Kesenian dan Kebudayaan

Salah satu tarian yang telah di campur aduk, tidak tau apa namnya, tarian ini di pentaskan waktu kenduri sunatan Rasul [Foto/Razlina Reichardt/Waa].

WAARabu 27/01/2010 Kesenian dan Kebudayaan, Oleh : Razlina Reichardt

JERMAN – Karena kerinduan yang sangat dalam terhadap negeri tercinta yang namanya Aceh, kerinduan akan abang dan kesenian Aceh, terutama tentang Teater yang pernah beliau bina.

Beliau itu adalah Maskirbi nama senimannya. Beliau pergi menghilang bersama keluarga dalam satu musibah bencana tatkala Aceh di terjan gelombang Tsunami, beliau adalah pendiri Teater Konterporer dan yang memulai musikkalisasi puisi di Aceh.

Tidak berlebihan jika saya memiliki impian ingin membangun sekolah Kesenian di Aceh dengan nama sekolah kesenian Maskirbi, sebab bila saya memperhatikan perkembangan kesenian dan budaya di Aceh yan telah di sebar luaskan di Luar negeri sangat disayangkan sekali, sebagai contoh, tarian Saman yang berasal dari Aceh Tengah dan Aceh Tenggara telah di campur adukan dengan tarian Meuseukat dan  tarian Likok pulo.

Dari setiap daerah di Aceh sebenarnya ada tarian kusus namun juga memiliki nama masing-masing, sedangkan tarian dari Aceh Tengah dan Tenggara itu namanya Saman, dari aceh selatan  itu namanya rapai geleng, sebab disertai dengan rapai, di Aceh besar namanya likok pulo, dan tari duduk yang kususnya dimainkan oleh perempuan itu namanya Meuseukat ini hanya ada di Aceh barat dan Selatan.

(boleh saja ingin mencampur adukkan tarian duduk ini tapi jangan Saman namanya kasi judul lain misalnya Tarian Rampoe), apa lagi melihat PKA tahun kemarin, mereka telah mengambil adat Bali menjunjung bunga di atas kepala perempuan, sementara perempuana Aceh menjunjung mahkota.

Bukan kah setiap pulau di Indonesia terutama di Aceh setiap kecamatan bahkan Gampong sudah beda adatnya begitu kaya budaya Aceh mengapa harus menciplak budaya pulau lain,ini satu pertanyaan buat bangsa kita???

Dengan pemikiran ini dan tersiratlah impian itu, saya menceritakannya kepada adik adik Teater Mata (sekarang Teater Mata tertidur) bahwa ini hanya impian, sebab aku tidak mampu membangun sekolah tersebut, karena pasti membutuhkan biaya yang sangat besar, aku juga menginginkan anak-anak yang tidak mampu untuk tidak membayar uang sekolah dan yang dari luar daerah punya tempat penginapan atau tempat tinggal.

Ternyata impian ku ini mereka kembangakan, mereka merencana membangun Kirbi Art School bahkan mereka telah membuat kurikulumnya “Terimaksih“

Dari adik pekerja seni yang sekarang menjadi Dosen di ISI Padang Panjang sumatera barat Sueleiman Juned mengabarkanya padaku Wagub merencanakan pembangunan IKA (Institut Kesenian Aceh) aku sangat bergembira mendengar kabar ini, katanya bahkan kurikulum tersebut telah selesai dia kerjakan, Seuleiman Juned juga termasuk di dalam Tim kurikulum di ISI dan bahkan dia mampu mengajukan kesenian Aceh jadi salah satu mata pelajaran yang akan di ajarkan di ISI tersebut, ada 3 kesenian Aceh yang di kurikulum kannnya yaitu, Teater PMTOH, Didong, dan Seudati.

Kegembiraan ini hanya sekejab Sueleiman Juned kembali mengabarkan padaku, bahwa IKA sepertinya tertunda , dia telah merancang kurikulum untuk IKA tersebut, namun Wagub belum mencairkan biaya untuk pendirian IKA, bisa jadi ada beberapa pejabat dan seniman –seniman tertentu masih dalam pertengkaran masalah uang, aduh aku kecewa, mengapa tidak mempolitikus kan masalah Kebudayaan dan Kesenian di Aceh? Sementara ISI saja mampu memperlajari tentang kesenian Aceh, bagaimana nantinya generasi penerus Aceh?, mampu kah mereka mengenal kebudayaan dan Kesenian Bangsanya sendiri?

Aku mengutip disini perkataan WS Rendra, bila bangsa tidak punya budaya maka bangsa tersebut tidak punya adab..

Harus kah Aceh demikian atau kah Aceh telah membudayakan Uang?

Razlina Reichardt adalah aktivis World Achehnese Association berdomisili di Jerman
Previous Post Next Post