Aneuk Nanggroe Peuduli Aceh

Musliadi Ismail [Foto/Dok/Waa]

WAAMinggu 04/04/2010, Aneuk Nanggroe Peuduli Aceh

Oleh: Musliadi Ismail

KUWAIT - Orang bijak sering berkata “jangan tanyakan apa yang bisa kita dapatkan dari Negara, tetapi tanyakanlah apa yang bisa saya berikan pada negaraku:”.memang segala sesuatu ada aturan dan hukum, kaidah dan norma, hak dan kewajiban, begitu juga kasih dan beri (take and give) supaya adanya keseimbangan dalam menjalankan roda kehidupan.

Beranjak dari ungkapan tersebut, sebagai orang aceh dimanapun berada tentunya harus memberikan dan berbuat sesuatu yang terbaik dan berguna bagi Nanggroe Aceh baik fisik/tenaga, moril/pikiran, maupun bantuan lainnya sesuai kemampuan dan kapisitas masing-masing individu dan kelompok.

Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada para pemangku jabatan di Aceh terutama Pemerintah Aceh dan DPRA   antara lain :

1. Penertiban dan penataan kenderaan bermotor (sepeda motor dan mobil) di Aceh yang menggunakan plat polisi non BL guna menambah pendapatan anggaran daerah (PAD) Aceh. Realita di lapangan banyak orang Aceh menggunakan plat polisi non BL padahal mereka orang Aceh, tinggal, bisnis, dan jalan-jalan di Aceh tapi bayar pajak ke daerah lain. Karena itu Pemda Aceh-kepolisian Aceh-DPRA-dan pemangku jabatan lainnya harus membuat suatu terobosan yang tepat-mudah-murah terhadap pengalihan dan mutasi plat polisi kenderaan bermotor dari non BL ke BL, serta harus ada aturan tambahan khusus  atau sanksi bagi pelanggar, juga tentunya harus ada kesadaran penuh dan tanggung jawab moril warga Aceh terhadap pembangunan daerah sendiri.

2. Aceh merupakan daerah strategis di jalur udara (bandara) yang merupakan tempat transit pesawat yang menuju dari dan ke Asia pasifik, Asia selatan, Eropa, dan Timur tengah yang melewati nusantara, termasuk juga beberapa pelabuhan di Aceh karena  terletak di selat malaka yang merupakan pintu gerbang internasional (International main gate), semestinya harus menjadi pintu gerbang utama bagi pebisnis perdagangan dan pelabuhan internasional, terutama bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, pelabuhan bebas Sabang, pelabuhan Malahayati Banda Aceh, pelabuhan Krueng Geukueh Lhokseumawe, pelabuhan Kuala Langsa, dan pelabuhan Meulaboh. Realita dilapangan malah sebaliknya Aceh harus melewati bandara Polonia Medan dan pelabuhan Belawan Medan. Ini tentunya membuat Aceh sangat tidak menguntungkan dalam berbagai segi  karena segala sesuatu tergantung pada daerah lain baik dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup / suplai sembako, aktifitas perdagangan  dan lainnya sehingga Aceh terkurung dan terisolasi serta terus tergantung pada daerah lain terutama Sumatera Utara.

3. Aceh seharusnya menjadi daerah modal-model dan perintis dalam pembangunan infra struktur, pendidikan, kemajuan dan pertumbuhan ekonomi termasuk peningkatan taraf hidup rakyat, pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran, serta penerapan hukum syariat Islam. Aceh mempunyai berbagai kemudahan dan factor pendukung lainnya termasuk APBA yang lumayan besar, kaya akan sumber daya alam, adanya bantuan dana dan dukungan dunia internasional serta lembaga asing, mayoritas penduduk muslim yang patuh dan taat beragama, sopan dan respect serta berjiwa heroik

4. Perhatian dan tanggung jawab yang jujur-baik-benar dan berkelanjutan dari pemda Aceh terhadap para korban konflik, korban bencana alam ; banjir, gempa dan tsunami Aceh, orang cacat, anak yatim piatu serta orang-orang yang patut mendapat perhatian khusus lainnya.

5. Perencanaan dan pemanfaatan pembangunan yang baik, benar, efektif, efesien, professional, proporsional, terfokus dan berkelanjutan bagi rakyat. Hindari dan cegah serta beri sanksi yang berat terhadap pembangunan/proyek tender yang tidak sesuai standard dan aspek amdal serta tidak bermamfaat bagi rakyat. Realita di lapangan dari hasil survey pansus DPRA/DPRD dan pejabat terkait lainnya banyak pembangunan/ proyek yang tidak sesuai standar mutu atau amdal, proyek terlantar, proyek mubazir, dan banyak permasalahan lainnya sehingga tidak memberikan dampak positif bagi rakyat malah menjadi boomerang dan cercaan terhadap kinerja pemda Aceh.

6. Penerapan hukum syariat Islam secara baik-benar dan kaffah, tidak pandang bulu pada semua level masyarakat, penuh sosialisasi dengan hikmah, dapat diterima dan berwibawa.

7. Pelaksanaan hukum/qanun harus berjalan sesuai aturan yang berlaku tidak memihak pada kesalahan dan pelanggaran baik itu pejabat, penguasa, kaya, miskin, dan rakyat biasa. Tetapi sebaliknya harus berpihak pada kebenaran dan keadilan. Aceh merupakan lahan subur kemungkinan terjadinya korupsi karena banyaknya aliran dana APBA, karena itu semua rakyat Aceh harus memantau penggunaan dan pertanggung jawaban anggaran, penegak hukum harus melakukan penyelidikan terhadap setiap hal yang tidak wajar dan mencurigakan.

8. Hukum dan peraturan di Aceh harus berpedoman pada UUPA yang merupakan hasil penjabaran dari MoU Helsinki. Realitas dilapangan sudah 4 tahun lebih implimentasi UUPA belum berjalan maksimal dan banyak kendala karena belum adanya Peraturan Pemerintah dan Perpres yang akan di jadikan qanun serta beberapa point penjabaran yang belum sesuai.

9. UUPA harus sesuai dengan induknya MoU Helsinki, implimentasikan semua point-point UUPA secara utuh-benar dan lenkap. Pemda Aceh dan DPRA harus mendesak pemerintah pusat Jakarta terhadap pemenuhan pelaksanaan UUPA. Realita di lapanagan adanya berbagai aksi unjuk rasa mahasiswa, lembaga sipil dan masyarakat Aceh lainnya baru-baru ini karena pemda Aceh dan DPRA terkesan lamban, kurang gesit, kurang berani terhadap pempus Jakarta. Orang Aceh harus berjiwa baik-benar-tegas-dan heroic dalam membela kebenaran dan keadilan. Realita dilapangan Aceh selalu mendapat angin segar tanpa realita segera dari pempus Jakarta.

10. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh sesegera mungkin yang merupakan tuntutan UUPA yang bisa menberikan kepastian hukum dan pengadilan terhadap pelanggar Hak Asasi Manusia di Aceh, serta perlindungan hukum terhadap para korban dan keluarganya.

11. Aceh merupakan daerah kaya yang mempunyai APBA yang besar, Sumber Daya Manusia (SDM) yang relative banyak dan handal, Sumber Daya Alam (SDA)  yang kaya dan luas, serta  bantuan asing dan lembaga donor lainnya seharusnya menjadi factor pemacu dan peningkatan perekonomian rakyat Aceh, tetapi ini semua belum memberikan dampak yang signifikan terhadap beberapa tingkat stratifikasi masyarakat luas.

12. Aceh harus mempunyai pemimpin dan wakil rakyat yang merakyat, setiap aturan dan kebijakan harus memihak dan dapat diterima oleh rakyat luas, serta mengutamakan kepentingan urgensi rakyat banyak.

Inilah beberapa point yang dapat penulis cermati guna memberikan suatu terobosan bagi pemangku jabatan dan wakil rakyat Aceh di parlemen.

Artikel ini bukan bermaksud negative tetapi merupakan suatu usul dari aneuk nanggroe kepada nanggroe Aceh,  penulis juga sadar dan tau mungkin beberapa point tersebut sudah terpikirkan dan terlaksana namun belum membuahkan hasil yang signifikan sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat Aceh.

Musliadi Ismail adalah Aktivis World Achehnese Association berdomisili di Kuwait
Previous Post Next Post