Diskusi Mahasiswa Aceh Mesir Tentang Hukum Rajam

Diskusi Mahasiswa Aceh Mesir tentang hukum rajam pada rabu 28 oktober 2009
 [Foto TGK.Ilham Hidaya Tullah] 

WAA Selasa 10/11/2009 dikutip oleh: Aydil Fida bin Ismail.

“Rajam”. Itulah permasalahan umat yang sedang berkembang di Aceh saat ini. Sejak penundaan pengesahan nya oleh Gubernur, hingga hari ini masih saja banyak tuntutan dari elemen masyakat Aceh. Hari jumat (6/11) bisa kita lihat di empat tempat terpisah, yaitu: Langsa, Lhokseumawe, Aceh Tengah dan Banda Aceh. Mahasiswa berdemontrasi menuntut pengesahan hukum rajam.

Sebenarnya jauh hari sebelumnya,  28 0ktober 2009, mahasiwa Aceh Mesir sudah menggelar aksi peduli syari’at juga, namun tidak dengan berunjuk rasa turun ke lapangan, mereka hanya berdiskusi tentang hukum rajam untuk mengetahui bagaimana  hakikat hukum sebenarnya di Meuligoe Aceh (Sekretariat).

Acara diskusi ini merupakan agenda belajar mingguan Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir (KMA) sebagai wadah belajar bersama sekaligus wacana peduli Islam dan umat, Aceh khususnya. Diskusi ini dinamakan “zawiyah“, sebentuk kelompok pengkaji perkembangan Aceh dan Islam, sebagai bukti kepedulian mahasiswa Aceh Mesir untuk bangsa dan agama.

Nah, berhubung lagi hangat-hangatnya penundaan pengesahan hukum rajam di Aceh, maka pada kajian ini tema yang diangkat adalah hukum rajam dan kehujjahan hadis ahad, berhubung ada oknum yang berdalih bahwa beramal dengan hadis ahad tidak wajib,bahwa hadis ahad dha’if atau lemah hukumnya. Untuk pemateri hukum rajam ditugaskan kepada Tgk  Salman al-Farisi, lc., mahasiswa  S-2 Al-Azhar Jurusan Ushul Fiqh, asal Aceh Pidie. Sedangkan hadis ahad diserahkan kepada  Tgk suryanto, lc., lebih akrab dipanggil, Tgk Muhammad Abduh, mahasiswa S-2 Al-Azhar Jurusan Hadis, asal Aceh Barat.

Acara dimoderatori oleh  Tgk Nurchalis Muchtar. Untuk sesi pertama, waktu diserahkan kepada  Tgk. Salman. Makalah yang beliau tulis, dibagikan kepada peserta yang hadir dan beliau mempresentasikannya. kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sebelum dilanjutkan kepada sesi tanya jawab, biar lebih jelas, inilah kutipan tulisan beliau:

Sumber Landasan Hukuman Zina A. Al-Quran

Dan inilah makalah yang telah beliau tulis:

Keabsahan Hukuman Rajam

I. Pendahuluan

Empat belas abad telah berlalu, Islam mengatur kehidupan manusia. Mulai hal-hal kecil dalam kehidupan mereka sampai hal-hal besar, bahkan sampai mereka tidak lagi berada
dalam dunia ini hukum Islam tetap tidak luput dari mereka.

Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dan menciptakan nafsu syahwat dalam diri anak adam supaya mereka dapat terus berkembang biak memakmurkan bumi ini. Namun untuk menyalurkan nafsu tersebut Allah mensyariatkan nikah sebagai hubungan resmi dan mengharamkan hubungan di luar koridor yang telah ditentukan.

Melalui utusanNya nabi Muhammad saw, Allah swt menurunkan undang-undang kehidupan dengan sanksi-sanksinya. Bagi mereka yang melampiaskan nafsu syahwat dengan cara yang diharamkan (zina) Allah menurunkan sanksi berupa cambuk atau rajam bagi yang sudah menikah.

Ulama mujtahid yang merupakan pewaris Nabi berusaha membukukan undang-undang tersebut dalam kitab-kitab mereka yang dikenal dengan kitab fiqih. Pembukuan tersebut adalah hasil ijtihad mereka dari dalil-dalil Al Quran dan hadis. Diantara hasil yang telah mereka usahakan adalah hukuman bagi pelaku zina.

Sejak berabad-abad telah berlalu, para ulama telah sepakat bahwa hkuman bagi orang yang berzina adalah cambuk bagi yang belum nikah dan rajam menurut empat mazhab besar bagi yang sudah pernah menikah. Akan tetapi hukuman rajam ini menuai kontroversi dikalangan mereka. Bahkan sampai sekarang hukuman yang dikenal sangat mengerikan daripada qishash itu selalu saja jadi kontroversial dikalangan ulama.

Bertepatan dengan disahkannya qanun jinayat beberapa waktu yang lalu di negeri Aceh, diantara substansinya adalah merajam pelaku zina yang sudah menikah. Pengesahan itu menuai pro dan kontra disegala kalangan. Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin mengetahui sejauh mana pensyariatan rajam dalam Islam. Apa yang akan penulis paparkan adalah hasil bacaan penulis semata bukan hasil penelitian dikarenakan waktu yang sangat singkat untuk menghadirkan makalah ini.

II. Hukumam Bagi Pelaku Zina

Disini penulis tidak akan membicarakan pengertian zina, karena penulis yakin bahwa semua orang tahu apa itu zina, dan disebabkan oleh hal yang menjadi objek pembahasan kita kali ini adalah hukuman rajam. Setelah diciptakan anak adam ketertarikan kepada lawan jenis telah ada disebabkan nafsu syahwat yang tercipta. Demikian juga halnya zina, sejarah kehidupan manusia mengenal  apa itu zina dan hukuman bagi pelakunya.

Zina pernah terjadi beberapa kali di masa Rasulullah saw dan Rasul pun telah memberikan konsekuensi hukum bagi pelakunya. Banyak hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah yang menegaskan tentang hukuman yang dilaksanakan oleh Rasul saw, dipermasalahkan bila berhadapan dengan ayat-ayat hukum dalam Al Quran.

Pelaku zina digolongkan dalam dua macam, pertama adalah pelaku zina yang masih lajang dalam artian belum kawin. Sedangkan yang kedua adalah pelaku zina yang sudah kawin yang dikenal dalam istilah fikih al muhsan. Bagi pelaku pertama, ulama Islam telah bersepakat atas hukukman yang dijatuhkan kepadanya yaitu dicambuk seratus kali dengan sedikit perselisihan dalam hukuman pengasingan sebagai tambahan. Sedangkan bagi pelaku yang kedua, ulama empat mazhab besar juga telah bersepakat rajam sebagai
hukumannya dan juga dengan sedikit perselisihan dalam dalil dan hukuman tambahan yaitu cambuk.

A. Pengertian Muhsan dan Rajam isim maf’ul dari fi’il mazid  fi’il mujaradnya artinyayaitu mencegah.artinya
perempuan menjadi tercegah (terlindungi) dengan Islam, iffah, merdeka dan nikah artinya setiap wanita yang
menjaga kehormatan muhshanah atau muhshinah, dan setiap wanita yang sudah nikah adalah muhshanah.artinya lelaki muhshan adalah yang telah nikah.

[1]. Kata muhshan adalah salah satu bentuk isim maf’ul yang bermakna fa’il. Menurut istilah fikih, muhshan diistilahkan sesuai dengan syarat-syaratnya.
[2], Muhshan adalah orang yang sudah baligh, berakal, dan merdeka Dalam mazhab hanafi, Ibnu Abidin menyebutkan syarat-syarat ihshan yang terkena rajam yaitu; berakal, cukup umur, merdeka, mukallaf, Islam dan pernah bersetubuh dalam nikah yang sah dan benar.
[3]. Mengenai syarat Islam yang mana Imam Syafii dan Abu Yusuf  tidak mensyaratkannya, Ibnu Abidin mengatakan bahwa Rasululah pernah merajam dua orang yahudi dengan menggunakan hukum dalam taurat sebelum turunnya ayat rajam.

Rasul pun pernah bersabda:Artinya: barangsiapa yang menyekutukan Allah swt maka dia itu bukan muhshan.
Dalam al Quran sendiri memiliki empat macam makna yang berbeda.

1. Merdeka, 2. Nikah, 3. Islam, firman Allah swt:  Sebahagian ulama mengatakan Al ihshan disini bermakna nikah.4. Iffah, firman Allah swt: Adapun rajam dalam bahasa arab bermakna membunuh. Dalam lisan Arab, artinya melempar dengan batu[4], yaitu melempar dengan batu sampai mati. Seseorang bisa terkena rajam apabila dia telah menikah dan berzina.

B. Pendapat Ulama Dahulu Tentang Hukuman Rajam

Sebagaimana telah kita sebutkan dibelakang bahwa pelaku zina yang belum nikah baik laki-laki maupun perempuan di cambuk seratus kali, sedangkan hukuman pelemparan batu sampai mati haanya diperuntukan untuk pelaku zina yang sudah pernah merasakan nikmatnya kawin.

Khatib al Syarbaini dalam kitab beliau Mughni al Muhtaj mengatakan bahwa rajam adalah hukuman bagi muhshan berdasarkan ijmak ulama, dan banyak hadis-hadis yang diriwayatkan tentang penerapan hukuman zina di masa rasulullah seperti peristiwa dirajamnya Maiz dan Ghamidiyah[5].

Demikian juga halnya Imam Syaukani mengatakan bahwa ijmak ulama menyatakan pelaku zina muhshan harus di rajam. Akan tetapi beliau menukilkan dari pengarang kitab al Bahri bahwa Khawarij menantang adanya rajam. Ibnu al Arabi juga meriwayatkan demikian dan meriwayatkan juga dari sebahagian Muktazilah seperti al Nadham dan pengikut-pengikutnya bahwa mereka menantang adanya rajam[6]. 

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa rajam tidak wajib kecuali bagi muhshan yang berzina berdasarkan ijmak alim ulama. Umar berkata: “Sesungguhnya rajam hak terhadap mereka yang berzina dan telah menikah”. Sabda Rasulullah saw: “Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali tiga perkara – diantaranya – zina setelah nikah”[7].

Lebih baiknya untuk kita mengetahui dalil-dalil mujtahid tersebut, penulis akan memaparkan pensyariatan hukuman rajam dari sumber hadis dan al Quran. Disela-sela itu kita akan mengetahui dalil-dalil mereka sebelum penulis paparkan hujjah Khawarij dan Mu’tazilah yang menginkari adanya rajam.

Dalam surat al Nisâ ayat 15 dan16, Allah swt menerangkan hukuman bagi pelaku perbuatan keji (kebanyakan ulama menafsirkannya zina) yaitu bagi yang belum nikah dikurung dalam rumah sampai mati atau Allah memberikan jalan keluar (hukuman yang lain) berdasarkan sebagian tafsir para ulama. Bagi yang belum menikah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Abbas hukumannya adalah dicaci dan dilempari dengan selop. Sedangkan menurut Qatadah dan al Suddy dihina dan dicela[8].

Mengenai ayat 15 ini, kebanyakan ulama mutaqaddimin dan mutakhirin khususnya ahli tafsir dan fikih seperti yang dikatakan Ibnu al Arabi berpendapat, bahwa ayat ini telah dihapus oleh hadis Ubadah bin al Shamit yang diriwayatkan oleh imam Muslim yang mana Rasulullah saw bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku, Allah telah memberikan jalan baru bagi mereka (pelaku zina wanita). Pelaku zina yang belum kawin dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun, pelaku zina yang sudah pernah kawin dicambuk seratus kali dan dirajam”. Imam Qurthubi mengatakan ayat kelimabelas dinasakh oleh ayat selanjutnya kemudian dinasakh lagi oleh surat al Nur [9].

Adapun dalil lain tentang rajam adalah beberapa hadis yang diriwayatkan dari rasulullah saw. Imam Syaukani menyebutkan enam buah  hadis yang menjadi landasan hukum rajam; Pertama: Hadis Abu Hurairah dan Zaid bin Khâlid yang dikenal dengan hadis al ‘Asiif yang diriwayatkan oleh jamaah. Kedua: Khabar Abu Hurairah yang menyatakan bahwa rasululah memutuskan hukuman bagi yang muhshan dengan diasingkan selama setahun dan dikenakan had. Ketiga: Hadis Sya’bi bahwa Imam Ali mencambuk perempuan yang berzina hari kamis dan merajamnya hari jumat. Keempat: Hadis Ubadah bin Shammit. Kelima: Hadis Jabir bin Abdullah bahwa Rasul saw mencambuk seorang laki-laki yang berzina kemudian beliau diberitahukan bahwa laki-laki tersebut telah menikah maka Rasul pun merajamnya kembali, dan yang keenam: Hadis Jabir bin Samurah bahwa Rasul mencambuk Maiz dan tidak disebutkan dicambuk.

Mengenai hadis Jabir bin Samurah, Imam Syaukani menukilkan perkataan pengarang Majmak al Zawaid bahwa dalam sanad hadis tersebut ada Safwan bin al Muqhallis, dimana pengarang tidak mengenalnya. Sedangkan perawi yang lain dalam sanad tersebut adalah tsiqah[10].

Landasan terakhir jumhur ulama adalah ijmak para sahabat sebagaimana diriwayatkan bahwa Umar ra berkata dalam khutbahnya: “Diantara apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw ayat rajam. Kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah saw melaksanakan hukuman rajam dan kami juga melaksanakannya”. Umar mengeluarkan pernyataan ini ketika beliau berkhutbah dihadapan para sahabat dan ketika itu pula tidak ada seorangpun diantara mereka yang membantah pernyataan Umar ra tersebut. Ini
menyiratkan persetujuan mereka terhadap Umar ra, inilah yang dikatakan ijmak. Juga sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Ahmad dan al Thabrani dalam al Kabir yang diriwayatkan oleh Abi Umamah bin Sahl dari bibi beliau al Ujamak:

“Diantara ayat al Quran yang diturunkan Allah swt adalah ayat: Inilah serangkaian dalil yang menjadi landasan hukuman bagi pelaku zina yang menjadi pegangan jumhur ulama.

C. Rajam dan Cambuk

Ternyata kesepakatan para mujtahid dalam mazhab empat tentang penerapan hukuman pelemparan batu sampai mati bagi muhshan yang berzina belum mencapai titik final. Sebahagian mereka masih berpendapat bahwa sebelum dirajam pelaku zina yang muhshan harus dicambuk terlebih dahulu, Hal ini disebabkan oleh beberapa hadis yang telah kita sebutkan.

Polemik yang terjadi antara mereka menghasilkan tiga pendapat baru dalam masalah ini. Menurut sebahagian dari mereka pelaku zina yang muhsan wajib dicambuk kemudian baru dirajam. Sebagian yang lain mengatakan tidak wajib dalam artian tidak boleh. Pendapat yang terakhir menilai pembolehan cambuk sebelum dirajam.

Pendapat pertama dipegang oleh Imam Ali ra, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab, Abu Dzar, dari golongan tabiin al Hasan, Ishak, Daud, Ibnu Munzir dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua diriwayatkan dari Umar, Usman dan Ibnu Masud. Ibnu Masud berkata: “Apabila berkumpul dua hukuman had yang merupakan hak Allah dan salah satunya adalah dibunuh, maka yang harus dilaksanakan adalah satu saja yaitu dibunuh”. Pendapat ini juga merupakan pendapat al Nakh’i, al Zuhri, al Auza’i, Malik, Syafii, Abu Tsur dan
Hanafiah[12].

Sedangkan pendapat yang terakhir yang mengatakan tidak wajib bukan berarti tidak boleh adalah pendapat Imam Syaukani[13] menurut yang penulis pahami dari ungkapan beliau. Disini tidak akan memaparkan dalili-dalil mereka, karena yang menjadi pokok pembahasan kita adalah hukuman rajam saja.

D. Pengingkaran Rajam dan Pendapat Ulama Kontemporer

Walaupun sekian banyak dalil-dalil yang dipaparkan oleh jumhur ulama yang menegaskan tentang hukuman mati dengan cara pelemparan batu bagi mereka yang berzina dan sudah pernah merasakan nikmat kawin, namun masih ada golongan dalam Islam yang mengingkari adanya hukuman tersebut. Sebagaimana terdahulu telah kita ketahui bahwa Syaukani menukilkan dari pengarang kitab al Bahri periwayatan dari Khawarij yang menentang adanya hukuman rajam, dan juga diriwayatkan dari sebagian Muktazilah seperti al Nadham dan pengikutnya. Disini kita mencoba untuk mengetahui hujjah-hujjah mereka dan memberikan beberapa tanggapan yang dianggap perlu. Imam al Muthi’i mencoba memberitahukan kepada kita beberapa pegangan mereka untuk menguatkan pendapatnya[14].

1. Rajam adalah hukuman yang paling mengerikan dalam Islam, maka semestinyalah ditetapkan rajam dengan dalil yang qath’i (pasti) tidak ada syubhat sedikitpun seperti ditetapkannya dengan al Quran atau hadis mutawatir bukan dengan hadis ahad yang tidak qath’i. Lagi pula, sebahagian ulama seperti ulama hanafi tidak beramal dengan hadis al ‘asif, karena hadis tersebut memberi tambahan di atas al Quran yaitu pengasingan selama setahun bagi para pezina yang belum menikah. Padahal diantara hadis hukuman zina yang paling benar sanad dan matannya adalah hadis tersebut.

Dalih mereka dapat dijawab dengan pernyataan imam Syaukani yang mengatakan bahwa hadis tentang hukuman rajam telah diriwayatkan oleh perawi yang hampir mencapai derajat mutawatir. Jawaban yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Qudamah bahwasannya rajam telah diriwayatkan dari Rasulullah saw secara lisan dan perbuatan yang hampir menyerupai hadis mutawatir[15]. Imam Alusi pernah berkata bahwa khabar ahad apabila maknanya mutawatir maka boleh beramal dengannya, karena khabar yang mutawatir makna sama dengan yang mutawatir lafaz[16].

Meskipun hadis tersebut ahad, namun jumhur ulama usul berpendapat wajib beramal dengan hadis ahad. Terlebih lagi hadis-hadis hukuman pelaku zina terdapat dalam sahih Bukhari, sahih Muslim yang tidak diragukan lagi kesahihannya, juga terdapat dalam kitab sahih yang lain. Setelah sanad hadis ahad dianggap sah bukankah Allah berfirman:

Meskipun dikatakan tidak terdapat dalam al Quran bukankah apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw juga dari Allah swt. Bukankah Rasul sebagai penyampai risalah dan penjelas bagi sesuatu yang belum jelas dalam al Quran.

Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasannya beberapa utusan Khawarij datang menjumpai Umar bin Abdul Aziz ra. Diantara sikap umar yang mereka cela adalah pengakuan beliau terhadap rajam. Lalu mereka berkata: “Tidak ada dalam kitab Allah kecuali cambuk”. Mereka melanjutkan: “Wanita haid kalian wajibkan qadha puasa sedangkan shalat tidak kalian wajibkan. Padahal shalat lebih kuat pengwajibannya”. Umar ra menjawab: “Apakah kalian tidak mengambil segala sesuatu kecuali yang ada dalam al Quran?”. Mereka menjawab: “Iya”. Umar ra melanjutkan: “Beritahu aku jumlah shalat wajib dan jumlah rukunnya, rakaat dan waktunya, apakah kalian mendapatkannya dalam kitab Allah swt? Dan beritahu aku apa saja yang diwajibkan zakat, ukuran dan nisabnya?”. 

Mereka berkata: “Beri tangguh kami”. Kemudian mereka kembali dan tidak mendapatkan apa yang ditanyakan Umar di dalam al Quran. Mereka berkata: “Kami tidak mendapatkannya dalam al Quran”. Umar kembali bertanya: “Lantas bagaimanakah kalian mengetahuinya”. Mereka menjawab: “Karena Nabi melakukannya dan orang-orang mukmin setelahnya melakukannya”. Umar berkata: “Demikian juga rajam dan qadha puasa, Nabi pernah merajam dan khalifah-khalifah sesudah beliau juga pernah merajam dan
terus diikuti oleh orang-orang muslim. Nabi saw memerintahkan untuk mengqadha puasa tidak shalat maka istri-istri beliau mematuhinya dan juga istri-istri sahabat juga melaksanakannya[17].

2. Hadis
tentang seorang tabi’in yang bernama Abu Ishaq Sulaiman bin Abu Sulaiman al Syaibâni bertanya kepada seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Abu Aufa: “Apakah Rasulullah saw merajam sebelum turun surat al Nur atau sesudahnya?. Abdullah menjawab: “Tidak tahu”. Hadis ini sendiri sudah memberikan syubhat terhadap hadis-hadis rajam.

Dr.  Ali Ali Manshur mengatakan bahwasannya kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa hukuman cambuk bagi pelaku zina muhsan yang terdapat dalam surat al Nur telah dihapuskan dengan hadis Ubadah bin al Shamit[18].

Sebelumnya beliau berbicara tentang; Bolehkan al Quran dinasakh dengan hadis. Kemudian beliau memilih jawaban tidak boleh, sehingga apabila pertanyaan al Syaibâni di atas dijawab dengan sesudah diturunkannya surat al Nur, maka disini dapat disimpulkan bahwa menurut beliau hukuman pelaku zina bagi yang muhsan tetap dicambuk seratus kali tidak dirajam, karena hadis Ubadah atau hadis-hadis yang lain tentang rajam tidak boleh menghapus hukum yang tertera dalam al Quran, terlebih lagi hadis-hadis itu adalah hadis ahad.

Syaikh al Muthi’I memberikan jawaban yang dapat menghilangkan syubhat dan keragu-raguan terhadap pertanyaan diatas dan memberi jawaban untuk kita atas pendapat Dr. Ali Ali Manshur. Disini beliau menukilkan bahwa ulama hadis telah berusaha menghilangkan keraguan dan memberi jawaban terhadap pertanyaan al Syaibâni tadi.

Ahli hadis berpendapat bahwa hadis-hadis rajam datang setelah surat al Nur sehingga tidak ada yang mengira surat al Nur mengahapus hadis-hadis rajam. Landasan mereka adalah keputusan Umar yang tetap melaksanakan rajam dan surat al Nur turun tahun keempat hijriah, ada yang mengatakan tahun kelima atau keenam hijriah.

Diantara perawi hadis rajam adalah Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Abu Hurairah datang ke Madinah tahun ketujuh hijriah sedangkan Ibnu Abbas datang bersama ibunya tahun kesembilan hijriah. Pertanyaan ini dapat dielak dengan kemungkinan mereka meriwayatkan dari sahabat lain yang tidak mereka sebutkan.

Nah, apabila demikian maka timbul lagi pertanyaan tadi yang manakah lebih awal?. Kembali ke jawaban Ibnu Abi Aufa yaitu tidak tahu yang mana duluan. Disini syaikh Muthi’I memberikan jawaban yang spektakuler. Apabila tidak diketahui yang mana lebih
dahulu, maka kita melihat surat al Nur sifatnya umum yang menyatakan hukuman bagi pelaku zina adalah cambuk tanpa membedakan antara yang sudah nikah atau belum.

Sedangkan hadis-hadis rajam bersifat khusus kepada pelaku zina yang telah menikah saja. Menurut jumhur ulama usul fikih pernyataan umum tidak dapat menghapus pernyataan khusus, akan tetapi yang umum harus dikhususkan dengan yang khusus.

Berbeda dengan ulama hanafi, mereka mengatakan umum dan khusus dapat saling menasakh. Hal ini disebabkan oleh khilaf diantara kedua mazhab tentang dalil umum apakah qath’i atau dhanni. Menurut jumhur umum bersifat dhanni dan khusus bersifat qath’i. Sedangkan hanafi umum dan khusus sama-sama bersifat qath’i[19].

Perlu penulis beritahukan bahwasannya nasakh mempunyai perbedaan dengan takhshish, diantaranya; nasakh membatalkan seluruh isi hukum, sedangkan takhshish mengeluarkan sebahagian isi hukum.

Seandainya semua sepakat ayat al Nur diturunkan sebelum hadis-hadis rajam dan sepakat hadis boleh menasakh al Quran, maka dalam hal ini surat al Nur sama sekali tidak boleh diterapkan lagi dan para mujtahid perlu mencari dalil lain untuk mengetahui hukuman apa yang pantas bagi pelaku zina yang belum kawin.

3. Firman
Allah swt dalam surat al Nisâ ??? ?? ????? ????
????? ?? ????  sampai ayat ???? ????? ??? ???? ?????? , surat al Nur menjadikan hukuman bagi wanita yang berzina dan sudah menikah adalah cambuk seratus kali, dalam surat al Nisâ ???? ????, menjelaskan hukuman budak perempuan yang berzina dan sudah menikah adalah setengah dari hukuman orang mereka. ???????   dalam  surat al Nisa disini bermakna nikah sesuai dengan ayat sebelumnya yaitu   ????????? ?? ????????. Nah, apabila hukuman budak setengah dari hukuman orang merdeka, maka cambuklah yang menjadi hukuman bagi orang yang merdeka yang sudah menikah, karena cambukan dapat dibagi dua sedangkan rajam tidak bisa di bagi-bagi.
Jumhur ulama membantah dalil tersebut dengan mengatakan al Ihshan disini bermakna merdeka atau perawan[20].

Inilah beberapa alasan Khawarij dan Muktazilah yang mengingkari adannya hukuman rajam dalam Islam. Sekarang mari kita mengetahui pendapat ulama kontemporer dalam masalah ini.

Syaikh Muhammad Abu Zahra, Ustad Mustafa al Zarqâ dan syaikh Mahmud Syaltut mantan syaikh al Azhar berpendapat untuk tidak menjadikan rajam sebagai hukuman bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah.

Dalam sebuah tulisan hasil penelitian syaikh Abu Zahra yang beliau kirimkan kepada Dr.Ali Ali Mansur yang ketika itumenjabat sebagai ketua panitia tingkat tinggi dalam urusan penyesuaian hokum positif mesir dengan undang-undang Islam, syaikh Abu Zahra sebagaimana yang dinukilkan oleh Dr. Ali mansur  memberikan pandangan pendapat beliau tentang rajam besertakan dalil-dalil yang sama dengan dalil-dalil mazhab Khawarij dan Muktazilah dengan sedikit penambahan dari beliau diantarannya;

Sesuai dengan pendapat ulama hanafiyah bahwasannya dalil yang pernyataannya bersifat umum adalah qath’i (pasti). Ayat al Nur bersifat umum yang mencakup muhsan dan bukan muhsan. Ayat tersebut qath’i dalam menyatakan hukum cambuk bagi kedua pelaku
zina, maka tidak boleh dikususkan dengan hadis ahad. Walaupun khabar-khabar tadi banyak thuruq (jalan periwayatannya), akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian.

Mazhab Abu Hanifah menolak hadis al ‘Asiif padahal yang meriwayatkannya adalah jamaah ahli hadis. Mereka berkata hadis tersebut memberikan penambahan pada al Quran, sedangkan pemberian tambahan pada al Quran haruslah yang sederajat dengan al Quran dari segi qath’inya (kepastiannya).

Ustad Mustafa al Zarqâ sependapat dengan syaikh Abu Zahra, namun yang menjadi  aneh dalam pendapat beliau adalah penilaian beliau yang menyatakan bahwa hukuman rajam yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw berupa takzir dari beliau, bukan berupa Had, sehingga hukuman rajam tesebut diserahkan kepada wali amri. Apabila wali amri melihat perlu dilaksanakan rajam maka boleh-boleh saja dia melaksanakannya. Kemudian beliau menambahkan bahwa mantan syaikh al Azhar syaikh Mahmud Syaltut mempunyai pendapat yang sama dengan beliau[21]. Wallahu a’lam.

III. Penutup

Demikianlah serangkaian pendapat ulama Islam tentang hukuman rajam yang dijatuhkan bagi pelaku zina muhsan yang dapat penulis sampaikan. Kekuatan hujjah yang paling tinggi dipegang oleh orang yang mengingkari rajam adalah kedudukan hadis-hadis ahad yang diriwayatkan dari Rasulullah saw ketika berhadapan dengan al Quran surat al Nur yang secara jelas tanpa ada keraguan dan pentakwilan menyatakan, hukuman  bagi pelaku zina adalah cambuk seratus kali tanpa membedakan antara muhsan dan bukan muhsan.

Kalaulah kita berpegang dengan pendapat jumhur ulama, maka dibelakang pensyariatan rajam terdapat banyak sekali hikmah yang dapat dipetik. Diantara  hikmahnya; zina mudah sekali terjadi, semua orang pasti akan mengakui hubungan jenis antara laki-laki dan perempuan adalah syurga dunia, siapa yang tidak menginginkan syurga?. Namun jalan menuju syurga haruslah melalui jalan yang benar. Oleh karena itu hukuman rajam dan cambuk seratus kali adalah satu-satunya solusi yang jitu. Kedua-dua hukuman tersebut mempunyai dua kekuatan hebat yaitu preventive (pencagahan) dan curative (pengobatan). Berbeda dengan pembunuhan, pencurian dan jenis-jenis kriminal yang lain, tidak ada orang yang mengatakan perbuatan tersebut adalah nikmat dan menarik untuk
dilakukan, sehingga tingkat pelanggaran relatif lebih sedikit dibandingkan
zina.

Kasih sayang Allah sangat jelas terlihat ketika pensyariatan zina melalui hadis ahad. Seolah-olah sang penyayang hambanya enggan karena kasih sayang untuk menghukum hambanya yang berzina, padahal jauh-jauh hari Allah swt telah mengharamkan zina bahkan melarang mendekatinya dan menyetarakan dosa pelaku zina dengan dosa menyekutukanNya.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Kesalahan, kekeliruan atau salah dalam memahami perkataan dan dalil-dalil ulama, penulis sangat memohon maaf dan mengharapkan pembetulan dari pembaca. Semoga Allah swt melapangkan dada kita dan melimpahkan cahaya ilmu pengetahuan dalam hati kita. Amin.

Bahan Rujukan

1. AliAli Manshur, Nidham al Tajrim wa al ‘iqab fi al Islam, Muassasah al Zahra li al Iman wa al Khair, al Madinah al Munawwarah, 1976.
2.      Syamsy al Din Abu Bakr Muhammad al Sarkhasi, al Mabsuth, Dar al Fikr, 2009.
3.      MuhammadAmin Ibnu Abidin, Rad al Muhtar, Dar al Fikr,2005.
4.      MuhammadNajib al Muthi’I, Takmilah al Majmuk, Maktabah al Irsyad, Saudi Arabia.
5.      SyamsyuddinMuhammad bin al Khatib al Syarabaini, Mughni al Muhtaj, Dar al Fikr ,2005.
6.      Ibnu Qudamah, al Mughni, Dar al Fikr.
7.      Jamaluddin Abdu al Rahim bin Hasan al Isnawi, al Tamhid fi Takhrij al Furuk ‘ala alusul, Dar al Kutub.
8.      Abu Bakr Muhammad bin Abdu Allah, Ahkam al Quran, Dar al Fikr al Arabi.
9.      Abu Abdu Allah Muhammad bin Ahmad al Anshari al Qurthubi, al Jamik li Ahkam alQuran, Dar al Hadis, 2002, Kairo.
10.   Muhammad bin Muhammad al Syaukani, Nail al Awtar, Dar al Hadis, 2000, Kairo.
11.   Abu Fadl Jamal al Din Muhammad bin Makram bin Manzur al Afriqi al Misri, lisân al Arab, Dar al Fikr, 1997.

Diskusi

Setelah Tgk Salman selesai mempresentasikan makalahnya, kemudian dilanjutkan presentasi  tentang hukum beramal dengan hadis ahad oleh Tgk Muhammad Abduh. Seharusnya Tgk Muhammad Abduh sudah menyiapkan makalah, tetapi beliau lupa membawanya, mungkin pengutip menghadirkannyaa di lain kesempatan.

Dalam presentasi hadis ahad, Tgk. Abduh menjelaskan, “memang hadis ahad itu sanadnya sendirian,. tetapi kalau ada qarinah yang menunjukkan hadis ahad tersebut kepada derajat yang tinggi,maka hukumnya menjadi qath’i (pasti= mesti dilaksanakan oleh umat Islam). Seperti halnya hukum rajam, memang hadis yang menegaskan hukum itu dari ahad, akan tetapi karana ada qarinah yang menunjukkan kepada qath’i maka rajam itu fadhu atau dengan kata lain dia merupakan syariah dalam Islam. Tidak ada khilaf dalam masalah hukum rajam. Ini sudah ijmak. Rajam adalah syariah.”

Setelah Tgk Abduh selesai mempresentasikan hukum beramal dengan hadis ahad, dilanjutkan sesi tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab ini timbul 2 pendapat dalam forum.

Perlu diketahui, dalam diskusi, tidak ada satupun yang membantah dengan kewajiban
hukum rajam. Mereka  sepakat dengan hukum rajam itu sebagai perintah agama dan merupakan kewajiban hudud dalam Islam. Akan tetapi yang dipermaslahkan oleh peserta zawiyah ini adalah penerapannya.

Untuk kubu pertama,  mengusulkan hukum rajam itu ditunda dulu, dengan alasan perlu diperkenalkan alias disoialisasikan dulu kepada masyarakat, dikarenakan sejak Aceh bersama Indonesia, masyarakat Aceh sudah sangat jauh dengan hukum Islam. Tidak seperti halnya ketika masa kerajaan Aceh masih ada. Kemudian kubu ini juga berpendapat, rajam ditunda dulu penerapannya supaya pemerintah bisa menjalankan hal-hal lain yang lebih utama untuk pembangunan Aceh, berhubung aceh baru saja lepas dari kungkungan RI  atau konflik yang berkepanjangan.

Kubu ke-dua secara tegas menyatakan agar hukum rajam segera langsung disahkan. Apalagi teungku-teungku inoeng, mereka sangat semangat dalam memberi kontribusi untuk penerapannya. Dengan alasan menjadikan Al-Quran dan Hadis sebagai sumber hukum. Ada juga yang menambahkan, menimbang hukum rajam itu wajib dalam Islam, maka mesti diterapkan di Aceh, sebagai bagian dari penerapan syari’at Islam di serambi mekah. Dan sebagian lain juga menambahkan, kenapa mesti ditunda lagi hukum rajam ini, bukankah sudah dari tahun 2003 dibahas. Bukankah itu sudah merupakan sosialisasi yang sudah sangat jauh untuk rakyat Aceh. “Lagian semua orang Aceh tahu kalau zina itu sangat dilarang oleh Islam. Bahkan mendekatinya saja sudah dilarang oleh Allah. Saya rasa hukum rajam itu sangat cocok untuk dilaksanakan di Aceh, untuk mencegah terjadinya maksiat yang lebih dahsyat,” tegas Tgk. Salman.

Di sela-sela pengakhiran acara, Tgk Muhammad Abduh menampik kubu yang pertama dengan mengatakan, bahwa tadarruj atau sosialisasi dalam Islam hanya ada pada zaman hidupnya  Rasulullah. Bukankah Islam di Aceh sudah dianut dari generasi ke generasi.

Kemudian beliau menambahkan, bahwa rezeki itu datangnya dari Allah, bukannya dari negara barat, bukannya mesti dari bantuan asing. Jadi untuk apa kita takutkan menerapkan hukum Allah. Apakah kemajuan Aceh itu tergantung kepada barat, jadi dimana posisi Allah sebagai Tuhan???

Di akhir acara, Tgk Abduh menerangkan secara serius kepada peserta. “Acara kita hari ini bukan menuntut gubernur untuk mengesahkan undang-undang, tetapi kita hanya menggali hukum sebenarnya tentang rajam, dikrenakan ada pihak yang masih mengatakan rajam bukan hukum dari Islam dan tidak manusiawi. Soal pemerintah mau atau tidak untuk mengesahkannya, itu urusan mereka dengan Allah. Kalau seandainya mereka berhukum dengan hukum Allah, berarti mereka dalam tha’at, sebaliknya…berarti mereka…’ashin lillah (maksiat kepada Allah).”

Itu adalah inti acara yang tersirat pada hari itu, namun secara tersurat sangat besar harapan semoga hukum rajam itu disahkan secepatnya di Aceh. Di penutupan, mahasiswa Aceh Mesir menyatakan dan setuju sebagaimana Tgk.Muhammad Abduh paparkan. Menyatakan keabsahan hukum rajam. Dan berharap sekaligus dengan doa supaya pemerintah Aceh mau mengesahkan hukum rajam.

Diskusi Mahasiswa Aceh Mesir tentang hukum rajam pada rabu 28 oktober 2009 [Foto TGK.Ilham Hidaya Tullah] .


Selain itu juga mereka sepakat untuk mengirim surat pernyataan untuk gubernur tentang keabsahan hukum rajam, bukan dalam bentuk menuntut waliyul amri untuk bertindak. Tetapi sebagai suara rakyat untuk saling menasehati dalam agama.

Akhirnya, acara yang berlangsung hampir tiga jam itu ditutup dengan doa. Semua peserta yang hadir tersenyum puas dengan hasil diskusi. Dan pengutip sendiri sangat berharap semoga hukum rajam bisa diterapkan secepatnya di Aceh. Amin ya Allah!. Matikan kami ini dalam Islam ya Allah!

Madinatul Bu’ut, 09 November 2009

[1]  Ibn Mandhur, Lisan al Arab, jld 13, hal 120, Dar al Fikr, 1997.
[2] Al Muthi’i, Al Majmu, jld 22, hal 142, Maktabah Al Irsyad.
[3] Ibnu Abidin, Rad al Muhtar, jil 4, hal 179, dar Al Fikr, 2005.
[4]  Ibnu Manzhur, Lisan al Arab, jld 12, hal 226-227, Dar al Fikr.
[5]  Al Khatib al Syarbaini, Mughni al Muhtaj, jld 4, hal 184, Dar al Fikr, 2005
[6]  Al Syaukani, Nail al Authar, jld 7-8, hal 95, Dar al Hadis, 2000.
[7]  Ibnu Qudamah, al Mughni, jld 10, hal 122, Dar al Fikr.
[8]  Al Qurthubi, al Jamik li Ahkâm al Qurân, jld 3, hal 80, Dar al Hadis.
[9]  Lihat: Ibnu al Arabi, Ahkam al Quran, jld 1, hal 358, Dar al Fikr. Ibnu Qudamah. al Mughni, jld 10, hal
116-117, Dar al Fikr. Sarkhasi, al Mabsuth, jld 3, hal 30,Dar al Fikr.
[10]  Op.Cit. Nail Awtar, hal 91-92.
[11]  Ibid.
[12] Op.Cit. al Mughni, jld 10, hal 121.
[13] Op.Cit. Nail al Awtar, jld 7-8, hal 121.
[14]  Al Muthi’i, al Majmuk, jld 22, hal 39-40.
[15] Op.CitNail Awtar, hal 95. Al Mughni, jld 10, hal 118.
[16] Dinukilkandari kitab Nidham al Tajrim wa al ‘Iqab fi al Islam, jld 1, hal 77, karangan Ali Ali Manshur
[17] Op.CitAl Mughni, jld 10, hal 119.
[18] Ali Ali Manshur, Nidham al Tajrim wa al ‘Iqab fi al Islam, jld 1, hal 171-176, Muassasah al Zahra li al Imam wa al Khair, al Madinah al Munawarah.
[19] Op.Cital Majmuk, jld 22, hal 32. Al Isnawi, al Tamhid, hal 504. Dar al Kutub.
[20]  Op.cit al Majmuk, jld 22, hal 40, Nidham al Tajrim, jld 1, hal 180.
[21]  Op.Cit, Nidham al Tajrim, jld 1, hal 32.

Aydil Fida adalah Aktivis WAA berdomisili di Mesir.
Previous Post Next Post