Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan Ekses Terorisme di Aceh

Gambar sumber Serambinews

WAA Selas 06/04/2010, Kajian Hukum Tentang Tindak Kekerasan Ekses Terorisme di Aceh
Isu terorisme di Aceh,  dimulai sejak terjadinya penyergapan yang dilakukan oleh Tim Gabungan Polda Aceh dan Mabes Polri terhadap sekelompok orang yang di duga teroris di Aceh yakni disekitar pegunungan Jalin, Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar pada tanggal 22 Februari 2010 yang menyebabkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil.
Banyak spekulasi yang muncul tentang isu terorisme di Aceh, ditambah lagi sajian media massa dan beberapa pemetaan isu yang berkembang di kalangan elemen sipil baik di level Aceh maupun di level nasional. Menjadi catatan sejarah untuk sebuah riwayat terorisme dalam lima tahun usia perdamaian di Aceh. Walaupun akhirnya pihak kepolisian memastikan itu murni terorisme dan Gubernur Aceh juga mengatakan bahwa terorisme di Aceh tidak ada kaitanya dengan anggota mantan GAM di Aceh.
Menguaknya isu terorisme di Aceh, pihak kepolisian terus melakukan penyisiran dan aksi razia / sweeping  menyebar  ke arah Geumpang (Pidie), Meulaboh (Aceh Barat), Beutong (Nagan Raya) dan razia tersebut sekarang terus menyebar di wilayah Aceh, dan razia tersebut sampai juga dijalan protokol kota Banda Aceh. Beberapa aksi razia dan penyisiran yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang mengakibatkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil tetapi juga mengakibatkan jatuhnya korban terhadap tersangka yang di duga sebagai teroris di Aceh.
Tindak Kekerasan Ekses Terorisme
Dari beberapa aksi pengungkapan terorisme, mengantarkan pembenaran terjadinya tindak kekerasan di Aceh yang mengakibatkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil dan tersangka teroris di Aceh
Sumber : Dokumentasi KontraS Aceh Dari beberapa kasus tersebut di atas diantaranya : Kasus I,  pada tanggal 22 Februari 2010,  sekitar pukul 23.00 WIB telah terjadi penembakan serampangan terhadap masyarakat sipil yang dilakukan oleh kepolisian dalam aksi penyergapan teroris di disekitar pegunungan Jalin, Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar. Penembakan tersebut mengakibatkan salah satu korban meninggal dunia yakni Kamaruddin (38), korban luka tembak yakni Suheri (14) Pelajar SMP, Wahyu (14) pelajar SMP dan Abdul Majid (40) mengalami Penganiayaan, keempat korban adalah warga Desa Lamlepung, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar.
Insiden penembakan tersebut bermula ketika korban pergi memancing di krueng Melinteng, korban saat itu berangkat pada pukul 15.00 WIB menggunakan 3 unit Sepeda motor. Pada saat korban menuju sungai tersebut di setengah perjalanan korban bertemu dengan sekelompok orang yang tidak dikenal dan berjumlah 6 orang dan membawa senjata, saat itu korban di stop serta ditanyai “mau kemana kalian” dan saat itu salah satu korban yaitu Abdul Majid menjawab “mau mancing ikan”, dan kemudian korban dibiarkan melanjutkan perjalannanya.
Selang 100 meter dari kelompok pertama korban bertemu lagi dengan sekelompok orang yang juga membawa senjata namun korban tidak ditanyai apa-apa. Sekitar pukul  17.00 WIB korban sampai di tujuan, kemudian korban makan-makan dan berencana memancing sehabis magrib. Selanjutnya sekitar pukul 22.00 WIB korban Kamarudin mengajak temennya untuk pulang kerumah dikarenakan korban sudah mendapatkan empat ikan.
Ditengah perjalanan pulang sesampainya di Jembatan Krueng Melinteng korban mendengar ada yang berkata “teratai” disertai dengan tembakan ke atas dan kata-kata tiarap, disertai dengan rentetan bunyi senjata. Suara tembakan berasal dari arah depan korban, dan akibat tembakan tersebut mengenai korban Kamaruddin dan Suheri, dimana Kamaruddin terkena dibagian dada sebelah kiri dan kaki sebelah kiri. Sedangkan Suheri terkena di paha sebelah kiri.
Menurut keterangan korban Abdul Majid setelah terdengar suara tembakan beberapa oknum polisi menanyakan “siapa mereka” dan dijawab “saya pak geucik dan dari memancing ikan” saat itu polisi mengatakan “mana mungkin memancing ikan disana tidak ada sungai yang ada hanya gunung”.Korban Abdul Majid sempat mengalami penganiaayaan yang dilakukan oleh polisi, tangannya diikat dengan tali sepatu miliknya sendiri dan dipukul dengan helm milik polisi dibagian kanan kepala mengenai telingan dan badan belakangnya juga dipukul beberapa kali oleh polisi.
Kemudian korban Abdul Majid mengetahui temannya Kamaruddin terkena tembakan pada saat kamarudin dibawa kedalam mobil saat itu melihat ada bekas darah dibajunya dan abdul majid juga mendengar suara Suheri mengatakan dia terkena tembakan. Kemudian korban Abdul Majid dan Wahyu di suruh berjalan kaki ke tempat mobil reo  dan dibawa ke Polres Aceh Besar. Sekitar pukul 09.00 WIB korban Abdul dan Wahyu dibebaskan dari Polres Aceh Besar.[1]
Kasus II, masyarakat sipil juga menjadi korban yakni  pada tanggal 4 Maret 2010, sekitar pukul 22.00 WIB terjadi penembakan yang menyebabkan kematian terhadap masyarakat sipil yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam aksi penggerebekan teroris di Kemukiman Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Korban tersebut yakni Nurbari (60), warga Meunasah Tunong, Kemukiman Lamkeuba, Kecamatan Seulimum , Kabupaten Aceh Besar. Perstiwa tersebut terjadi ketika korban hendak menuju sawah miliknya.Di tengah perjalanan korban berpapasan dengan tim gabungan antiteror dari Densus 88 dan Polda Aceh sedang melakukan perburuan terhadap kelompok teroris. Beberapa saat kemudian terdengar rentetan suara tembakan dan mengenai korban. Korban mengalami luka tembak di bagian leher dan meninggal dunia.[2]
Kasus III, pada tanggal 3 Maret 2010 dini, terjadi penembakan yang menyebabkan kematian terhadap seorang masyarakat sipil. Penembakan tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian yang sedang melakukan razia di kawasan Jalan Banda Aceh-Medan, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.
Insiden itu bermula ketika polisi menghentikan sebuah bus dan melakukan pemeriksaan, dari dalam bus tiga orang penumpang melarikan diri dan dari ketiga penumpang tersebut, salah satunya tertembak dan meninggal dunia. [3]
Kasus IV, pada tanggal 12 Maret 2010, pagi, terjadi penembakan yang menyebabkan kematian terhadap dua orang yang diduga teroris hendak melarikan diri ketika di razia oleh anggota Kepolisian  Sektor Leupung. Kedua orang korban bersama delapan teman lainya berada dalam sebuah angkutan umum jenis L-300 hendak menuju Calang.
Korban yang meninggal akibat penembakan tersebut yakni Encang Kurnia alias Jaja alias Umar Yusuf asal Lampung dan Pura Sudarma alias Muttakin asal Bandung. Selanjutnya delapan orang lainya ditangkap pihak kepolisian. [4]
Analisis Hukum dari beberapa Peraturan PerundanganTerhadap fakta hukum di atas pihak kepolisian belum mampu menghormati dan melindungi setiap warga Negara sebagai manusia. Tidak menjadi pembenaran jika ekses dari tugas yang diemban menyebabkan jatuhnya korban hanya sebagai tindakan untuk menangkap dan untuk mencegah kaburnya tersangka dengan menggunakan senjata api. Penggunaan senjata api merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang sebagai pilihan terakir (last resort)bagi aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive use of force) merupakan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power)[5]
Tidakan tersebut melanggar Pasal 6 konvenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik yakni’’ setiap orang mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Kemudian dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada pasal 3 mengatakan bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan kemananan pribadi”.
Jika dilihat dari tim gabungan tersebut sudahlah pasti orang-orang pilihan dan berpengalaman sehingga tindakan-tindakan tersebut dapat diminilisir, apabila tidak dapat dihindari, mereka harus membatasi penggunaan kekerasan hingga batas minimum yang diperlukan sesuai Prinsip ke 13 , Etika Perilaku dan Prinsip-prinsip Dasar PBB dalam Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum .[6]
Aparat penegak hukum harus pula meminimalisasi kerusakan dan korban luka serta dalam tugasnya menghormati dan menjaga martabat manusia.Selain itu, mereka harus menjamin saudara atau teman-teman dekat korban untuk mendapatkan pemberitahuan secepat mungkin. Bila korban meninggal dunia diakibatkan penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum, mereka harus segera melaporkan kejadian tersebut kepada atasan mereka (Prinsip ke 6, Etika Perilaku dan Prinsip-prinsip Dasar PBB dalam Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum).
Bila merujuk Peraturan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar Hak asasi manusia dalam peyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 7 menyatakan bahwa setiap anggota Polri wajib memahami instrumen internasioanal tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan Polri dengan HAM, diantaranya konvenan internsional tentang Hak sipil Politik (ICCPR) dan Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (United Nation Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement) Tahun 1980.
Dalam Pasal 9 juga disebutkan bahwa dalam menerapkan tugas pelayanan dan perlindungan terhadap warga masyarakat setiap anggota Polri wajib memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas dan asas proporsionalitas, dalam kasus ini polisi belum mampu menyeimbangi antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum. Selain itu Pasal 11 juga menyebutkan setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan menggunakan kekerasan dan/atau senjata api.Secara khusus dalam penggunaan kekuatan/ tindakan keras dan senjata api secara yuridis tertulis dalam Pasal 45 Peraturan tersebut.
Terkait kasus tersebut di atas, jika merujuk Undang-undang No 28 tahun 1997 tentang kepolisian RI dalam Pasal 13. pihak kepolisian belum mampu melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 14 (ayat 1 point d) juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas kepolisian Negara RI harus memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan Pasal 19 juga menyebutkan “dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Pasal 13, Undang-undang 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI juga menegaskan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara RI adalah: a) memelihara kemanaan dan ketertiban masyarakat, b)menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 menyebutkan dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 (ayat 1 huruh j), kepolisian Negara RI bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 
Selain itu pihak kepolisian juga gagal menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam penegakan hukum yaitu untuk mengedepankan azas praduga tak bersalah (presumption of innocent ) sesuai  penjelasan umum butir 3 huruf c dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan pasal 35 Peraturan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar Hak asasi manusia dalam peyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni : 1) Setiap orang yang diduga melakukan kejahatan memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah sesuai dengan putusan pengadilan dan telah memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk melakukan pembelaan. 
2) Setiap anggota Polri wajib menghargai prinsip penting dalam asas praduga tak bersalah dengan pemahaman bahwa: a.   penilaian bersalah atau tidak bersalah, hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang, melalui proses pengadilan yang dilakukan secara benar dan tersangka telah mendapatkan seluruh jaminan pembelaannya; dan b. hak praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah oleh pengadilan adalah hak mendasar, untuk menjamin adanya pengadilan yang adil. Dan 3) Setiap anggota Polri wajib menerapkan asas praduga tak bersalah dalam proses investigasi dengan memperlakukan setiap orang  yang telah ditangkap atau ditahan, ataupun orang yang tidak ditahan selama masa investigasi, sebagai orang yang tidak bersalah.  
Hal yang sangat diperhatikan dalam hal pertanggungjawaban secara hirarki atau pertanggungjawaban komando juga berlaku dalam penggunaan kekerasan dan senjata api. Pada prinsipnya harus ada pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab. Dia mengetahui dan seharusnya mengetahui bahwa anak buah yang berada dalam komandonya telah degan tidak sah menggunakan kekerasan dan senjata api. Selain itu dia dianggap gagal melakukan pencegahan,penindakan serta pelaporan terhadap penggunaan kekerasan dan senjata api. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana kembali pada atasan yang memberikan perintah yang tidak sah itu. [7]
Tindakan pihak kepolisian tersebut di duga melanggar Pasal 338 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Perkembangan Kasus
Dari beberapa kasus yang terjadi,  terhadap kasus penembakan yang mengakibatkan meninggalnya Kamaruddin.
Pada pada tanggal 2 Maret 2010, keluarga korban Laili Fajri ( 28 ), istri kandung Kamaruddin, warga Desa Lam Leupung Kota Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar bersama dengan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum, KontraS Aceh dan Koalisi NGO HAM melaporkan kasus tersebut ke Kantor Kepolisian Daerah Aceh yakni laporan Polisi No. Pol: LP/B 52/III/2010 Ditreskrim.
Kemudian pada tanggal 3 Maret 2010, keluarga korban dan kuasa hukum melaporkan kasus tersebut ke Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh dengan No Agenda :006.30/III/2010 dengan kode klarifikasi HB. O4. B.
Pada tanggal 26 Maret 2010, terhadap kasus penembakan Kamaruddin sudah dilakukan pemeriksaan saksi oleh penyidik dari Reskrim Polda Aceh yakn saksi Abdul Majid (40), warga Desa Lam Leupung, Kecamantan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh besar berdasarkan surat panggilan No : Sp.Gii/250/III2010/Dit. Reskrim. Saksi Wahyu (14), warga Desa Lam Leupung, Kecamatan Kecamantan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh besar berdasarkan surat panggilan No : Sp.Gii/251/III2010/Dit. Kemudian saksi Suheri (14), warga Desa Lam Leupung, Kecamantan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh besar berdsarkan surat panggilan No : Sp.Gii/252/III2010/Dit.
Dilain pihak, tindakan kepolisian terus melakukan razia dan sweeping di wilayah Aceh yang di duga tempat teroris berada.  Kemudian juga melakukan pengembangan kasus dan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang di duga teroris. Berikut data teroris yang ditangkap oleh pihak kepolisian[8]
Syailendra Ady Sapta alias Sapta IsmetHakiki alias Abu Mujah, Lulusan Mindanao, Filipina, terlibat ledakan bom di Kedutaan Besar Australia, asala PandeglangYudi Zulfahri alias Bara (27) asal, Aceh BesarZaki Rahmatullah alias Zaenal Mustaqin, asal Pandeglang.Masykur Rahmat, asal Aceh Jaya. Tertembak di Kaki tapi meninggalSurya Achada alias Abu Semak Belukar, asal AcehKamaruddin, asal AcehHeru Lianto, asal LampungMuktar Khairi, asal Tanah Abang, JakartaAgus Kasdianto alias Hasan, asal DepokDeni Suhendra alias Faris, asal KerawangAdi Munardi, asal BandungHalalang, asal JakartaLa Ode, asal Rawamangun, JakartaSulaeman, asal LampungAdam, asal PandeglangSofyan, asal Depok, Dia pernah mendirikan sekolah menembak di Depok beberapa tahun lalu. Dia pemasok senjata ke tempat latihan di Aceh.Sutrisno, JakartaTatang, asal JakartaAbdi, asal JakartaIwan S Abdullah, tertembak, asal Aceh BesarMarzuki, tertembak 6 Maret, asal Aceh
RekomendasiDari beberapa paparan fakta hukum di atas, diharapkan kepada pihak kepolisian agar menindaklanjuti proses hukum jika di duga kuat pihak kepolisian melakukan pelanggaran tehadap Kode etik Profesi kepolisian RI, berdasarkan Pasal 35, UU No 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI bahwa pelanggaran terhadap kode etik profesi kepolisian Negara RI oleh pejabat Negara RI diselesaikan oleh Komsi Kode etik Negara RI. Tanpa melupakan tanggungjawab secara hierarki atas pelaksanaan tugas dan kewenagan kepolisian.Jika perlakuan pelanggaran tindakan yang dilakukan pihak kepolisian berupa pelanggaran pidana, petugas kepolisian harus dikenai dakwaan dan dibawa ke pengadilan. Dan diharapkan adanya informasi kepada public terkait kasus pelanggaran kode etik dan juga pelanggaran pidana tersebut, yang eksesnya untuk sebuah transparansi hukum.
Terhadap aksi razia dan penyergapan yang dilakukan pihak kepolisian harus tetap menjunjung prinsip-prinsip hukum dan HAM dan tetap mengedapkan kode etik kepolisian. Harus ada pengawasan dan sistem komando yang efektif dan efisien agar dalam tataran implementasi dapat berjalan sesuai harapan.
Kemudian daripada itu terhadap para tersangka yang sudah ditangkap oleh pihak kepolisian agar selalu menghormati hak-hak tersangka dalam hukum tanpa mengurangi pernghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kepada pihak Komnas HAM, segera melakukan pengkajian dan pemantauan dan melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut jika diketahui adanya dugaan pelanggaran HAM, memberikan pressure kepada pihak kepolisian terkait pengungkapan kasus dari ekses pengungkapan teroris di Aceh.
Kepada elemen masyarakat sipil dan lembaga yang mengadvokasi terus mendukung proses penegakan hukum dan tetap melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap proses pengungkapan kasus terorisme di Aceh.
Demikian kajian hukum sebagai laporan kasus terkait tindak kekerasan ekses dari pengungkapan teroris di Aceh kami buat .  Semoga dapat berguna untuk perlindungan dan penegakan Hukum dan HAM di Aceh.
Banda Aceh, 18 Maret 2010
Laporan ini disusun oleh Fitri Asmara, staf Kajian KontraS Aceh
[1] Investigasi KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan Koalisi NGO HAM[2]  Rakyat Aceh, 5 Maret 2010[3] Rakyat Aceh, 4 Maret 2010.[4]  Acehkita.com. 12 Maret 2010[5] Prinsip ke 7, Etika Perilaku dan Prinsip-prinsip Dasar PBB dalam penggunaan Kekerasan dan senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum[6] Prinsip ke 13 , Etika Perilaku dan Prinsip-prinsip Dasar PBB dalam Penggunaan Kekerasan dan senjata Api Bagi Aparat Penegak Hukum[7]  Imparsial, Praktik Brutalitas Polisi di masa transisi Indonesia, 2005[8]  Serambi Indonesia, 11 Maret 2010
Previous Post Next Post