Kehidupan Refuge Aceh Di Negara Para Pendeta

Aiyub Ilyas (Penulis lima dari kiri) bersama Masyarakat Aceh Denmark Dan Norwegia ketika hadir dalam sebuah pertemuan Bansa Aceh Se-Dunia di Denmark oktober 2009 [Foto/ Aiyub Ilyas/Waa].

WAAMinggu 7/02/2010, Kehidupan Refuge Aceh Di Negara Para Pendeta Oleh: Aiyub Ilyas

ATJEH selalu dikenal dengan daerah yang penuh hiruk pikuk perang dan heroisme. Hal ini dibuktikan dengan perhelatan perang panjang yang tak kunjung padam. Kata henti ibarat tidur malam untuk mempersiapkan tenaga menyongsong perang esok hari. Karakter orang Aceh yang seperti ini sering dimanfaatkan si durjana untuk mengais rezeki. Air mata becucuran, darah terus mengalir, nyawa tiada harga seakan menjadi keseharian Acehku tercinta.

Efek lain dari sebuah peperangan, terjadinya gelombang pengungsian untuk menyelamatkan diri. Rakyat Aceh mengungsi ke negara tentanga seperti Malaysia. Dari sanalah awal babak baru berjuang untuk bertahan hidup. Banyak yang gagal, namun banyak juga yang sukses.

Sekelompok dari mereka adalah para penerima suaka politik yang kemudian dikirim ke negara ketiga seperti Norwegia, Denmark, Swedia, Finlandia, Kanada, Amerika dan lain-lain.

Di negara ketiga inilah sebuah kehidupan baru harus diarungi demi mempertahankan hidup.

Dalam tulisan ini penulis mencoba menggambarkan kisah mereka yang saat ini hidup di beberapa negara skandinavia. Di negara para pendeta inilah mereka hidup, bekerja, berjuang dan berfikir untuk Nanggroe tercinta.

Dari pengamatan penulis dalam beberapa silaturahmi, terlihat kehidupan pengungsi Aceh jelas lebih baik dari kehidupan yang dilakoni mereka sebelumnya baik itu di Malaysia maupun di Nanggroe tercinta. Taraf kehidupan masyarakat di Skandinavia dengan sistem bernegara yang baik jelas diatas rata-rata kehidupan masyarakat dunia. Sangking hebatnya banyak survey tentang negara paling aman, paling nyaman, paling bahagia mereka menangkan.

Kehidupan pengungsi Aceh disana berbeda dengan apa yang kita rasakan di Aceh, kalau di Aceh mereka dianggap pemimpi tanpa mau berusaha, tapi di Skandinavia mereka diberi pelatihan sesuai bakat dan keinginan, kemudian diberikan perkenjaan sehingga mereka bisa menghidupi diri dan keluarganya serta menghidupi negara dengan pajak yang mereka bayar.

Kehidupan mereka pun jauh dari yang kita bayangkan, hampir rata-rata mempunyai mobil dan banyak yang sudah memiliki tempat tinggal sendiri.

Dengan kehidupan dunia yang mapan tidak lantas membuat mereka lupa akan Nangroe tercinta, ada keinginan besar mereka suatu saat kembali ke Aceh. Alasannya tentunya sangat mendasar, karena kehidupan di dunia barat jauh berbeda dengan budaya dan syariat yang telah mendarah daging dalam diri mereka.

Mereka rindu akan sistem keakraban sosial di Aceh, mereka takut kalau anak-anak mereka akan terpengaruh dengan lingkungan pergaulan bebas, mereka takut hubungan anak dengan orang tua hanya sebatas membesarkan, kemudian anak meninggalkan orang tua mereka di panti-panti jompo dan menjadi tanggung jawab negara, dan yang lebih perih lagi adalah kesempatan beribadah. Bukan  kerena dilarang, tapi kesempatan, tempat dan waktu yang sering menjadi hambatan.

Hal ini tergambar dari keinginan dan keluhan mereka, walau hidup bergelimang harta, hidup berkecukupan, hidup dalam sistem yang tertata dan menyenangkan, namun alasan agama dan budaya membuat mereka terus mengharap Aceh akan segera pulih, berkembang dan maju sehingga kalau mereka kembali bayangan perang dan ketakutan sudah sirna, yang ada hanya kebahagiaan dan kesejateraan dari seluruh rakyat Aceh.

Kritikk-kritik pedas yang mereka lontarkan kepada para sahabat seperjuangan yang ada di Aceh saat ini bukan karena iri, dengki atau benci, tapi muncul karena ada keinginan yang kuat untuk bisa cepat kembali berkumpul dan bergabung dengan keluarga, kerabat dan sahabat di Nanggroe tercinta.

Harapan mereka ini hendaknya menjadi tujuan bersama, sehingga sudah saatnya semua pihak baik yang di Aceh dan di luar Aceh, yang merasa dirinya masih mengalir darah keacehannya harus bersatu padu untuk membangun Aceh masa depan yang bermartabat degan fokus kemuliaan dan kesejahteraan dalam bingkai keacehan yang islami.

Sudah saatnya perbedaan dipersatukan, kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan, egoisme kelompok harus dikecilkan, pemerataan harus diwujudkan karena itulah tujuan perjuangan ”Taduk tadeng beusaban pakat sang seuneusap meu adoa, mulia nanggroe ngen martabat mulia rakyat ngen sejahtra”.

Aiyub Ilyas adalah aktivis World Achehnese Association, Mahasiwa Master Kesehatan Jiwa HUC of Norwegia
Previous Post Next Post