Berikan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kepada Rakyat

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar sedang presentasi tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berbasis Kedaulatan Rakyat, 22 April 2010 [Foto/Muhammad Niza/WALHI Aceh].

WAA Kamis 22/04/2010 Pers Release Seminar Lingkungan Hidup WALHI Dalam Rangka Memperingati Hari Bumi

Berikan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kepada Rakyat

BANDA ACEH – Pemerintah memberi interpretasi sempit atas terminologi Negara (State) yang semata-mata diartikan sebagai Pemerintah (Government) saja, bukan sebagai Pemerintah dan Rakyat. Karena itu, kemudian digunakan paradigma penguasaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang berbasis Pemerintah (Government-based Resource Control and Management), bukan State-based Resource Control and Management yang berarti posisi rakyat menjadi sejajar dengan Pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang dimaksudkan dalam UUD 1945.

Demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, T.M. Zulfikar dalam acara Seminar Lingkungan Hidup WALHI Aceh dalam Rangka memperingati Hari Bumi Tahun 2010, Kamis (22/4) di Gedung AAC Darussalam Banda Aceh. Lebih lanjut ia mengatakan penggunaan paradigma penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berbasis pemerintah menimbulkan implikasi yuridis dalam bentuk penciptaan model hukum yang bersifat represif (Represive Law).

“Seperti adanya norma-norma yang memarjinalisasi, dan menggusur hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan SDA, memakai pendekatan keamanan, penonjolan sanksi hukum hanya untuk rakyat kecil dan memberi stigma kriminologis bagi pelanggar hukum perusak SDA,”jelas T.M Zulfikar.

Paradigma penguasaan dan pemanfaatan SDA yang berbasis Pemerintah cenderung berorientasi pada kapital dan ekonomi. “Hal ini mengorbankan kepentingan perlindungan ekologi dan perlindungan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat pengguna SDA. Konsekuensinya, ongkos ekologi dan ongkos sosial-budaya menjadi terlalu mahal untuk dibayar oleh Pemerintah untuk membangun negeri ini,”ujarnya.

Sementara itu, pemateri lain yaitu Dr. Ir. Muyassir, M.P, seorang pengajar pada program Magister Konservasi Sumberdaya lahan Program pascasarjana Universitas Syiah Kuala mengatakan akibat terbatasnya lahan-lahan yang produktif untuk pengembangan pertanian sehingga muncul maraknya praktek konversi hutan menjadi kawasan non hutan.
“Ini bisa dilihat dimana total luas perkebunan rakyat di Aceh, 506.995 hektar, lebih dua kali lipat dibandingkan dengan luas perkebunan besar yang hanya seluas 200.659 hektar,”katanya.

Praktek pengembangan pertanian seperti ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk deforestasi yang dapat menimbulkan degradasi hutan Aceh.

Kerusakan hutan menurut Muyassir, juga akibat tidak adilnya pemerintah terhadap pengembangan ekonomi, sehingga masyarakat di sekitar kawasan hutan mengeksploitasi untuk memenuhi kebutuhannya. Fenomena di atas dapatlah menjadi cerminan bahwa pengelolaan hutan Aceh saat ini masih memiliki citra kurang baik. Hutan yang memiliki fungsi penyangga kehidupan tidak dapat lagi memberi manfaat maksimum secara ekonomi, ekologi, klimatologi, dan hidrologi sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya.

Pemateri lain dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Andoko Hidayat lebih menekankan tentang upaya-upaya yang mendukung pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. 

Dilema Pembangunan dan Lingkungan
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, yang menjadi Keynote Speaker dalam seminar ini menjelaskan tentang betapa sulitnya mensinkronkan antara kebutuhan pembangunan bagi masyarakat dan menjaga lingkungan.

“Ini menjadi dilema, kita ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah terpencil dan membuka isolasi. Tapi disisi lain ada lingkungan yang harus dijaga. Ini terjadi misalnya dalam hal pembukaan jalan tembus Jantho-Lamno tetapi mengusik hutan lindung,”ujarnya. Namun Nazar mengingatkan bahwa dengan terisolasinya Lamno justru membuat aktivitas illegal logging kian marak karena aparat keamanan tidak punya akses masuk ke kawasan hutan didaerah tersebut. 

Selain itu M. Nazar mengatakan pada satu sisi banyak pemerintah daerah yang mengeluarkan izin tambang tanpa melihat dengan jelas lokasinya padahal di sisi lain pemerintah sedang giat-giatnya mengkampanyekan ‘Aceh Green Vision’ yang fokus pada penanganan lingkungan. Saat ini pemerintah Aceh akan mengkaji Kuasa Pertambangan yang diterbitkan di tingkat Kabupaten/kota. “Jika memang tidak bersentuhan dengan kawasan hutan lindung, sebenarnya tidak ada masalah, asal perusahaan mematuhi peraturan Amdal,”tegasnya.

Masalah penataan lingkungan alam, menurut M.Nazar, terkait dengan upaya pemerintah Aceh untuk bisa mengelola SDA tanpa merusak lingkungan. Misalnya dalam hal pertambangan dan pengelolaan hutan, pemerintah Aceh akan lebih fokus bagaimana mengelola SDA tanpa merusak lingkungan dengan menggiatkan sektor pertanian atau sektor non-migas yang menjadi andalan Aceh dalam dua tahun terakhir ini.

Banda Aceh, 22 April
Divisi Advokasi/kampanye WALHI Aceh

Muhammad Nizar
Previous Post Next Post