Darurat Perdamaian Pasca Penembakan Kantor EU

Hendra Fadli Kordinator Kontras Aceh [Foto/acehinstitute.org].


BANDA ACEH - Masih segar rasa dalam ingatan kita kasus-kasus kriminalitas pemilu yang terjadi sepanjang paruh kedua tahun 2008 dan paruh awal tahun 2009. Kasus-kasus tersebut tidak pernah terjawab dengan tuntas, siapa yang melakukan, dan siapa yang menunggangi. Beragam skenario dibangun dan menjadi asumsi masyarakat awam tentang siapa yang berkepentingan menggagalkan pemilu 2009 ini.

Sikap diam dan kegagalan polisi dalam melakukan pengamanan membangun 3 asumsi. Pertama, aparat kepolisian memang terlibat di dalamnya secara langsung; kedua, aparat kepolisian mengetahui siapa yang terlibat, tetapi tidak cukup berani untuk mengambil sikap karena keterbatasan otoritas dan power; dan ketiga, aparat kepolisian memang impoten dan tidak memiliki kecakapan, kapabilitas dan kekuasaan apa-apa. Hal yang sangat naif.

Saat ini setelah fakta kriminalitas pemilu selesai, kita dihadapkan pada fakta kriminalitas baru yaitu aksi teror yang dialamatkan kepada pekerja internasional pendukung perdamaian dan program kemanusiaan di Aceh. Sekedar menyebut contoh kasus penangkapan dan penyekapan pekerja dari World Bank (WB) pada 23 September 2008, kasus penembakan pekerja Palang Merah Jerman, Erhard Bauer. pada tanggal pada tanggal 6 November 2009, dan terakhir adalah penembakan dan teror yang dialamatkan kepada Guest House Uni Eropa pada tanggal 16 November 2009. Beberapa hal yang menarik untuk dicatat dari semua peristiwa tersebut adalah:

1. Semua peristiwa tidak bermotif ekonomi dengan indikasi tidak ada aksi perampokan dan motif-motif profit lainnya.

2. Semua peristiwa tidak bermotif pembunuhan karena yang dijadikan target tidak dibunuh, tetapi hanya dijadikan target kekerasan dan pelukaan saja.

3. Semua peristiwa-peristiwa terkini dialamatkan kepada pekerja internasional yang notabene adalah pihak yang sangat berpotensi untuk mengawal MoU dan UUPA secara netral dan konsisten.

Kekerasan terhadap pekerja internasional secara langsung merupakan simbol adanya teror terhadap perdamaian, dengan menargetkan insitusi atau lembaga yang selama ini secara konsisten dan persisten mengawal perdamaian. Dalam pandangan kami ini MURNI POLITIK, bukan kriminalitas biasa.

Sungguh disayangkan, di saat Aceh sedang menuju tahap kemapanan perdamaian yang sudah memasuki tahun ke-4, masih ada pihak-pihak yang merasa tidak ikhlas terhadap proses yang sedang berjalan. Termasuk masih ada kecurigaan terhadap agenda penguatan demokrasi yang justru dituding menyimpan benih segragasi. Bahkan termasuk juga kecurigaan terhadap pekerja asing yang diasumsikan menunggangi perjuangan Aceh dan mengangkangi kedaulatan Republik Indonesia. Padahal yang perlu dicatat, setiap proses politik yang terjadi di Aceh semata-mata berada dalam kerangka Republik Indonesia.

Kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan belakangan ini kian memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Penargetan Uni Eropa –sebelumnya Jerman yang juga merupakan bagian dari Uni Eropa—menjadi simbol awal pengeroposan proses perdamaian Aceh. Satu hal yang perlu dicatat, semua kasus yang terjadi memiliki MODUS yang sama, POLA yang sama, hanya PENYANYI-nya yang berbeda –atau mungkin juga sama.

Berdasarkan pemikiran itu kami memandang perlu adanya upaya membangun kesadaran bahwa Aceh sedang memasuki masa DARURAT PERDAMAIAN. Karena itu sebagai langkah awal, kami memandang perlu:

1. Kepada SBY agar tetap komitmen dengan janji memperjuangkan keberlanjutan perdamaian di Aceh, termasuk menggaransi tidak adanya lagi teror-teror terhadap pekerja asing dan masyarakat sipil yang berpotensi merusak perdamaian Aceh. Komitmen ini menjadi simbol bahwa SBY adalah pemimpin yang layak dipercaya, dan bukanlah pemimpin yang memperdaya Aceh, yang menggali suara untuk kemenangannya dalam pilpres 2009 lalu saja. SBY harus bertanggung jawab untuk mengamankan Aceh setelah Aceh menyerahkan kepercayaan dan perdamaian secara absolut di tangannya.

2. Sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan perdamaian maka diharapkan kepada aparat keamanan agar serius menjalankan fungsinya untuk mencegah tindakan teror di Aceh serta berupaya optimal untuk mengungkapkan motif dan pelaku dibalik aksi kasus kekerasan yang telah terjadi.

3. Komunitas internasional agar tidak surut dalam kontribusi untuk mengawal perdamaian di Aceh di tengah-tengah teror yang terus terjadi belakangan ini. Justur semua peristiwa kekerasan yang terjadi menjadi fakta bahwa keterlibatan komunitas internasional dalam mengawal perdamaian adalah sesuatu yang wajib dan niscaya

Bagi kami sederhana saja

BILA PEMERINTAH –TERMASUK APARAT KEAMANAN– GAGAL MENGAMANKAN PELAKU TEROR, MAKA PEMERINTAH –TERMASUK APARAT KEAMANAN—ADALAH BAGIAN DARI PELALU TEROR ITU SENDIRI

Banda Aceh, 19 November 2009

A.n. PJ Desk Darurat Perdamaian Aceh

Juru Bicara
Fajran Zein
Hendra Fadli
Shadia Marhaban

AJMI, Aceh Institute, KontraS Aceh, LBH Bada Aceh, Forum LSM Aceh, LINA, Walhi, YP HAM, GeRAK Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, YAB, LSM Titian Keadilan, SPKP HAM Aceh.

Perdamaian Berkeadilan untuk Aceh!

KontraS Aceh
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
The Aceh Commission for Disappearances and Victims of Violence
Jl. Mujur No. 98 A, Lingkungan Raja Jalil, Gampong Lamlagang
Banda Aceh 23239 Indonesia Telp./Fax. +62-651-40625
Previous Post Next Post