Analisa APBA Tahun 2007-2010 Anggaran Pembangunan Aceh Sangat Bergantung Pada Bantuan Pusat “Dipastikan 10 Tahun Ke depan Aceh Akan Bangkrut”

Askhalani Pjs Koordinator GeraK Aceh [Foto/Dok/Waa].

WAA Jumat 26/03/2010, Analisa APBA Tahun 2007-2010

Anggaran Pembangunan Aceh Sangat Bergantung Pada Bantuan Pusat

“Dipastikan 10 Tahun Ke depan Aceh Akan Bangkrut”

 A.    Pandangan Umum Analisa APBA

1. Alokasi anggaran APBA tahun 2010 yang selesai disahkan pada tanggal 19 Maret 2010 diperoleh persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif dengan rincian bahwa dana secara total disahkan sebesar Rp.7,6 T dengan pembagian diperoleh dari pendapatan asli daerah sebesar Rp795,4 M, dana perimbangan Rp.1,2 T dan dana Lain-lain pendapatan daerah sah/dana otsus sebesar Rp3,8 T sehingga diketahui setelah pembahasan dan penambahan membuat APBA 2010 defisit anggaran sebesar Rp3,1 M

2. Alokasi APBA tahun 2010 turun sebesar Rp834,061,941,240 jika dibandingkan pada tahun 2009 diperoleh pendapatan untuk pembangunan sebesar Rp6,7 T, sementara tahun 2010 hanya diperoleh pendapatan Rp5,8 T dan pemicu utama terjadinya penurunan pendapatan untuk pembangunan Aceh disebabkan oleh menurunnya dana perimbangan yang diperoleh provinsi setelah penetapan dari pusat, penurunan ini dipastikan akan terjadi dari tahun ketahun dan penyebab utama atas factor ini adalah belum jelasnya berapa total anggaran pertahun yang dibagi dari pusat untuk daerah (pembagian anggaran yang diperoleh pusat)

3. Jika dilihat secara keseluruhan dari tahun 2007-2010 terbukti bahwa pembangunan Aceh sangat bergantung kepada anggaran yang diberikan oleh pusat, dan jika ini terus terjadi secara terun temurun tanpa melihat dan mengkaji soal kemandirian anggaran Aceh terutama dengan mencari alternatif untuk mempercepat mencari dan mengumpulkan pendapatan asli Aceh secara utuh dan dipastikan dalam kurun waktu 10 tahun kedepan Aceh akan mengalami kebangkrutan atas anggaran, sebab nominasi ketergantungan anggaran dari pusat rata-rata pertahun adalah sebesar 80%, dengan pembagian pertahun dari atas dana perimbangan (DAU dan DAK) sebesar 20-35% pertahun sementara atas dana pendapatan lain yang sah/otsus ketergantungannya sebesar 55-65% per tahun.

4. Pemerintah Aceh belum pernah melakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap upaya peningkatan atas Pendapatan Asli Aceh, sehingga secara rotasi rata-rata pertahun pemerintah Aceh hanya sanggup mengumpulkan pendapatan sebesar 10-20%, sikap ketidak mandirian pemerintah Aceh dalam melakukan pengembangan untuk memperoleh dana bagi pembangunan Aceh jika ini terus dibiarkan maka dapat dipastikan kedapan Aceh mengalami kesulitan dalam melakukan pembagunan secara berkala, sebab anggaran yang banyak yang diperoleh oleh provinsi Aceh saat ini terkesan sangat dipaksakan untuk segera dibelanjakan pertahun sehingga banyak dari total anggaran yang telah disepakti oleh eksekutif dan legislatif dalam APBA hampir rata-rata pertahun mengalami kebocoran yang berujung kepada tindak pidana korupsi.

PERBANDINGAN APBA

BELANJA LANGSUNG DAN BELANJA TIDAK LANGSUNG

Belanja /

APBA                           
2007 , 2008,  2009, 2010

Belanja Daerah              
(2007)  Rp4.047.191.176.763  
(2008)  Rp8.518.740.595.768
(2009)  Rp9.791.344.121.604  
(2010)  Rp6.548.150.058.760

Belanja Tidak Langsung  
(2007) Rp1.978.905.619.352
(2008) Rp2.004.123.098.705  
(2009) Rp2.620.032.938.913 
(2010) Rp1.430.479.347.633

Belanja Langsung             
(2007) Rp2.068.285.557.411  
(2008) Rp6.514.617.497.063
(2009) Rp7.171.311.182.691  
(2010) Rp5.117.670.711.127

Belanja Tidak Langsung   
(2007) 49%   (2008)  24%
(2009) 27%   (2010)  22%

Belanja Langsung            
(2007) 51%    (2008)    76% 
(2009) 73%     (2010)    78%

Sumber analisis GeRAK Aceh tahun 2010

B. Trend Ketergantungan Anggaran APBA Atas Anggaran Pusat

Tingkat kemandirian anggaran Aceh dari periode tahun APBA 2007-2010 sangat bergantung pada anggaran bantuan dari pemerintah pusat baik yang diberikan dalam alokasi anggaran dana Perimbangan (DAU, DAK) dan juga atas anggaran Lain-lain dari pendapatan daerah sah/dana otsus, rotasi akan ketergantungan anggaran dari Pusat jika dilihat secara lebih mendalam berdasarkan hasil analisa gerak Aceh menemukan satu pokok persoalan yang sangat serius dimana dari tahun 2008-2010 ternyata pendapatan asli daerah sama sekali tidak mengalami peningkatan dan ini menunjukan bahwa pemerintah aceh gagal dalam menghimpun dana untuk pembangunan aceh secara berkelanjutan (lihat Lampiran Tabel)

PERBANDINGAN PENDAPATAN DAERAH 2007-2010

Pendapatan Asli Daerah
(2007) Rp563.106.082.173
(2008) Rp795.709.401.264
(2009) Rp795.872.000.000
(2010) Rp795.487.000.000

Dana Perimbangan
(2007) Rp1.952.237.600.000
(2008) Rp2.251.913.117.000
(2009) Rp2.208.058.000.000
(2010) Rp1.274.381.058.760

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah/Dana Otsus
(2007) Rp650.000.000.000
(2008) Rp3.597.142.898.000
(2009) Rp3.728.282.000.000
(2010) Rp3.828.282.000.000

Total Pendapatan
(2007) Rp3.165.343.682.173
(2008) Rp6.644.765.416.264
(2009) Rp6.732.212.000.000
(2010) Rp5,898,150,058,760

Pendapatan Asli Daerah
(2007) 18%
(2008) 12%
(2009) 12%
(2010) 14%

Dana Perimbangan
(2007) 62%
(2008) 34%
(2009) 33%
(2010) 22%

Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah
(2007) 21%
(2008) 54%
(2009) 55%
(2010) 64%

Sumber analisis GeRAK Aceh tahun 2010

C. Kelemahan APBA

Dari sisi penyajian informasi/data dalam dokumen APBA 2010, terjadi kemunduran dibanding APBA 2007-2008 dan 2009.

Sumber dana untuk masing-masing program yang diperoleh oleh SKPA tidak dicantumkan, apakah bersumber-sumber dari dana otsus, PAD, atau dana perimbangan (DAU, DBH, dan DAK). Program-program yang dianggarkan tidak disertai dengan penjelasan secara rinci mengenai rincian biaya dan unit cost termasuk didalamnya soal daftar harga barang yang habis sekali pakai untuk kebutuhan belanja apartur, sehingga sulit untuk menghitung kelayakan dan rasionalitas dari setiap dana yang dialokasikan. Penyajian data seperti ini memberi peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran oleh pelaksana anggaran.

Jumlah anggaran yang tercantum dalam dokumen penjabaran APBA sejak tahun  2007-2010 sebagian jumlah anggaran yang tercantum dalam rekapitulasi dokumen anggaran tersebut tidak disajikan secara proporsional. Artinya validitas dan akuntabilitas data atas dokumen APBA 2007-2010 diragukan. Buruknya penyajian informasi dalam proses penyusunan APBA yang menjadi tanggung jawab Bappeda tidak dipublikasi secara utuh dan general kepada masyarakat, sehingga banyak dari masyarakat sama sekali tidak mengetahui tentang kondisi anggaran Aceh secara utuh.

Alokasi waktu pembahasan APBA sangat singkat, menyebabkan: (i) DPRA tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan koreksi dan evaluasi secara detail terhadap Rancangan APBA yang diusulkan eksekutif; (ii) menutup ruang bagi publik untuk melakukan koreksi dan memberikan masukan perbaikan. Padahal proses pembahasan dan penetapan APBA merupakan satu kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik (public accountability); (iii) memberikan peluang terjadinya kolusi antara pihak eksekutif dan oknum-oknum pihak legislatif untuk melakukan rekayasa terhadap alokasi anggaran dalam APBA sehingga pada periode RAPBA 2010 terdapat indikasi yang mengarah pada proses utak-atik angggaran secara sepihak oleh Eksekutif.

b. Keterbukaan (transparansi) APBA belum dilaksanakan Hal ini terlihat dari:

a. Pemerintah Provinsi tidak melakukan publikasi terhadap RAPBA dan APBA yang telah disahkan.

b. Tidak dilakukannya konsultasi publik sebagai media bagi masyarakat untuk menguji dan memberikan masukan atas program-program prioritas bagi masyarakat. Hal ini melanggar Kepmendagri No. 59 Tahun 2007 (Perubahan Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah), yang menyaratkan perlunya dilakukan konsultasi publik sebelum APBA disahkan.

c.Sulitnya publik dan mengakses dokumen APBA baik di Bappeda maupun di legislatif, diketahui hingga saat ini eksekutif dan legislatif masih menganut asas dokumen tersebut adalah dokumen “rahasia negara”, pada hal secara struktur diharuskan bahwa dokumen APBA merupakan dokumen public dan diharuskan untuk diberikan dan disampaikan secara terbuka sehingga asas transparansi dan akuntabilitas terhadap APBA menjadi satu landasan sebgaimana visi dan misi pemerintah Aceh.

Rekomendasi Dan Catatan Penting Atas APBA

1. Pihak Eksekuti dan DPRA harus melakukan evaluasi secara berkala atas dokumen APBA 2010 yang telah disahkan terutama pada pos-pos anggaran yang terindikasi berpotensi menyalahi aturan tentang keuangan. Jika tidak, gubernur dan DPRA dianggap telah melegalkan praktek penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan daerah terutama atas jumlah alokasi anggaran belanja untuk kebutuhan biaya penunjang operasional gubernur dan wakil gubernur dengan total 68M, mereview dan meminta pertanggungjawaban serta audit atas anggaran tersebut dilakukan termasuk mengumumkan secara terbuka kepada publik terhadap anggaran tersebut digunakan untuk apa saja oleh kepala dan wakil pemerintah Aceh.

2. Mendesak Gebernur dan DPRA agar dalam setiap penyusunan dan penetapkan APBA mengharuskan untuk manjalankan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektifitas dan berpihak pada kepentingan rakyat sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta amanah undang-undang Pemerintahan Aceh UUPA terutama untuk membuka seluruh dokumen atas APBA dan Rancangan Kegiatan Anggaran (RKA) yang dikelola oleh SKPA untuk dapat dipublikasi secara terbuka dan bukan menutup akses atas dokumen tersebut.

3. Mengajak seluruh komponen masyarakat di Provinsi Aceh untuk terus melakukan pengawasan atas pengelolaan anggaran APBA, sebagai wujud dari kedaulatan dan hak-hak rakyat terhadap anggaran, sebab peran serta masyarakat dalam pemantauan anggaran merupakan salah satu hal dari upaya mewujudkan Provinsi Aceh yang baik.

Badan Pekerja,

Gerakan Anti Korupsi

GeRAK Aceh

Askhalani

Pjs Koordinator
Previous Post Next Post