Gamba: Bangunan Sekretariat KMA-Mesir Di Salah Satu Apartement Warga Kairo [Foto Zahrul Bawady M. Daud/Waa] |
WAA – Sabtu 06/06/2009, Laporan Zahrul Bawady M. Daud
MESIR – Kedatangan Anggota dewan ke Mesir beberapa waktu lalu menyisakan kekecewaan bagi sebagian masyarakat Aceh di Mesir. Sejak tiba di Kairo pada 31/6/2009, kedatangan mereka sudah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Aceh-Mesir.
Kontroversi ini tidak lepas karena lawatan mereka ke luar negeri masih menuai protes dari berbagai kalangan. Kekecewaan masyarakat Aceh semakin memuncak ketika agenda bertemu mahasiswa yang lazim dilakukan para pejabat yang berkunjung ke Mesir dilangkahi oleh rombangan anggota dewan.
Menurut informasi dari Ketua keluarga mahasiswa Aceh-Mesir (KMA- RAM), Yusri Noval, Lc., Tamu yang datang kali ini tidak ada melakukan komunikasi resmi dengan pihak KMA, sehingga wajar jika tidak ada agenda dialog dengan mahasiswa Aceh di KMA.
Lalu ketika ditanya tentang agenda kunjungan seperti diberitakan serambi 29/5/2009 yang di antaranya dialog dengan mahasiswa Aceh ia menjawab bahwa agenda itu tidak dibicarakan sama sekali dengan mereka (KMA), bahkan mereka juga taunya dari Serambi.
Lebih lanjut, Yusri mengatakan bahwa ia kecewa dengan sikap anggota dewan yang terkesan tidak memperdulikan reaksi masyarkat Aceh atas kunjungan mereka.
Hal ini dibuktikan ketika acara temu ramah anggota dewan dari komisi F yang berkunjung ke negeri seribu menara ini. Dari sekitar 450 Masyarakat Aceh yang ada di Mesir, yang hadir tidak sampai 20 orang.
Menanggapi hal tersebut Yusri mengatakan di antara kurangnya minat masyarakat Aceh untuk hadir adalah sebagai bentuk boikot atas kunjungan anggota dewan. Walaupun ada alasan yang lebih logis yaitu karena kedatangan mereka bertepatan ketika masa ujian, namun hal ini tidaklah sampai sedemikian berpengaruh.
Karena ketika kunjungan Inspektorat bidan pendidikan beserta rombongan pada 24/5/2009 yang juga bertepatan dengan masa ujian, peserta dialog yang dilaksanakan di KMA hadir mencapai target. Jadi, sedikitnya jumlah masyarakat Aceh yang hadir pada acara dialog di KBRI secara sepihak juga merupakan aksi protes terhadap kunjungan mereka.
Sementara itu beberapa masyarakat Aceh mengungkapkan kegelisahannya,” bagaimana mereka akan ridha kedatangan anggota dewan yang berjumlah 8 orang, serta 2 orang sekwan, serta di antaranya ada juga yang membawa isteri.
Mereka itu datang dengan uang rakyat yang memakan anggaran tidak sedikit, sementara beasiswa untuk pelajar di sini (Mesir) semakin lama semakin menipis, mengapa anggaran yang sedemikian besar itu tidak dialokasikan untuk menambah anggaran beasiswa saja.
Ketidak jelasan kunjungan mereka juga menjadi pemicu kurangnya animo masyarkat aceh menanggapi kunjungan tersebut. Biasanya, setiap ada tamu dari Aceh, kita selau respek, tidak seperti kedatangan anggota dewan kali ini.
Riza Fadli, yang juga sekretaris KMA ketikda dihubungi juga mengeluh tentang ketidak jelasan agenda kunjugan mereka. Apakah untuk studi banding seperti marak dibincangkan atau sebatas melancong saja.Namun, menurut beberapa orang yang sempat hadir pada acara dialog di KBRI, kunjungan inti mereka adalah untuk membicarakan kelanjutan pembangunan asrama internasional bagi mahasiswa Aceh yang dicetuskan oleh Dubes KBRI, AM Fachir.
Usulan ini sendiri bermula ketika acara lokakarya beberapa bulan yang lalu yang juga menuai protes dari kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir. Di antara keputusan lokakarya yaitu, pihak rektorat Al-Azhar akan memoderatori pemberian tanah dari pemerintah Mesir kepada pemerintah Indonesia untuk pembangunan asrama.
Sebagai kelanjutannya, Dubes luar biasa dan berpengaruh penuh, AM. Fachir Melakukan kunjungan ke beberapa provinsi yang memiliki jumlah mahasiswa mayoritas sebagai tahap sosialisasi pembangunan asrama ini.
Jadi kunjungan anggota dewan ini lebih kepada kunjungan balasan atas kunjungan bapak dubes ke Aceh beberapa waktu lalu. Walaupun pada kenyataannya, Dubes Mesir sedang tidak berada di tempat ketika kunjungan itu berlangsung.
Menanggapi usulan program pembangunan asrama internasional Indonesia ini, beberapa pengurus dan anggota KMA terlihat cemberut. hal ini tidak lain karena ususlan yang diajukan oleh KMA ke pihak pemerintahan Aceh adalah asrama khusus bagi mahasiswa Aceh, tidak bercampur dengan provinsi lainnya.
Bahkan menurut informasi yang diterima pengurus KMA, usulan pengadaan rumah ini malah mental di tingkat eksekutif. Jadi sungguh disayangkan jika program flat ( asrama) khusus yang diusulkan justeru diganti dengan pengadaan asrama bersama ini.
Sampai kepulangan mereka dari Mesir 2/6/2009 melalui bandara Internasional Kairo menuju Saudi Arabia untuk menunaikan umrah, kedatangan mereka masih menyisakan berbagai tanya di benak masyarakat Aceh Mesir. Mengapa mereka tetap ngotot melakukan perjalanan di akhir masa jabatan, padahal hal yang mereka bicangkan tidak mereka komunikasikan dengan mahasiswa yang sedang berada di Mesir.
Bukankah justeru mahasiswa ini yang nantinya akan menanggung semua resiko? Lagi pula sebesar apa pengaruh mereka untuk memberikan usulan terhadap parlemen baru nantinya, mengapa hal ini tidak langsung dilimpahkan kepada aleg (Anngota Legislatif) terpilih saja.
Penulis Adalah Aktivis World Achehnese Association (WAA) berdomilisi di Mesir