MIE BIENG DAN PETUAH PENGIKUT PADUKA WALI NEUGARA

Tiba-tiba lelaki itu muncul dari keremangan malam. Ia berpeci putih dan terlihat tua. Pada tahun 90-an, negara Republik Indonesia pernah menyebar selebaran tentang beberapa lelaki yang dicari hidup atau mati. Namun kala itu wajahnya belum masuk daftar karena ianyan belum dikenal. akan tetapi beberapa waktu kemudian da telah menjadi buronan yang sangat dicari.

Ketibaan lelaki itu tentu tak mengusik siapapun. Tidak ada yang takut akan menjadi target serdadu, karena pasca penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, ia tidak lagi masuk list orang yang dicari.Ia telah menjadi free man. Pun demikian, dirinya tetap belum menjadi WNI. Ia tetap diaspora Aceh di Eropa, tepatnya di Swedia. Negeri itu merupakan tempat di mana Paduka Yang Mulia Wali Neugara Aceh Merdeka Tengku Hasan Muhammad di Tiro menghabiskan hari-harinya sembari memperkuat diplomasi perjuangan GAM kala itu.

Ketika ia muncul, beberapa orang segera bangkit dan bersalaman. Di belakangnya menyusul pemilik akun facebook Mulia Tuboh, yang merupakan pengurus World Aceh Asociation (WAA) di Denmark, ia juga bagian dari founder ACDK–sebuah LSM di Bireuen yang bergerak di bidang pertanian, lembaga tersebut sudah vakum karena dugaan penggelapan keuangan yang dilakukan oleh salah seorang pembinanya yang berinisial TAG–

Jarum jam sudah menunjukkan angka 23.00 WIB, Jumat (21/10/2016). Ia berdiri di depan beberapa lelaki lainnya yang sedang berbincang tentang berbagai hal yang sedang hot di Bireuen, salah satunya isu gagalnya tes kesehatan kedua kali yang dialami oleh Saifannur, S.Sos, salah satu bacalon Bupati Bireuen.

Namanya Bakhtiar Abdullah, ia merupakan salah satu sosok yang menjadi penyokong utama perjuangan Aceh Merdeka yang digagas Hasan Tiro. Ia walaupun tidak sempat bergerilya di Gunong Halimon, namun mertuanya pernah ikut Wali bersama Husaini Hasan dkk di rimba bersejarah itu. Wali Neugara keluar dari Halimon pada tahun 1979.

Bakhtiar Abdullah adalah sosok anak muda yang diminta oleh Wali Neugara untuk bersekolah di luar negeri. Bahkan ia pernah mengikuti pendikan jurnalistik dan kemudian aktif di bidang propaganda melalui majalah Aceh Merdeka.

Ia tidak berkisah banyak tentang perjuangnnya bersama GAM. Ia lebih banyak bercerita tentang kisah-kisah lucu dan kemudian beralih kepada gagasan tentang membangun Aceh. Satu hal yang menarik dari sosok itu, walau sudah lama menetap di negeri Scandinavia, ia masih fasih berbahasa Aceh.

“Di sana kami sering makan mie Aceh, gule pliek dan kepiting. Kepiting banyak di sana,” ujarnya sambil terkekeh kecil.
***
“Ulon ureueng Aceh dan GAM. Nyan identitas ulon. GAM hana bubar, miseu bubar, kiban cara memorandum of understanding Helsinki tapeujak,” katanya mencoba menjelaskan.

Ia mengatakan, tidak ada yang bisa membubarkan GAM. Karena sebagai institusi perjuangan sebuah bangsa yang pernah berjaya, GAM tetap ada, sepanjang manusia yang berbangsa Aceh ada di muka bumi. “Tidak ada yang memaksa bergabung dengam GAM, untuk itu pula tidak ada yang bisa membubarkannya. GAM adalah alat bagi bangsa ini untuk menuju tujuan finalnya.

Ketika aceHTRend bertanya tentang rekan-rekannya yang sudah beralih status sebagai WNI, Bakhtiar dengan lugas menjawab bahwa perjuangan GAM bertujuan untuk menyejahterakan rakyat Aceh. Dia tetap berharap orientasi para rekannya itu tidak berubah.

“Gunakan jabatan di bawah Republik Indonesia, sebagai alat untuk menyejahterajan rakyat. Tujuan perjuangan GAM, salah satunya adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.Jangan jadikan jabatan sebagai tujuan, karena itu hanya sebatas alat,” ujarnya.

Ia pun berharap talenta-talenta muda Aceh untuk memperkuat jatidiri, termasuk kemampuan daya pikir. Aceh harus dibangun dengan perencanaan yang matang dan berkesinambungan. Anak-anak muda Aceh tidak boleh lemah. Karena peradaban besar sebuah bangsa tidak pernah bisa besar, bila generasi mudanya lemah daya pikir dan lemah secara fisik.
***
Jarum jam sudah menunjukkan angka pada pukul 02.00 dinihari. Hari sudah berganti ke Sabtu. Tujuh bungkus mie bieng sudah habis disantap. Suasana tetap hangat, entah karena kepiting yang dimasak bersama mie Aceh sedang bertelur, atau karena pertemuan langka itu sangat istimewa?.

Pertemuan itu berakhir karena Bakhtiar Abdullah hendak pulang ke Pidie. Ia pamit dengan kalimat pamungkas “mangat that mie bieng nyoe,”. Seorang teman yang menjadi “donatur” kepiting tersenyum puas. Wajahnya bersemu merah. Pujian yang istimewa dari seseorang yang luar biasa.
Lelaki yang dua puluh lima tahun lalu sudah masuk sebagai salah satu “musuh” Republik, kini sudah menghilang dalam gelapnya malam Kota Sate Matang. Ia masih menjadi sosok misteri, di tengah banyak rekannya yang maujud sebagai sosok historis.


ACEHTREND. CO
Previous Post Next Post