Pemikiran Wakil Gubernur Aceh Disampaikan Di Konferensi WAA Yang ke II


WAASenin 16/08/2010, Pemikiran Wakil Gubernur Aceh Disampaikan Di Konferensi WAA Yang ke II

Assalamualaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh,

Yang saya hormati, Seluruh peserta konferensi WAA dan panitia pelaksana di Aalborg,  Denmark,

Permohonan maaf sebesar-besarnya atas ketidak hadiran saya, bukan maksud tidak memenuhi undangan panitia, tetapi pada saat yang sama terlalu banyak kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang harus saya laksanakan.

Secara umum, ada dua beban besar yang saat ini masih harus ditangani oleh pemerintah Aceh dan rakyatnya, siapapun pemimpinnya saat ini dan ke depan. Yaitu beban karena konflik yang berkepanjangan serta gempa-tsunami yang tidak diketahui/diduga sebelumnya, hal mana kedua beban itu meninggalkan berbagai persoalan yang rumit. Lebih rumit lagi, di dalam persoalan yang rumit itupun, manakala sedang diselesaikan– masih ditimpa lagi dengan berbagai pandangan dan langkah yang lebih rumit dan sering destruktif yang dilakukan berbagai stakeholder (individual maupun institusional).

Mungkin penyelesaian dalam bentuk pembangunan fisik seperti infrastruktur, perumahan dan lain-lain tidak terlalu bermasalah karena bisa dilakukan siapa saja asalkan ada uang, konsultan, kontraktor, tukang, bahan material, buruh dan segala kebutuhan lainnya. Tetapi penyelesaian fisik itu segera bermasalah dan terhambat manakala di dalam dan sekelilingnya dipenuhi dengan kultur konflik serta kelemahan sosial orang Aceh (yang sudah menjadi kultur berabad-abad dan muncul karena berbagai factor, termasuk karena konflik berkepanjangan yang selalu melahirkan kekurangan baru di dalam masyarakat).

Kultur konflik dan kelemahan ini, yang kemudian menjelma menjadi social obstacles (hambatan sosial/ non teknis) dalam pembangunan dan penyelesaian Aceh masih sangat signifikan serta dengan mudah kapan saja dapat ditemukan, baik di Aceh maupun dalam komunitas Aceh di luar Aceh. Diantaranya adalah kecurigaan yang tinggi, susah berterima kasih, kebebasan tanpa kontrol dan sesuka hati, kue’h (brok akai dan prilaku) di dunia dan mungkin dapat dianekdotkan “brok akai sampai akhirat”, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan, suka menyimpang, hanjeuet na manok agam dua boh, lagee buya tambue (ek kap han ek hue), singet han tapi meleungkop/ ro jeuet beu habeh, karu sabe keudroe-droe meunyo hana musoh luwa, hana meuakui bangai dan leumoh droe (bak mata ureueng Aceh secara umum bahwa nyang kon Aceh mandum bangai dan leumoh walaupun gop presiden/wapres, menteri dan pejabat nasional), seu-euem ek manok dan ngeut ujong (meunyo teungoh beungeh hansep ngen tak tapi tek-tek walaupun ngen syedara droe atawa ngen gop, meutapi akhejih meugot ngen bu lukat atawa ngen saboh kameng (meumakna padum yum nyawong ureueng, padum yum bu lukat dan yum kameng, bak awai sabe sang-sang ka ideologis dan kayem konservatif meutapi akhe buet menyerah seureuta taklok walaupun kalheueh meusumpah seurapah ngen Qur’an), susah mengakui kehebatan orang lain, nekat tanpa kalkulasi sehingga berujung pada Lheueh peugala lampoh jeurat baro geumeupakat, suka mempolitisasi dan membohongi masyarakat dengan propaganda murahan (meupeulitek sabe keudroe-droe dan pengeut rakan/rakyat) padahal aksi nyata yang diharapkan seperti diprogandakan itu tidak ada sama sekali, meunyo tayue jep ie pakek glah atawa glok han ditem meutapi meunyo dipasoe ie rot leubo le gop jeuet (sabe disak lam sitoken), seumayang wajeb uroe jumat-sumayang sunnat uroe raya, meudoa watee saket-meuratep watee geumpa, dan puluhan kultur jelek serta kelemahan lainnya yang tidak cukup waktu apabila saya sebutkan dan jelaskan satu persatu.

Substansinya adalah semua kultur konflik dan kelemahan prilaku sosial itu menjadi penghambat pembangunan serta kemajuan Aceh dalam bidang apapun, bahkan cenderung destruktif terhadap apa yang telah ada dan sedang dibangun. Karena itu pembangunan di Aceh harus diseimbangkan antara fisik dan non fisik, malah pada saat yang sama harus dilakukan langkah yang lebih significant untuk menciptakan masyarakat pro pembangunan. 

Dengan demikian kedua beban yang tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia itu pasti tidak dapat diselesaikan atau ditangani secara tuntas dalam jangka pendek. Sebab di dalam beban itu ada banyak beban lain dengan segala kerumitannya yang harus ditangani secara lebih khusus.

Membangun Aceh memang tidak bisa dilakukan sepenuhnya seperti tertuang dalam buku dan teori atau rencana pembangunan teoritis yang sudah disusun– selama masyarakat pro pembangunan dalam arti luas belum lahir. Apalagi kultur mengambil penumpang di jalan masih kental dan menganggu para penumpang yang telah ditiketkan dari awal (artinya sebahagian terjadi di luar perencanaan karena adanya tekanan yang tidak sehat). Karena itu pula strategi penguatan sumberdaya manusia (pendidikan dan kesehatan), kebudayaan dan peradaban, perekonomian serta agama (nilai-nilai Islam dalam makna dan praktek yang benar) harus ditempatkan sebagai prioritas pembangunan yang dominan.

Sedangkan pembangunan infrastruktur menjadi penyangga utama untuk mensukseskan seluruh prioritas pembangunan itu dan harus diciptakan suatu kultur pembangunan membangun sesuai kebutuhan jangka panjang, walaupun ada hal-hal penting yang memang mesti ditangani dalam jangka pendek dan menengah tetapi tidak boleh lagi project oriented dan berbasis sekedar selera politik pribadi dan kelompok khusus. Termasuk kebutuhan Aceh terhadap pengurangan dan penanggulangan resiko bencana harus dapat diwujudkan dengan baik, karena Aceh termasuk salah satu negeri yang paling rawan bencana alam di dunia.

Selain itu perlu juga kita robah prilaku sosial Aceh yang telah berobah jauh dari keasliannya Aceh, dan ini tumbuh sejak gempa-tsunami yang menghancurkan infrastruktur dan ekonomi. Yaitu kultur suka meminta-minta bantuan instan non produktif dan memalaskan. Mengembalikan Aceh yang berkultur pemberi/penyumbang kebaikan kepada orang lain menjadi sangat penting karena akan memicu produktifitas masyarakat dalam bidang perekonomian yang berakhir dengan peningkatan kualitas hidup dan martabat.

Dari gambaran singkat di atas (yang memang menjadi realitas Aceh hingga saat ini), perbaikan Aceh secara menyeluruh dan fundamental harus dimulai dan didominankan dengan pembangunan manusianya, termasuk menghilangkan berbagai kelemahan dan kultur konflik sebagai strategi awal. Sebab, Aceh akan maju apabila nilai kepribadian seluruh rakyatnya (atau paling tidak dalam jumlah super mayoritas dari penduduknya) siap untuk maju dan memajukan dengan visi yang sama, meskipun ada strategi yang berbeda yang dilakukan komponen yang berbeda-beda, dengan catatan strategi-strategi perobahan itu tidaklah destruktif terhadap rencana dan visi yang sudah baik.

Demikian beberapa pemikiran singkat kami sampaikan, semoga ada manfaatnya.
Selamat bermusyawarah, kami menunggu konsep dan pemikiran perbaikan Aceh dari pertemuan seluruh peserta WAA di Denmark.

Wassalamualaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh,
Salam perdamaian dan pembangunan.

Banda Aceh, 23 Juli 2010.
Muhammad Nazar
Wakil Gubernur Aceh


Previous Post Next Post