![]() |
Konferensi WAA II |
WAA – Senin 16/08/2010, Dari Konferensi WAA II
Warga Aceh di Denmark Bentuk Dua CSO
WAA Headquarters – Konferensi World Achehnese Association (WAA) II di Aalborgh, Denmark yang berakhir Minggu (25/7) ternyata menyisakan tuntutan yang seharusnya menjadi perhatian serius dari Pemerintah Aceh. Bahkan, masyarakat Aceh yang sudah lama berdomisili di Denmark juga terus berpartisipasi dalam membangun Aceh yang maju dan lebih baik. Hal itu dibuktikan dengan terlbatnya warga Aceh di negeri Skandinavia itu dalam membentuk dan menggalang dukungan bagi dua organisasi sosial di Aceh.
Kedua organisasi atau CSO itu adalah, ACDenmark—yang bergerak dalam ekonomi pemberdayaan masyarakat dan Aceh Wetland Foundation (AWF) Perwakilan Eropa yang bergerak dalam dalam bidang konservasi dan advokasi kasus kejahatan lingkungan hidup di Aceh.
Pada hari ketiga konferensi berlangsung, Tarmizi abdul Ghani yang mewakili kedua organisasi tersebut mengatakan, warga Aceh di Denmark yang sudah membentuk dua organisasi di Aceh ikut menyumbang ide kretaif, sekaligus pesan dan tuntutan untuk prmbangunan ekonomi rakyat dan penguatan otoritas adat dalam pengelolaan hutan di Aceh.
Tarmizi alias Mukarram yang bertindak sebagai delegasi kedua organisasi itu mengatakan, ACDenamrk (ACDK) adalah sebuah lembaga di Aceh yang sedang aktif dalam program membangun ekonomi masyarakat Aceh dengan sisitim mawah (bagi hasil). ACDK adalah lembaga yang dibina langsung oleh masyarakat Aceh yang saat ini tinggal di Denmark dan mulai dijalankan di awal 2010.
”Pada sesi penyusunan rekomendasi, ternyata konsep mawah yang digunakan ACDK menjadi salah satu pembahasan penting dan disetujui diletakkan di urutan pertama pada Komisi-II yang membahas ekonomi dan pembangunan,” kata Mukarram.
Kejahatan lingkungan
Sementara itu, kata Mukarram, AWF adalah organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang konservasi dan advokasi kasus kejahatan lingkungan hidup, dan berkantor pusat di Kota Langsa. Organisasi ini dideklarasikan pada 1 Februari 2010, yang bertepatan dengan Hari Lahan Basah (Wetland) se-Dunia.
Dikatakan, sejak berdirinya, organisasi ini terus berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat pribumi yang tinggal di kepulauan. Kasus pertama yang diadvokasi adalah isu penyelamatan Kepulauan Pusong. Hingga kini, AWF telah memiliki dua mitra strategis yakni Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan Koalisi Advokasi Laut Aceh (KuALA), dalam mengkampanyekan isu penyelamatan Pusong.
”Pada 4 Juli 2010, AWF juga telah mendirikan perwakilan di Eropa, yang berpusat Aalborgh, Denmark. AWF Perwakilan Eropa juga tengah bekerja menggalang dana dan dukungan dari pihak internasional untuk keberhasilan advokasi kasus kejahatan lingkungan di Kepulauan Pusong,” tambah Mukarram.
Dikatakan, isu Pusong yang terkait dengan isu kejahatan lingkungan hidup adalah, kampanye penolakan jalur pengerukan dan penolakan penjualan pasir hasil kerukan alur sungai Pelabuhan Kuala Langsa. Meski pada prinsipnya, kata dia, AWF bersama mitra strategisnya dalam kasus Pusong tetap menyetujui pembangunan untuk pengembangan Pelabuhan Kuala Langsa untuk mensejahterakan ekonomi rakyat. Namun, AWF dan mitra strategisnya hanya mendukung pembangunan yang bersih dan ramah lingkungan.
Dalam konferensi WAA II juga ikut dibahas tuntutan AWF dalam mengkampanyekan kasus-kasus kejahatan lingkungan hidup, memperjuangkan hak-hak pribumi, dan mengedepankan sebuah pembangunan yang bersih di Aceh.
Mukarran juga memaparkan sejumlah butir tuntutan AWF yang meliputi, hutan Aceh adalah milik rakyat Aceh yang harus dikelola bersama masyarakat internasional, sehingga tidak ada alasan apapun, termasuk kredit atau penjualan karbon kepada pihak manapun untuk mengalihkan hak dan otoritas pengelolaan serta kepemilikan hutan Aceh. Untuk itu, sistem dan hak serta otoritas pengelolaan hutan dan lahan adalah sepenuhnya milik rakyat Aceh yang diwakili unsur adat mulai dari Pawang Laot, Pawang Uteun, Keujeruen Gle, Keujeruen Blang, Ketua Seuneubok, Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, dan Geuchik Gampong.
AWF juga meminta pemerintah untuk memberikan hak dan memudahkan izin untuk pemanfaatan hutan bagi penduduk di sekitar hutan sebagai wujud pemberdayaan masyarakat di daerah pinggiran hutan.
Kemudian, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan status lahan hutan yang tumpang tindih antara hutan dan kawasan lindung dengan hutan produksi, dan hutan produksi terbatas. Meminta pemerintah untuk memperketat pemberian HGU kepada perusahaan perkebunan, dan mendesak pemberian Ex HGU telantar untuk dikelola oleh rakyat pedesaan. Selanjutnya, pemerintah didesak segera memanfaatkan hutan produksi untuk rakyat pedesaan dan mencari galangan donasi dari berbagai pihak di dalam dan di luar negeri.
Kemudian, meminta Pemerintah untuk melibatkan masyarakat di sekitar dalam setiap rencana pembangunan di masa depan. Selanjutnya, mendesak pemerintah untuk mengaktifkan kembali gungsi dan kewenangan otoritas adat, mulai dari tingkat yang paling bawah. Dan terakhir adalah,meminta pemerintah untuk segera mencabut dan membatalkan rencana penjualan pasir hasil kerukan alur sungai Kuala Langsa ke Singapura, dan menerima aspirasi warga Pusong untuk menentukan jalur kerukan untuk alur pelayaran.
”Kami berharap tuntutan ini mendapat perhatian dari semua stakeholder yang terlibat dalam pembangunan yang bersih dan ramah lingkungan di Aceh,” demikian Mukarram. (***)
Demikian,
Fjerritslev Denmark
Rabu 28 Juli 2010
Team World Achehnese Association (WAA)
Ban sigom donja keu Aceh!