![]() |
Samsuar Aktifis LBH Banda Aceh. |
WAA – Sabtu 11/07/2009, Catatan Perjalanan Samsuar.
ACEH - Gampong Alue Keujrun Kecamatan Kluet Tengah adalah gampong sangat terpencil dan jauh dari pusat keramaian, untuk menempuh kesana harus menaiki stempel sejenis kendaraan air dengan rute perjalanan selama 3,5 jam. Jalur sungai satu-satunya jalan untuk menempuh ke Aluekeujrun, tidak ada jalan darat untuk menuju kesana.
Gampong Aluekeujrun dihuni 87 KK dengan 387 jiwa dengan pembagian 192 perempuan dan 195 laki-laki, jarak tempuh dari Ibu Kota Kecamatan Kluet Tengah sekitar 18 kilometer.
Di tengah melimpahnya bantuan dunia internasional terhadap Aceh pasca musibah gempa bumi dan gelombang tsunami, banyak korban konflik dan korban tsunami mendapatkan berbagai bantuan terutama perumahan. Namun, warga Aluekeujrun ibarat tikus lapar di lumbung padi, Gampong Aluekeujrun hanya dipakai orang untuk memuluskan mendapatkan bantuan perumahan.
Mereka mengaku warga Aluekeujrun untuk mendapatkan rumah dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) setelah bantuan rumah diberikan namun rumah tersebut dibangun di gampong lain.
Mereka yang menerima bantuan rumah tersebut kebanyakan penduduk gampong lain yang kebetulan membuka lahan perkebunan di Aluekeujrun, serta mendirikan pondok/gubuk kecil sebagai tempat beristirahat.
Pondok/gubuk kecil tersebut dibuat seadanya dan tidak permanent sebab hanya digunakan ketika mereka membuka lahan perkebunan dan setelah mereka panen maka pondok/gubuk kecil tersebut mereka tinggalkan begitu saja.
Ketika konflik melanda Aceh tahun 2001, pondok/gubuk kecil itu dibakar. Data pembakaran pondok/gubuk kecil itulah mereka ajukan kepada BRA untuk mendapatkan rumah bantuan.
Sementara penduduk asli gampong Aluekeujrun yang sudah menetap ratusan tahun di Aluekeujrun yang rumahnya juga terbakar sampai dengan saat ini belum mendapatkan rumah bantuan dari BRA, padahal mereka sudah berkali-kali mengajukan permohonan ke BRA.
Menurut versi BRA Aceh Selatan pada tahun 2008, telah menyelesaikan pembangunan rumah di Alue Keujrun sebanyak 16 unit, dan sisanya sebanyak 112 unit.
Sedangkan versi masyarakat Alue Keujrun, mereka mengajukan pembangunan rumah korban konflik kepada BRA Aceh Selatan sebanyak 96 unit, namun pada tahun 2008, BRA Kabupaten Aceh Selatan baru membangun rumah bantuan sebanyak 2 unit, itupun dibangun bukan di gampong Alue Keujrun tapi di desa lain.
Sebanyak 7 unit ditunda pembangunannya karena menurut Geuchik Alue Keujrun penerima rumah bantuan tersebut bukan penduduk asli gampong Alue Keujrun sehingga Geuchik tidak mengeluarkan rekomendasi. Sebanyak 20 unit belum terealisasi dan akan dibangun pada tahun 2009, sisanya 67 unit belum ada kejelasan kapan akan dibangun oleh BRA Kabupaten Aceh Selatan.
Jika melihat kondisi gampong Aluekeujrun saat ini, tak ada orang yang tak sedih, rumah-rumah sederhana yang terbuat dari dinding kayu beratapkan daun rumbia memberikan isyarat bahwa penduduk Aluekeujrun tidak pernah menerima rumah bantuan baik dari BRR maupun dari BRA.***
Medio Juni tahun 2009 lalu, saya untuk keduakalinya menjejakan kaki di sebuah gampong bernama Alue Keujrun. Gampong ini termasuk salah satu gampong di kecamatan Kluet Tengah kabupaten Aceh Selatan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibandingkan gampong yang lain di Kluet Tengah, gampong Alue Keujrun merupakan gampong yang sangat terpencil dan marjinal, namun alamnya sangat indah.
Wilayahnya berada ditepi sungai kluet dan diapit oleh dua pegunungan yang begitu luas, tanah yang subur memberikan harapan bagi penduduk untuk bercocok tanam.
Wilayah gampong Alue Keujrun memiliki dua dusun yang jaraknya cukup berjauhan antar dusun. Untuk menuju dusun yang satunya lagi, sedikitnya delapan kilometer atau satu jam dengan menaiki kendaraan air yang disebut oleh penduduk setempat dengan stempel, jarak itulah yang harus kita lalui sebelum tiba di dusun tujuan.
Jarak yang terentang jauh ini merupakan hal yang umum di wilayah terpencil di kecamatan Kluet Tengah. Bahkan, pernah suatu kali ketika saya dan teman-teman hendak menuju gampong Siurai-urai dan Koto Indarung harus menaiki rakit dengan ongkos Rp3.000 perpenumpang.
Bagi yang tidak memiliki kendaraan roda dua, kedua gampong itu harus ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak tidak kurang dari tiga kilometer karena di gampong tersebut tidak tersedia jasa ojek.
Ketika itu kami sebanyak lima orang, salah seorang teman bertanya kepada saya, kira-kira berapa jaraknya kalau kita berjalan kaki untuk menempuh gampong Siurai-urai dengan Koto Indarung, saya katakan hanya sekitar lima ratus meter saja. Begitu rakit sampai kesebarang sana, bagi saya sangat sulit untuk membayangkan bagaimana saya telah berbohong dan menipu teman saya sendiri.
Ditengah perjalanan yang panas dan menyengatkan salah seorang teman bertanya, kok belum sampai juga kita ya, katanya hanya lima ratus meter, sudah satu kilometer kita jalan tapi belum ketemu rumah penduduk. Dalam hati, saya tertawa terkekeh-kekeh, “keno culitko kak ino kerianno”, kena tipu orang ini semuanya. Begitulah, ternyata bukan hanya orang belanda yang sering ditipu oleh orang aceh dalam masa perang aceh tempo dulu, ternyata orang kluet juga punya gaya sendiri untuk menipu, tapi dibalik itu semua bukan soal tipu menipu yang harus diperdebatkan, namun soal tujuan perjalanan itu yang harus dimaknai, dimana masyarakat Siurai-urai dan Koto Indarung membutuhkan sentuhan orang-orang cerdas untuk membuka daerah mereka dari ketertinggalan dan keterisolasian yang selama ini mereka rasakan.***
Tidak ada sarana dan prasarana transportasi darat yang tersedia di gampong Alue Keujrun yang terpencil ini. Hanya stempel (kendaraan air) satu-satunya kendaraan yang bisa dipakai untuk menempuh gampong Alue Keujrun. Itu pun, dengan biaya yang tidak murah.
Biaya yang cukup mahal ini sebenarnya wajar saja. Pasalnya, medan yang harus ditempuh memang tidak laik untuk kendaraan air semacam stempel yang jarang dimiliki oleh penduduk gampong Alue Keujrun. Sungai arus deras yang dalam, batu karang yang cadas dan curam, serta batu yang besar dan beragam rintangan lain.
Dusun Sarah Baru menjadi pusat gampong. Pusat pemerintahan yang ditandai dengan adanya rumah kepala desa, dokter PTT, dan sekolah dasar terletak di dusun ini. Kepala gampong Alue Keujrun termasuk dalam kategori penduduk yang sedikit beruntung karena rumah kepala gampong inilah satu-satunya yang tidak terbakar pada konflik tahun 2001 yang lalu. Lain halnya dengan rumah penduduk yang ada di gampong ini terbakar habis.
Kini mayoritas penduduk tinggal dirumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan papan, beratap rumbia, namun semua rumah telah memiliki listrik tenaga surya yang diberikan oleh pemerintah, rumah-rumah penduduk tersebar begitu sederhana, teramat sederhana dan jauh dari kesan kemewahan.
Rumah-rumah penduduk yang berdinding kayu dan beratapkan rumbia sudah cukup sekedar untuk melindungi mereka dari teriknya siang serta dinginnya malam.
Sebagian besar rumah penduduk di Alue Keujrun terbuat dari bambu yang telah dicincang menjadi seperti papan, orang kluet menyebutnya pelupuh. Penduduk biasanya membangun sendiri masing-masing rumah mereka. Dindingnya mereka susun dari pelupuh dan papan, sementara atapnya tersusun dari jalinan daun rumbia yang dibuat dengan tangan mereka sendiri.
Di gampong Alue Keujrun, mata pencaharian utama penduduk setempat adalah dari hasil perkebunan palawija. Wilayah Kluet Tengah memang teramat dikenal dengan hasil perkebunan yang melimpah. Berbagai jenis hasil pertanian seperti nilam, pinang, coklat, gemiri, cabe dan jagung merupakan penghasilan primadona bagi penduduk gampong Alue Keujrun.
Bila penduduk telah panen, mereka jual ke Ibu Kota Kecamatan Kluet Tengah yaitu Menggamat pada hari Kamis, sebab pada hari itulah hari pekan, dimana seluruh penduduk yang bertani menjual hasil pertaniannya. Selain menjual ke Menggamat, mereka juga bisa menjualnya ke pasar Kota Fajar kecamatan Kluet Utara pada hari minggu.
Untuk menempuh pasar Kota Fajar penduduk Alue Keujrun otomatis harus mengeluarkan biaya yang berlipat, sebab selain harus naik stempel dengan ongkos Rp6.000, per karung ditambah Rp15.000 perpenumpang, mereka juga harus naik kendaraan roda empat dengan ongkos Rp10.000 perpenumpang ditambah dengan Rp5.000 perkarung barang bawaan.***
Perkebunan merupakan pekerjaan semua penduduk Alue Keujrun sepanjang tahun. Namun saat-saat tertentu ketentraman mereka terusik oleh gajah, perkebunan seperti pohon gemiri, coklat, pinang, pisang, nilam dan jagung hancur diobrak-abrik oleh gajah liar yang turun dari kawasan gunung Lauser.
Resiko yang mereka hadapi terlalu berat, dengan segala cara mereka terpaksa mengusir gajah liar tersebut. Peristiwa terakhir, seminggu setelah tim LBH Banda Aceh mengungjungi gampong Alue Keujrun, tiga ekor gajah turun dari kawasan gunung Lauser ke gampong Alue Keujrun, tercatat sekitar 20 rumah penduduk dirobohkan dan sebagian besar tanaman penduduk juga hancur seperti tanaman padi, jagung dan pinang.***
Penduduk tidak dapat melakukan perencanaan kehamilan bagi anak mereka. Sebabnya, tidak ada toko atau pusat kesehatan yang menyediakan alat kontrasepsi di gampong ini. Tidak seperti beberapa gampong lain yang telah memiliki fasilitas kesehatan.
Di gampong Alue Keujrun, sarana kesehatan tidak tersedia. Artinya, untuk berobat di pusat kesehatan resmi mereka mau tak mau harus keluar dari gampong Aluekeujrun. Dengan pendapatan mereka yang bahkan belum cukup untuk sekadar ongkos makan, rasanya berobat keluar gampong adalah hal yang teramat mustahil.
Satu-satunya tenaga medis yang dipercaya penduduk Alue Keujrun adalah Dokter PTT dan dukun setempat. Sebagian besar penduduk disana melakukan proses persalinan dan berbagai pengobatan lainnya dengan bantuan dukun. Sedangkan Dokter PTT yang ditempatkan pemerintah tidak punya kemampuan menangani kelahiran, hanya dokter biasa yang menangani luka-luka ringan, gatal-gatal, mencret dan sejenis penyakit lainnya.
Di kecamatan Kluet Tengah dan beberapa gampong lain, unsur magis masih begitu kental. Sesaat sebelum Tim LBH memutuskan untuk beranjak menuju gampong ini. Salah seorang teman sempat memperingatkan agar berhati-hati bila berada di gampong ini.
Alasannya, warga Kluet Tengah konon sering mencobai para pendatang dengan ramuan magis yang biasa mereka campur dalam minuman yang dihidangkan. Rasa percaya sekaligus tidak percaya bercampur aduk dalam benak. Pada umumnya, di berbagai penjuru tanah air, terutama daerah yang notabene masih terpencil, unsur-unsur metafisis menjadi wacana sehari-hari. Tetapi, inti dari semua itu sebenarnya adalah sikap saling menghormati dan menghargai kepercayaan serta kebudayaan masyarakat di masing-masing wilayah.***
Pendapatan keluarga yang rendah bergerak simetris dengan tingkat asupan gizi bagi anak-anak di sana. Tidak sulit bagi kita untuk menemukan anak-anak dengan perut membusung, cairan ingus yang terus-menerus keluar, penyakit kulit, dan beberapa faktor lain yang mengindikasikan rendahnya kualitas kesehatan penduduk di gampong ini.