Perasaan
Peraturan
1
Pembinaan dan Pengkaderan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan individual (terbatas)
1.Terbentuknya kepri-badian Islam
2.Terbentuknya kelompok dakwah
2
Interaksi dengan Umat
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) tanpa institusi negara
1.Terbentuknya opini umum ttg Islam
2.Terbentuknya basis dukungan masyarakat
3
Pengambilalihan Kekuasan
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum)
-Tak Islami menjadi Islami
-Cakupan luas (umum) dengan institusi negara
1.Terbentuknya institusi negara
2.Dilaksanakannya misi negara, yaitu : penerapan hukum Islam dan penyebaran dakwah dengan jihad
Tabel  1. Perubahan Unsur-Unsur Masyarakat dalam Tahapan Dakwah Rasulullah SAW.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa masyarakat yang dibangun Rasulullah saw. di kota Madinah adalah masyarakat Islam (al mujtama’ al Islami) karena terdiri dari mayoritas kaum muslimin yang memiliki kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan, yakni pemikiran, perasaan, dan peraturan Islami. Kesatuan pemikiran, perasaan, dan peraturan atas dasar Islam inilah yang digunakan dalam melangsungkan hubungan di antara individu warga masyarakat tersebut.
Masyarakat Islami dan misi mereka –yaitu mengemban risalah Islam yang universal itu– ternyata bergerak meluas untuk menyatukan berbagai bangsa yang memiliki aneka ragam bahasa, kesukuan dan kebangsaan, kebudayaan, dan perundangan, menjadi satu umat, yakni umat Islam atau satu masyarakat, yakni masyarakat Islam. 

Masyarakat yang begitu besar dan menghuni bentangan alam yang begitu luas berada dalam satu kesatuan negara, yakni Daulah Khilafah Islamiyah.  Kuat lemahnya negara tersebut mempengaruhi kuat lemahnya masyarakat Islam. Ketika Daulah Khilafah ini runtuh, maka lenyaplah payung (institusi) yang mewadahi masyarakat Islam dan unsur-unsurnya, khususnya unsur peraturan Islam (nizham Islam). Dengan runtuhnya negara tersebut, satu unsur masyarakat  Islam -yaitu peraturan Islam (nizham Islam)-telah lenyap. Sementara berbagai pemikiran dan perasaan Islam yang ada pada individu-individu muslim sebenarnya masih ada, walaupun mengalami kemerosotan.
 REFERENSI:
Taqiyuddin An Nabhani dalam bukunya Ad Daulah al Islamiyah ,
Abdul Qadim Zallum, dalam bukunya Mitsaaqul Ummah
Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya Mafahim Islamiyah
Ibnu Hisyam, dalam bukunya Sirah Ibnu Hisyam
 Penulis adalah Safrizal July, S.Pd.I Aktivis World Achehnese Association (WAA)
Previous Post Next Post