Bangsa Aceh Denmark Peringati Ulang Tahun Perjuangan Yang ke-33

Makmor Habib Abdul Ghani (Empat dari Kanan) sedang menyampaikan ceramahnya pada Milad GAM yang ke-33 di Denmark [Foto Suhadi Yahya/Waa]

WAAMinggu 6/12/2009 Laporan dari Denmark, Oleh: Tarmizi Age

4 December 2009 merupakan hari ulang tahun yang ke-33 Milad-GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang kini menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh). Di Denmark Masyarakat Aceh berkumpul di sebuah lakosi di kota Aalborg.

Peringatan ini di buka pada jam 7.00 petang oleh Mukarram, dan kemudian di lanjutkan oleh Tgk Razali Yusuf untuk memimpin doa kepada para syuhada pahlawan bangsa serta memohon semoga Aceh tetap damai dan aman. Sebelum acara di mulai seluruh masyarakat Aceh yang hadir turut menjamu kenduri makan bersama.

Makmor Habib Abdul Ghani yang saat ini dipercaya menjabat sebagai ketua masyarakat Aceh di Denmark dalam ceramah ulang tahun perjuangan Bangsa Aceh yang ke 33, mengatakan bahwa cita-cita kemerdekaan tidak boleh padam pada diri seluruh rakyat Aceh. Kemerdekaan sebenarnya mempunyanyi makna yang cukup luas.

Yang sangan penting dan hal yang paling mendesak kita lakukan saat ini adalah memerdekakan berpikir, memerdekakan ekonomi dan memerdekakan pendidikan, jadi untuk mencapai semua itu seluruh bangsa Aceh memerlukan pemantapan diri dengan ilmu pengetahuan.

Bangsa Aceh perlu memupukkan diri dengan berpikir terbuka dan tidak membiarkan diri suka ikut-ikutan. Perjungan selalu terbuka untuk Bangsa Aceh, jika satu jalan terhalang untuk menuju kesebuah kemerdekaan tentu punya banyak jalan lain untuk menuju kesana. Yang paling penting seperti apa yang saya katakan tadi yaitu merdeka untuk hidup adalah hal yang paling utama, ungkap Makmor Habib putra yang berdarah Gayo.

Kita Bangsa Aceh di Denmark punya tugas besar untuk mendukung agar perdamaian yang telah di capai di Aceh berjalan sesuai dengan kesepakatan dalam draf asli MoU Helsinki. Kita tidak mau Bangsa Aceh kembali jatuh pada lobang-lobang yang sama (Meusuruek bak uruek-uruek soet = Aceh), jadi kita harus medorong agar semua proses di Aceh berjalan sesuai dengan perjanjian dalam kesepakan bersama dan keinginan Bangsa Aceh.

Setelah Makmor Habib Abdul Ghani mengakhiri pembicaraannya, acara di lanjutkan dengan diskusi bersama menyangkut kondisi perdamaian Aceh yang  seakan-akan mulai di lupakan oleh semua pihak.

Beberapa poin dalam MoU menjadi prioritas diskusi, misalnya menyangkut Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, dalam MoU artikel 1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne. Hal-hal seperti ini sudah seharusnya di bahas secara terbuka oleh pemerintah Aceh bersama seluruh komponen rakyat Aceh, namun hingga saat ini nampaknya masih tidak di prioritaskan.

Menjangkut ekonomi dalam artikel 1.3.4  Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. Pemerintah Aceh sebenarnya harus mengumum secara terbuka kepada publik berapa jumlah uang dari 70 % itu dan berapa jumlah yang di serahkan ke Jakarta untuk mengelak timbul prasangka-prasangka yang negatif terhadap keberlanjutan implementasi MoU.

Menyangkut Peraturan Perundang-undangan 1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh. Dan menyangkut Hak Asasi Manusia dalam artikel 2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh, namun hingga saat ini seakan-akan masih beku, warga Aceh di Denmark yang terlibat dalam diskusi ini terlihat sangat kesal (i cah=Aceh), sebab hingga hari ini berbagai implementasi artikel-artikel MoU masih tidak terlaksana di Aceh. Sebenarnya semua kita mengerti apa yang di dapat oleh seluruh bangsa Aceh hari ini tidak terkecuali berkat usaha saudara kita yang telah menjadi koraban, jadi hak-hak mereka tidak seharusnya di biarkan.

Kemudian menyangkut Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat 3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini. 3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan. Hal-hal ini akan menjadi duri dalam perdamaian Aceh jika tidak di implementasikan secepat mungkin, dan akan berdempak secara langsung terhadap ke berlangsungan perdamaian Aceh dan kepercayaan rakyat terhadap eksekutif dan legislatif Aceh kedepan.

Tidak hanya itu Bangsa Aceh yang saat ini masih hidup di pengasingan menginginkan poin-poin MoU berjalan secara ril di Aceh.

Sebelum acara di tutup pada jam 10.00 (sepuluh) malam, Peserta diskusi memutuskan sebuah rencana kedepan untuk mengundang pihak-pihak yang terlibat dalam MoU, yang berkemungkinan akan di laksanakan di salah satu Negara di Scandinavia dengan tujuan agar masyarakat Aceh di luar negeri bisa mengetahui secara langsung berbagai kendala dan keberhasilan yang telah dicapai di Aceh terutama sekali menyangkut implementasi MoU.

Tarmizi Age adalah Aktivis World Achehnese Association berdomisili di Denmark.
Previous Post Next Post