Pengungsi, Negara dan UNHCR

Pengungsi Rohingya

WAA Rabu 03/06/2009, Oleh: KontraS Aceh & PCC

Aceh: Tanggal 14 Mei lalu, Aceh kembali menerima kedatangan warga negara asing asal Sri Lanka yang tiba melalui jalur laut. Jumlah mereka sebanyak 55 orang.

Mereka mengaku meninggalkan Sri Lanka dengan tujuan Australia untuk mencari suaka politik karena daerah mereka sedang dilanda konflik bersenjata. Namun karena boat yang mereka tumpangi mengalami kebocoran, maka terdamparlah mereka di tepi laut kawasan Nagan Raya.

Sebelumnya, pada 7 Januari dan 3 Februari 2009 sebanyak 391 warga etnis Rohingya asal Myanmar terdampar di Sabang dan Aceh Timur.

Tujuan mereka ingin mencari suaka di Malaysia. Mereka sempat terdampar di Thailand, namun ditolak oleh otoritas pemerintahan disana dan ‘dikembalikan’ lagi melalui jalur laut.

Para pengungsi ini sempat terkatung-katung di tengah laut akibat kehabisan bahan bakar. Saat ini, kesemua pengungsi ditampung sementara di Pulau Weh, Sabang dan Idi Rayeuk, Aceh Timur, sedangkan untuk warga dari Sri Lanka ditampung di LP Meulaboh.

Penanganan oleh Pemerintah Daerah 
Selama berada di Aceh kebutuhan mendasar para pengungsi ditangani oleh pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten serta bantuan kemanusiaan dari masyarakat setempat dan bantuan dari UNHCR melalui IOM.

Walikota Sabang, Munawarliza Zain sempat mengeluhkan keberadaan pengungsi di daerahnya akibat tidak mampu terus menerus membantu terutama untuk masalah logistik.

Bahkan pada awal Maret lalu, pengungsi Rohingya yang ditampung di kompleks Pelabuhan Lanal Sabang dilaporkan mengalami krisis pangan sehubungan makin menipisnya stok logistik.

Sebulan sebelumnya, Walikota telah mengajukan permohonan bantuan pangan, sandang, dan kesehatan kepada Menko Kesra untuk 193 pengungsi Rohingya tersebut, namun hingga bulan Maret tidak ada jawaban sehingga bantuan yang diberikan hanya secara kemanusiaan saja.

Pemerintah Aceh sendiri tidak bisa memberi bantuan secara maksimal, karena tidak memiliki dana untuk penanganan pengungsi seperti ini.

Dalam upaya mencari jalan keluar untuk masalah pengungsi Rohingya, pemerintah sudah beberapa kali melakukan pembicaraan dengan pemerintah Myanmar, namun pemerintah Myanmar sampai sekarang belum memberikan kepastian, menolak atau menerima kembali warganya tersebut. Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas, Djakfar Djuned mengatakan dalam pertemuan pada bulan Maret di Jakarta, pemerintah menawarkan tiga opsi kepada pemerintah Myanmar.

Opsi pertama pemerintah berusaha untuk meminta Myanmar menerima kembali warganya, kedua pemerintah akan berusaha mencari negera lain yang akan bersedia menampung 391 warga Rohingya tersebut, namun beberapa negara yang sudah dihubungi juga belum memberi kepastian bersedia menampung mereka, dan opsi ketiga yaitu merelokasi mereka ke sebuah pulau, untuk sementara tempat yang dipilih di sebuah pulau kecil di kawasan Batam.

Departemen Luar Negeri (Deplu) yang mempunyai kewenangan dalam menangani pengungsi telah melakukan verifikasi terhadap pengungsi Rohingya pada bulan April 2009. Namun sejauh ini tidak ada informasi lebih jauh mengenai hasil verifikasi yang dilakukan bersama dengan Tim Join Verification Team yang terdiri dari Deplu, IOM dan UNHCR.

Hasil verifikasi ini akan menentukan nasib pengungsi apakah status mereka sebagai refugee (pengungsi lintas negara) atau imigran (perpindahan dari suatu negara).

Pada akhir Mei 2009, Deplu berencana akan mengembalikan sebanyak 114 dari 391 pengungsi Rohingya ke negara asalnya. Namun Menteri Luar Negeri Myanmar mengatakan mereka bersedia menerima kembali pengungsi Rohingya tetapi hanya bila mereka dikategorikan hanya sebagai warga negara Banglades yang tinggal di Myanmar, bukan sebagai warga negara Myanmar.

Sementara itu, negara yang kedatangan pengungsi mempunya kewajiban untuk memperlakukan para pengungsi dengan baik terutama dalam hal merawat dan memberi perlindungan terhadap pengungsi.

Para pengungsi berhak atas semua hak asasi yang menjadi hak mereka ketika masih tinggal di negaranya. Seperti hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak kebebasan bergerak, hak untuk mendapatkan suaka dan sebagainya.

Hak-hak tersebut terdapat dalam instrumen-instrumen internasional baik yang mengikat secara hukum maupun yang berlaku serta hukum kebiasaan internasional. Oleh sebab itu, apabila pemerintah tidak mampu atau tidak serius mengurusi pengungsi maka sebagai akibatnya akan terjadi permintaan bantuan kepada masyarakat internasional seperti aksi mogok makan yang dilakukan oleh pengungsi Sri Lanka di penjara Meulaboh beberapa hari setelah terdampar di Nagan Raya.

Perlindungan Internasional 
Dalam hal perlindungan internasional terhadap pengungsi, tujuan untuk mendapatkan suaka politik adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Deklarasi Universal HAM 1948 pasal 14 ayat 1 menyebutkan tentang setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negara lain untuk melindungi diri dari pengejaran.

Hak atas kebebasan ini dipertegas lagi dalam Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan bahwa (1) Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan, (2) Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam PBB.

Kedua deklarasi ini mempertegas bahwa pengungsi yang berhak mendapatkan suaka adalah mereka yang mengalami ketakutan dan kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaan/penganiayaan di negaranya, sehingga memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain. Namun, permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya. Apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
?????Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees).

Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (CRSR) pasal 1 A menyatakan istilah pengungsi berlaku bagi setiap orang yang mengalami akibat dari peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan berkaitan dengan ketakutan yang cukup beralasan akan dianiaya karena alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dari kelompok sosial atau pendapat politik tertentu, atau berkaitan dengan ketakutan tersebut, keengganan membantu dirinya dari perlindungan negara tersebut; atau yang tidak memiliki kewarganegaraan dan berada di luar negara bekas tempat tinggal tetapnya sebagai akibat dari peristiwa tersebut atau berkaitan dengan ketakutan tersebut, tidak dapat atau tidak mau kembali ke sana.

CRSR menetapkan sejumlah standar minimum bagi penanganan pengungsi, termasuk hak atas perlindungan dan hak-hak dasar lainnya yang harus diperoleh pengungsi.

Pengungsi berhak atas perlindungan umum atas hak-hak dan kebebasan mereka dengan persamaan sepenuhnya dengan warga negara setempat, CRSR juga memberikan perlindungan tambahan yang memberikan kelonggaran untuk keadaan-keadaan khusus yang dihadapi pengungsi.

Pengungsi yang meninggalkan negaranya agar terhindar dari tindak kekerasan yang lebih jauh mengalami kondisi terlantar dari banyak segi dan akan sangat memerlukan sejumlah kebutuhan untuk keberlangsungan hidup.

Indonesia sendiri belum meratifikasi CRSR dan protokol PBB tahun 1967, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan pijakan bagi Indonesia untuk tidak memberi perhatian atau mengembalikan pengungsi ke negara asalnya. Hal tersebut karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Penyiksaan (Convention of Torture) pada tahun 1998 yang juga pada pasal 3 menyebutkan negara peserta dari Konvensi ini dilarang untuk mengusir atau mengembalikan, ataupun mengekstradisikan (non refoulement) ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada dalam ancaman penyiksaan/ kekerasan. Dari Konvensi ini menunjukkan tersedianya cukup alasan untuk mencari suaka, oleh sebab itu perlindungan terhadap pencari suaka di Indonesia memiliki kekuatan dari sisi hukum nasional dan hukum pengungsi internasional.

?????UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugee/Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi)
UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees/Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) adalah sebuah organisasi PBB yang mempunyai tanggung jawab dalam penanganan pengungsi. Kantor UNHCR dibentuk melalui resolusi nomor 318 A (IV) Majelis Umum PBB tanggal 3 Desember 1949 yang didalamnya menyerukan kepada para pemerintah untuk bekerjasama dengan komisioner tinggi dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya berkaitan dengan pengungsi yang berada dalam kewenangan kantor UNHCR.

Dalam pasal 1 statuta UNHCR disebutkan tugas utama komisioner tinggi adalah memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dan membantu menyelesaikan permasalahan yang efektif bagi pengungsi dengan cara membantu pemerintahan untuk mempermudah pengembalian pengungsi secara sukarela, atau pembauran mereka ke dalam masyarakat baru.

UNHCR menjalankan mandatnya sesuai dengan CRSR, namun karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi tersebut maka dalam melakukan kerja-kerjanya UNHCR harus mendapatkan izin terlebih dahulu atau diminta oleh negara.

Hal inilah yang memperlambat proses verifikasi yang seharusnya bisa dilakukan lebih cepat.

Nasib 205 Sisa Rohingya 
Dari hasil verifikasi Join Verification Team ditemukan sebanyak 114 etnis Rohingya berstatus warga negara Bangladesh, sedangkan 205 sisanya ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR.

Dalam proses penanganan 205 pengungsi sisa, kemungkinan pemerintah akan menggunakan tiga opsi yang telah disebutkan di atas, yaitu mengembalikan ke negara asal, mencari negara lain atau merelokasi ke pulau kecil di kawasan Batam.

Opsi mengembalikan pengungsi kembali ke negara asalnya merupakan hal yang tidak mungkin. Karena pemerintahan Junta militer tidak mengakui mereka sebagai warga negara Myanmar.

Bila ini terjadi maka dikhawatirkan pengungsi Rohingya akan mengalami penderitaan yang panjang, apalagi alasan mereka meninggalkan Myanmar untuk menghindar dari tindak kekerasan.

Demikian juga halnya dengan opsi merelokasi para pengungsi ke sebuah pulau kecil di Batam. Hal yang sama juga dibicarakan dalam pertemuan CoSPA (Commission on Sustaining Peace in Aceh) meeting XVI tanggal 20 Mei 2009 yang menyebutkan pembauran antara imigran gelap (pengungsi Rohingya dan Sri Lanka) dengan masyarakat setempat di Aceh perlu dibatasi, demi mencegah timbulnya ekses hukum di kemudian hari. Oleh karenanya, CoSPA berpendapat para imigran gelap tersebut harus diisolasi di dalam kamp dan tak boleh sebebasnya berinteraksi dengan komunitas lokal.

Sikap CoSPA yang menyebut para pengungsi khususnya etnis Rohingya sebagai imigran gelap memperlihatkan bahwa peserta CoSPA meeting tidak membangun komunikasi sebelumnya dengan pihak-pihak yang menangani pengungsi di Aceh. Karena UNHCR sendiri telah menetapkan sisa etnis Rohingya dengan status pengungsi.

Sikap CoSPA juga bertolak berlakang dengan statuta UNHCR yang mengemban tugas memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi dengan cara pembauran mereka ke dalam masyarakat baru.

Peran semua pihak dalam penanganan pengungsi sangat diperlukan dan ini telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pengungsian dengan memberikan bantuan secara kemanusiaan.

Saatnya bagi pemerintah untuk lebih pro aktif dalam membangun komunikasi dengan semua pihak yang menangani pengungsi. Karenanya kerjasama Deplu untuk memberikan informasi lebih jauh tentang pengungsi termasuk hasil verifikasi status mereka sangat dibutuhkan.

Kedatangan pengungsi antar negara di Indonesia, tidak hanya terjadi di Aceh tetapi juga di propinsi lainnya di Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia sudah seharusnya meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 agar bisa memberikan perlindungan maksimal bagi pengungsi dan bisa membuka kerjasama yang lebih luas dengan lembaga internasional terutama UNHCR.

Analisis oleh Tim Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS Aceh) dan People Crisis Centre, Asiah Uzia dan Iskandar.

Dimuat di Harian Aceh terbit 2 Juni 2009.

Perdamaian Berkeadilan untuk Aceh!

KontraS Aceh
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
The Aceh Commission for Disappearances and Victims of Violence
Jl. Mujur No. 98 A, Lingkungan Raja Jalil, Gampong Lamlagang
Banda Aceh 23239 Indonesia Telp./Fax. +62-651-40625
Email: kontrasaceh_federasi@yahoo.com Website: www.kontras.org/aceh
Previous Post Next Post