Beberapa para aktivis WAA pada peringatan III tahun WAA di Denmark, [Foto/Dok/WAA]. |
WAA - Minggu 16/10/2011, Merawat Konflik Pilkada Aceh
Suatu malam saya dan seorang teman sepakat berdiskusi tentang temperatur politik di Aceh, diskusi tersebut berujung hingga ke sebuah tulisan, dengan harapan ada manfaat bagi kami yang menulis dan juga bagi saudara yang mebacanya.
Merawat yang kami maksudkan adalah menjaga dan mengawasi agar penyakit itu sembuh dan tidak bertambah ganas sehingga menakutkan bagi yang sakit dan juga bagi yang sehat, salah satu penyakit yang perlu perawatan ekstra ketat adalah Pungoe (Gila).
Pungoe (gila) adalah sebuah penyakit yang cukup di takutkan dalam kehidupan manusia, sekalipun demikian bukan berarti tak ada langsung orang yang kena penyakit pungoe (gila) bahkan ramai yang sudah pernah di pasung di era sebelum ada rumah sakit peupuléh pungoe (rumah sakit mengobati gila), secara akli (akal) pada umunya ramai yang tidak mau mendekati diri dengan ureng pungo (orang gila) karena takut – takut berakibat fatal yang bisa merugikan diri sendiri, celakanya buet ureng pungoe (orang gila) sulit di tuntut, perlakuan mereka tak akan ada hukumannya karena memang mereka pungoe (gila), paling – paling hanya bisa memaafkan dengan hati yang lapang, begitu lah kira-kira umpama situasi pilkada di Aceh yang sedang bergulir, tentunya sangat logika jika ada pihak – pihak yang memilih menjauhi dari mendekati, sehingga situasi kembali sembuh seperti sedia kala dengan menggunakan segala usaha dan upaya yang ada dari rakyat Aceh untuk, sekalipun harus mencari dukun sampai ke Eropa untuk merawatnya.
Menulusuri kemelut pilkada di Aceh yang berlarut – larut ternyata telah merambah ke seluruh sendi jejaringan, isu pilkada di Aceh menjadi isu terhangat di penhujung kepemimpinan Irwandi Yusuf –Muhammad Nazar (Gubernur – Wakil Gubernur Aceh priode 2007 – 2012), dalam kurun waktu 6 tahun perjanjian damai Aceh yang saat ini di nahkodai manyoritas anggota parlemen (wakil rakyat) dari Partai Aceh (PA).
Kombinasi hasil perdamaian GAM – RI yang di sebut MoU dengan UUPA ternyata tak jalan baik di Aceh, ada pihak yang menhormati dan ada sebahagian pihak yang melawan, bahkan hingga ada pihak di luar Aceh yang menghapus isi UUPA tanpa berkonsultasi dengan parlemen Aceh (DPRA), sebut saja alasan mungkin karena tak suka atau tak ingin Aceh punya kekususan atau kelebihan dari jiran – jiran yang di sampinnya, hal inilah yang merupakan salah satu sebab sehingga memicu temperatur pilkada meninggkat sampai panas dingin (demam).
Perang terbuka lewat jalur politik dan jalur hukum terus melebarkan sayapnya kemana – kema, semua celah mulai dikuasai oleh pikiran pilkada, ada yang mati – matian mendukung pilkada harus di laksanakan tepat waktu dan tidak kurang yang sepakat dan berhujat dengan berbagai fakta dan alasan seharusnya pilkada di tunda.
Bahgia Busu salah seorang aktivis World Achehnese Association (WAA) di Denmark mengistilah kan situasi Aceh saat ini lebih kepada ”Meupeuliték sabé keu droe – droe” (berpolitik sesama sendiri), seperti mana banyaknya orang Aceh yang mau merdeka tetapi tidak semuanya mau bekerja untuk merdeka, keculai hanya saling menyalahkan saat tidak merdeka, hal begini memakan waktu yang lebih banyak untuk peugoet Aceh (buat Aceh) lebih maju dari dulu – dulu, saya lantas menyambung, ”Aceh siet han goet meunjöe hana ta peugoet” (Aceh memang tidak bagus kalau kita tidak dibuat bagus).
Menurut pandangan kami, perdebatan ”dawa – dawi ” pilkada di Aceh sulit di prediksikan kapan akan berakhir, kapan akan sembuh, walaupun pilkada nantinya berhasil mencatat ada yang menang dan sudah tentu ada yang kalah, konflik regulasi pilkada Aceh hemat kami hanya akan berakhir dengan duek pakat yang harmonis sesama Aceh dengan tetap mempertahankan konsep awal sebagai obat yang mujarab hasil perdamaian, Self-Government to Aceh ” Aceh tamat keu droe”,
Pertikaian pemerintah dengan Parlement Aceh sangat di sayangkan jika harus memakan korban, sebab sudah menjadi lumrah sebuah pertikaian berhujung pada keganasan kecuali secepatnya di bendung dengan konsiliasi, kalau bisa kita contohkan, ibarat dua orang berkelahi, yang kalah biasanya berdarah – darah, dan yang menang biasanya merasakan dirinya saya sangat kuat, namun setelah yang kalah mencari keadilan, ternyata situasi berubah, yang menang pada awalnya kini jadi kalah, yang kalah tadinya kini menjadi menang, sehingga bagi yang kalah harus menerima bayaran, paling tidak ” payah geusayam –istilah adat Aceh”, bergerak dari rasa bahwa kami juga orang Aceh, dengan itu kami cuba tawarkan solusi agar keributan pilkada di selesaikan dengan cara – cara kita sendiri orang Aceh, deungen geumeutém – tém untuk keu goet, bak surah pisang saboeh takoeh dua, (saling punya kemauan untuk kebaikan, laksana pisang di potong dua)
Sebuah pertanyaan timbul sambil kami menulis, apakah memang kita orang Aceh suka berpolitik? tidak juga, sebenarnya selagi keberadaan Aceh belum sempurna, pikiran orang Aceh tetap mengarah kepada politik, apa lagi karena politik telah membuat orang Aceh jera dan juga sebaliknya telah membuat orang Aceh pandai – pandai ”caroeng – caroeng”, sehingga sampai – sampai pada suatu ketika putra Aceh Tengku Hasan Muhammad di Tiro berhasil membangkitkan nasionalisme keacehan.
Memeriksa kembali sebuah motto yang menjadi spirit dalam gerakan pembebasan Aceh ”udép beu saré maté beusajan si krék gafan saboeh keureunda” seakan – akan tidak pernah ada lagi perpecahan dalam kehidupan rakyat Aceh, tapi ternyata kronolgi pilkada bisa di lihat oleh siapa saja keadaan telah berubah dari definisi motto diatas, ia seperti sebuah kisah yang unrasional sedang berjalan di tanoeh pusaka Panglima Polém.
”Karu” adalah sebuah kata yang sering sekali di gunakan oleh orang Aceh dalam konflik, bahkan dalam hal pilkada semua orang berharap pilkada di Aceh adak jeut bék karu – karu (kalau boleh tidak ribut – ribut), namun pertanyaannya siapakah yang bisa menggarantikan bahwa pilkada Aceh akan berlangsung damai karena sejak awalnya sudah ribut (karu), alangkah baiknya jika di selesaikan dulu keributan sehingga keadaan kembali bersahabat, tenang, aman dan damai, sejuk dan berwibawa, sehingga dalam pelaksanaan pesta demokrasi pilih memilih di Aceh bisa berlangsung dalam keadaan teukheem – kheem (tersenyum – senyum) pada hari penetuan untuk menjagokan pilihan nya masing – masing.
Sebagai orang Aceh, cuco endatu dari nanggroe Panglema Polem kami punya harapan agar orang Aceh bisa bersilaturrahmi sema Aceh dalam segala hal, membangun Aceh bersama – sama, tidak saling menyalahkan, bahkan Aceh sudah saatnya perlu memberi contoeh kepada daerah – daerah lain yang sedang berkonflik agar berdamai, karena Aceh bisa bangkit menjadi sebuah negri yang gemilang dan maju begitu damai bersemi, akhir kata marilah marilah kita sama – sama merawat konflik pilkada Aceh dengan mengakhiri perpecahan, dan kembali pada persatuan.
Oleh, Tarmizi Age