Pemerintah Menghindar dari Tanggung Jawab

Hendra Fadli Kordinator Kontras Aceh [Foto/acehinstitute.org].

WAAMinggu 14/02/2010, Catatan Kondisi HAM Aceh Tahun 2009 Pemerintah Menghindar dari Tanggung Jawab

ACEH - Pemerintah kembali menunjukkan tidak pentingnya agenda penyelesaian pelanggaran masa lalu di Aceh.

Janji Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) untuk menyerahkan draf RUU KKR ke DPR RI pada Juli 2009 tidak ditepati hingga akhir tahun.

Tak ayal, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 tidak memasukkan RUU KKR sebagai regulasi yang akan dibahas. Jelas sudah, Pemerintah selama ini tidak menganggap serius tuntutan korban, bahkan terkesan menghindar dari tanggung jawab. Dalam konteks Aceh perdebatan panjang yang terjadi tetap saja tidak bisa memuluskan pembentukan Qanun KKR Aceh karena Pemerintah Aceh tetap bersikukuh bahwa regulasi mensyaratkan adanya KKR nasional terlebih dahulu sebelum Qanun KKR disahkan.

Terlepas dari berbagai argumentasi yang dibangun oleh Pemerintah Aceh, belum terbentuknya KKR di Aceh merupakan indikator utama bahwa Pemerintah belum memiliki kemauan politik yang kuat untuk menghadirkan KKR di Aceh, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Aceh.

Dalam hal penegakan Syariat Islam, meski memunculkan banyak polemik tidak dapat dipungkiri bahwa pengesahan “Qanun Jinayah” oleh DPRA periode lalu telah mengenyampingkan konstitusi dan sejumlah instrumen HAM nasional dan internasional yang beberapa diantaranya telah diratifikasi Indonesia. Salah satunya adalah hukuman cambuk dan hukuman rajam yang merupakan bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, tidak mendidik dan menimbulkan efek secara psikis dan psikologis. Sejak dibahas, “Qanun Jinayah” memang tidak diawali dengan kajian yang panjang, mendalam dan ahistoris sehingga banyak terdapat pasal-pasal yang multitafsir yang bisa berdampak pada ketidakpastian hukum dalam penerapan nantinya.

Semangat menghukum lebih dikedepankan sementara kesiapan masyarakat dalam penerapan sanksi hukum  pasca konflik dan  tsunami tidak dipertimbangkan. Belum lagi bicara sistem dan piranti pendukung yang tidak tertata dengan baik yang berpengaruh besar pada tingkat kesadaran dan pendidikan masyarakat dalam melaksanakan Syariat Islam. Harusnya DPRA mempertimbangkan secara serius penyusunan Qanun ini dengan mengkonsultasikan prosesnya dengan pihak-pihak yang berkompeten di Aceh dan nasional. Sehingga nantinya Qanun ini menjadi aturan hukum yang bersinergi dengan instrumen HAM nasional tanpa mereduksi subtansi nilai-nilai Syariat yang ingin ditegakkan.

Pembelajaran penting dapat ditarik dari pelaksanaan Pemilu 2009. Meskipun secara umum pemilu berjalan secara baik, namun masih ditemukan sejumlah pelanggaran Pemilu di berbagai tempat. Selain itu, KontraS Aceh juga mengidentifikasi tindakan penyimpangan kewenangan  TNI dalam pengamanan Pemilu dengan membuka pos-pos militer serta penanganan terhadap pelanggaran Pemilu oleh TNI. Tidak efektifnya peran Panwaslu dan Kepolisian dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran pemilu merupakan catatan penting yang mesti dibenahi ke depan, baik ditingkat regulasi maupun perangkat pendukung operasional lainnya.

Selain itu, profesionalitas peran kepolisian dalam penegakan hukum dan keamanan di Aceh masih terus diuji di tengah masih berlangsungnya tindak kekerasan oleh aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tahun 2009 KontraS Aceh mengidentifitasi sekurangnya- kurangnya terjadi sebanyak 12 kasus pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang dilakukan oleh jajaran kepolisian di Aceh.

Diantaranya sebanyak 7 kasus dugaan tindakan extra judicial killing (pembunuhan diluar proses hukum) dan 5 kasus dugaan tindakan penganiayaan/ penyiksaan. Dari 9 kasus tersebut hanya tiga kasus yang pelakunya diproses secara hukum (kasus meninggalnya Susanto, Krueng Raya Aceh Besar dan kasus penganiayaan terhadap Irham Mahmud, guru bantu SD Lampeneurut Aceh Besar, dan kasus penembakan anggota TNI di Cot Lamkeuweuh, Banda Aceh).

Efektifitas peran  kepolisian sebagai leading actor dalam penegakan hukum juga mendapatkan ujian dengan terjadinya beberapa aksi teror terhadap warga asing di Aceh oleh pihak yang dianggap terlatih, berpengalaman dan profesional. Dalam kasus ini kepolisian terlihat kesulitan dalam mengungkap dan memproses secara hukum jejaring pelaku teror meskipun pihak kepolisian mengakui telah mengantongi sejumlah nama. Di sisi lain pihak TNI mulai mewacanakan pelibatan mereka dalam Kamtibmas di Aceh.

Sayangnya kondisi ini tidak segera direspon oleh Pemerintah Aceh dan otoritas politik lainnya di Aceh untuk mengkoordinasikan perkembangan situasi keamanan dengan aktor-aktor keamanan yang ada.

Tata kelola keamaman dalam sistem negara demokratis yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan anti kekerasan merupakan agenda besar post konflik yang mestinya mendapatkan sokongan dari seluruh entitas sipil dan politik di Aceh untuk dibenahi sekaligus diawasi. Namun sejak 4 tahun lebih perdamaian terwujud agenda ini kurang diperhatikan oleh otoritas pemerintah dan otoritas politik di Aceh. Sehingga kiprah dan peran aktor keamanan terkesan tidak terkoodinasi dengan baik dan cenderung menyimpang dari tupoksi yang diatur dalam regulasi yang ada.

Pada tahun 2010 diharapkan Pemerintah Aceh sudah membahas dan mengesahkan Qanun KKR dan bersama-sama dengan DPRA mengeluarkan desakan agar Pemerintah Pusat tidak mengulur-ulur waktu membahas dan mengesahkan RUU KKR.

Sinergisitas hukum lokal dengan instrumen HAM nasional dan internasional merupakan hal yang mutlak termasuk penyelarasan terhadap produk-produk Qanun Syariat. Dan sebagai wujud dari supremasi sipil, pemerintah Aceh harus mengkoordinasikan peran dan fungsi para aktor keamanan sesuai dengan tupoksi masing-masing sehingga terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh yang semakin baik.  

Banda Aceh, 6 Januari 2010
Badan Pekerja KontraS Aceh

Hendra Fadli
Kordinator 
+6281360747000

Asiah Uzia
Wakil Koordinator Bidang Kajian dan Kampanye
+628126988959

Fery Kusuma
Wakil Koordinator Bidang Investigasi dan Advokasi
+6281360868634

Perdamaian Berkeadilan untuk Aceh!

KontraS Aceh
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
The Aceh Commission for Disappearances and Victims of Violence
Jl. Mujur No. 98 A, Lingkungan Raja Jalil, Gampong Lamlagang
Banda Aceh 23239 Indonesia Telp./Fax. +62-651-40625
Email: kontrasaceh_federasi@yahoo.com Website: www.kontras.org/aceh
Previous Post Next Post