Pemerintah Aceh dan BRA Perlu Tuntaskan Hak Korban Konflik

Silaturrahmi masyarakat Aceh Denmark dalam rangka Hari raya Aidil Adha 1431 H dan ulang tahun WAA yang ke III bertempat di Fjerritslev Skole, Borups Allé 8, 9690 Fjerritslev – Denmark [Foto/Bahgia Busu/WAA].

WAASelasa 30/11/2010, Pernyataan Sikap:

Pemerintah Aceh dan BRA Perlu Tuntaskan Hak Korban Konflik

Perdamaian Aceh merupakan ikhtiar yang di akhiri dari sebuah kondisi peperangan dan kondisi konflik yang panjang. Berbagai kesepakatan di susun di meja perundingan di Helsinki 25 Agustus 2005, atau  5 tahun lebih yang lalu. Dalam silsilah keturunan akte perjanjian damai tidak terkecuali dari di sebutkan hak-hak korban konflik termasuk pembebasan Tapol/Napol dan hal-hal lainnya.

Menurut  senarai perjanjian damai yang di publis ke umum melalui berbagai media termasuk di website ASNLF ” http://www.asnlf.com/topmy.htm ” dengan jelas di sebutkan hal-hal yang menyangkut  dengan hak-hak korban. Di tulis dalam Poin  3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat, misalnya  artikel 3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.

Nah, berdasarkan catatan yang di sebutkan di atas maka para korban sangat berhak untuk mendapatkan hak nya dan pemerintah Aceh punya kewajiban yang besar untuk memenuhi tuntutan tersebut, dan menjadi sangat memalukan jika rakyat Aceh harus merayu-rayu ke kantor BRA untuk mendapatkan haknya seperti orang minta-minta (lagé ureung meugadé). Lebih tidak etis jika pemerintah termasuk BRA mendapat gaji dalam mengolola anggararan korban konflik serta diat (péng manjét) sementara korbannya hanya bisa meronta-ronta kesedihan yang papa kedana tanpa di ketahui kapankah haknya akan di kabulkan.

Tragedi korban konflik mengamuk di BRA yang di lansir serambinews 30 November 2010 merupakan salah satu bentuk kekecewaan masyarakat korban yang tidak mendapatkan haknya, sekalipun di ketahui semua bahwa tindakan kekerasan menjadi sesuatu yang salah dimata hukum tapi itulah kondisi yang sedang terjadi akibat pemerintah tidak tanggap dalam melaksanakan amana-amanah perjanjian damai.

Saya kira Pemerintah Aceh sudah sepatutnya merubah secara keseluruhan pola dan sistim yang terkesan  menjadikan rakyatnya sebagai hamba (lamiet) layaknya seorang buruh paksa di bawah sistim dictator,  kepada ruang lingkup manyarakat yang bertamadun dengan hidup mulia, makmur, adil dan sejahtera, termasuk menuntaskan hak-hak korban konflik dengan jujur, amanah dan merata, sehingga perdamaian ini benar-benar di nikmati oleh semua golongan dari yang punya ekses ke kantor pemerintah hingga masyarakat kampong yang menghabiskan masa-masa hidupnya di ladang.

Selasa 30 November 2010
Fjeritslev Denmark

Tarmizi Age
Koordinator WAA di Denmark
Previous Post Next Post