Kuliah Jarak Jauh, Momok Atau Alternatif?

Aiyub Ilyas adalah mahasiswa master kesehatan jiwa, pada HUC University di Norwegia [Foto/Dok/Waa/]

WAA Minggu 14/02/2010 Kuliah Jarak Jauh, Momok Atau Alterna, Oleh:  Aiyub Ilyas

Carut marut dunia pendidikan negeri ini telah berimbas kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tidak hanya pendidikan biaya tinggi, tapi kebijakan pendidikan sering dijadikan komuditi politik atau ekonomi. Moralitas tidak lagi menjadi inspirasi, yang tinggal hanya kepentingan segelintir orang atau kelompok untuk merawup materi.

Bukan rahasisa lagi, di negeri para koruptor ini pendidikan pun sering dijadikan komuditas mencari kekayaan. Sekolah tinggi misalnya, kini muncul ibarat jamur di musim hujan. Kualitas tidak lagi menjadi perhatian, fasilitas dan sumber daya pengajar tidak jadi ukuran, yang penting mahasiswa bisa membayar dan pengelola bisa dapat uang.

Kegemaran kita mendirikan pendidikan tinggi, kini menjadi momok yang mencabik-cabik nurani. Ibarat lingkaran setan, sementara DIKTI melarang adanya kelas jauh, di lapangan terus bermunculan dengan berbagai dalih dan alasan. Kebijakan kadang bertolak belakang dengan kenyataan, sehingga muncul pertanyaan mau dibawa kemana pendidikan negeri ini.

Di negara-negara maju seperti eropa, kelas jauh malah menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Mereka melarang mendirikan pendidikan tinggi tampa kualitas dan minim fasilitas, sehingga kelas jauh menjadi alternatif.

Cara mereka mengelola kelas jauh tentu dapat dilihat sebagai strategi pengembangan pendidikan tinggi di negeri kita ke depan. Penggunaan tekhnologi komunikasi seperti internet menjadi penting dan mutlak dibutuhkan. Seperti di Hedmark University College tempat penulis menempuh pendidikan sekarang, pengajaran jarak jauh dengan menggunakan metode teleconfrance yang menghubungkan mahasiswa dari beberapa tempat yang berbeda jelas menjadi solusi dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan.

Hal ini mungkin menjadi alternatif yang perlu dipikirkan oleh para pemilik sekolah tinggi di Aceh saat ini. Biayanya jelas murah bila dibandingkan dengan merekrut dan membayar gaji tenaga pengajar dalam jumlah bayak dan yang lebih penting adalah kualitas mutu lulusan.

Kalau kita menginginkan otoritas pengelolaan sekolah tinggi tetap berada di tangan pengelola, maka si pengelola dapat melakukan kerja sama dengan sekolah tinggi yang sudah terstandarisasi khusus dalam hal kegiatan belajar mengajar. Dengan sistem seperti ini pengelola hanya berfikir menyediakan tenaga pembimbing saja, untuk dapat memonitor secara langsung perkembangan ketrampilan dan keilmuan mahasiswa.

Sehingga angaran pendidikan yang dimiliki pengelola bisa diarahkan untuk pengembangan laboratorium dan perpustakaan. Dibanyak negara maju, perpustakaan online pun telah banyak tersedia dengan kualitas internasional. Hal ini akan lebih hemat bila pemerintahan Aceh bisa mengelola sebuah pustaka online yang bisa dimanfaatkan oleh semua pendidikan tinggi di Aceh.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan biaya murah adalah menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan berkelas dunia melalui sistem pengajaran teleconfrance. Ini tentu lebih murah bila dibandingkan mengirim mereka belajar ke luar negeri. Sedangkan untuk menambah pengalaman lapangan, bisa dilakukan dengan program shortcourse tiga atau lima bulan di negara bersangkutan.

Kebijakan gubernur Aceh untuk menciptakan generasi Aceh yang berkualitas perlu didukung. Kita jangan selalu melihat kekurangan, tapi juga memberi dukungan atas susuatu yang membanggakan. Namun Irwandi juga harus lebih jeli memilih dan memberi otoritas kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan trobosan penting yang bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia Aceh dan tentunya dengan biaya yang seefesien mungkin.

Sudah tiba saatnya Aceh bangkit dari keterpurukan. Kita jangan lagi membanggakan hasil alam yang melimpah ruah. Kita harus mulai berfikir kualitas sumber daya manusia yang mampu memberi manfaat bagi masyarakat. Karena dimasa lalu pun kerajaan Aceh tidak hidup dari minyak, gas bumi atau hasil tambang lainya. Mereka hidup dari kemampuan pertanian dan pedangangan, tapi hasilnya sampai saat ini masih kita banggakan.

Mari mengayunkan langkah untuk satu tujuan, berjalan seiring dalam persatuan dan kemakmuran rakyat menjadi tujuan. Sudah tiba saatnya perbedaan dan perselisihan diminimalkan, jeritan rakyat harus didengar, berbagai bentuk provokasi harus dihilangkan karena rakyat ingin hidup tenang. Kami rakyat tidak ingin melihat saudara-saudara bertengkar untuk sebuah kepentingan politik atau ekonomi kelompok, tapi kami ingin saudara berfikir bagaimana kami bisa hidup di alam demokrasi yang menyejukkan dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Aceh. Akhirnya penulis ingin mengucapkan ”Selamat berfikir dan bejuang untuk Aceh yang lebih bermartabat”.

Aiyub Ilyas adalah aktivis World Achehnese Association, Mahasiwa Master Kesehatan Jiwa HUC of Norwegia
Previous Post Next Post