WAA - Sabtu 22/02/2011, Petani Aceh dan Petani Denmark
Kehidupan masyarakat di bumi ini secara garis besar bergerak dari satu fase kepada fase lainnya untuk membangun kehidupan yang sejahtera, mulanya manusia ini bisa di katakan hidup di fase pertanian, kemudian berpindah ke fase industri dan seterusnya kepada fase informasi.
Di fase mana saat ini manusia sedang menjalani kehidupan akan menjadi sebuah ukuran tentang sejauh mana kesejahteraan dan kemakmuran hidup masyarakat tersebut, misal nya ke hidupan masyarakat di Negara yang sudah berada pada fase ”masyarakat informasi – IT” maka bisa di lihat kehidupan mereka akan lebih maju di bandingkan dengan masyarakat yang hidup di fase Pertanian, namun sekalipun demikian untuk mengubah fase-fase tersebut tidak juga harus memaksakan diri dengan kekerasan atau peperangan, fase-fase ini biasanya akan berubah sendirinya dengan semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat di negara tersebut, atau bisa juga terjadi karena gerakan rakyat secara damai yang menginginkan perubahan.
Menurut salah seorang nara sumber kami Birgit Enevoldsen salah seorang guru di AMU – Center Aalborg – Denmark, mengatakan bahwa masyarakat Denmark saat ini sudah berada pada fase informationssamfund (Masyarakat – IT), dimana masyarakat sangat mengutamakan informasi – IT dalam segala hal baik dalam urusan Ekonomi ataupun politik.
Denmark bukan lah sebuah Negara besar kata salah seorang nara sumber lain yang juga seorang guru, Denmark adalah sebuah Negara kecil yang selalu berusaha lebih maju, Denmark ibarat sebuah mobil kecil yang lari cepat, sang guru tersebut mengumpamakannya.
Pada Juli 2010 World Achehnese association mengadakan sebuah Konferensi dan Silaturrahmi di Denmark, salah seorang peserta konferensi dari Aceh mengatakan kepada saya dalam bahasa Aceh ”Lagak that Nanggroe Denmark lagé teulukis” (Cantik sekali Negara Denmark seperti lukisan), kebutulan saat itu Denmark sedang musim panas, jadi semua lahan pertanian yang tersebar luas dikiri kanan jalan bisa di lihat dengan jelas.
Kehidupan para petani di Denmark sudah sangat maju, untuk satu orang petani bisa mengolola puluhan hektar tanah dengan mesin yang lengkap, atau lebih tepatnya satu mesin boleh di gunakan untuk beberapa kepentingan, misalnya untuk proses pembersihan lahan, proses penanaman, proses penyiraman, hingga proses pengangkutan, jadi sudah tidak heran petani Denmark menanam gandum di ladang-ladang, dan meraka tak tunggu hujan untuk teumajoek (penanaman).
Melihat kondisi pertanian di Denmark saya teratarik mengaitkan dengan pertanian di Aceh. Aceh memiliki lahan pertanian yang bagus, memiliki air, memeliki iklim yang ramah (tidak ada musim salju di Aceh), dalam arti lain pertumbuhan tanaman di Aceh lebih cepat di bandingkan tanaman-tanaman di Denmark yang harus mengalami nasib tibanya musim salju, sehingga semua daun-daunan berguguran, namun hal ini tidak pernah menghalang para petani di Denmark menjadi salah satu golongan terpandang dan sejahtera dalam masyarakatnya.
Hal lain yang saya lihat adalah kerja keras pemerintah Denmark di tinggkat Kommune dalam membangun fasilitas untuk para petani di wilayah masing-masing, terutama sekali jalan yang bagus dan tahan lama. Semenatara di Aceh yang sering terjadi adalah pemerintah bagi-bagi bijéh (bibit), bagi-bagi ubat somprot naleung (racun rumput), bagi-bagi baja (pupuk) dan bagi-bagi beberapa hal lainnya, ini adalah sikap yang terpuji, tapi bagaimana jika kewajiban mendasar seperti jalan dilupakan, ini konsep yang sangat ketinggalan saya kira.
Berdasarkan berbagai pandangan yang kita temukan dari perbandingan kondisi pertanian di Aceh dan di Denmark, maka sangat tidak patut jika ada pihak-pihak tertentu yang menyalahkan petani atau rakyat jika program yang di canangkan tidak berjalan sesuai rencana atau bahkan cendrung gagal.
Saya menyarankan jika boleh pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan untuk mebangun jalan Gampong (Desa) hingga ke lokasi-lokasi pertanian masyarakat dengan kategori bagus dan tahan lama, sehingga para petani bisa dengan mudah menuju ke lokasi pertanian sekaligus tidak sengsara dalam mengangkut hasilnya. Bayangkan jika para petani setiap harinya harus mengharungi jalan berlumpur ke lahan pertanian, untuk tanam bijéh (bibit) yang sudah di bagi oleh pemerintah, ini kemunduran yang terbengkalai saya kira, atau bisa saja hal ini menjadi project musiman dinas-dinas terkait.
Sikap pemerintah di Aceh dari tingkat bawah hingga ketingkat atas yang cendrung terlihat tidak terlalu peduli dengan kebutuhan utama petani bisa berdampak kepada kelas kehidupan yang terlalu berbeda dalam masyarakat Aceh, terutama golongan petani atau nelayan dengan golongan para pejabat pemerintah. Para pejabat pemerintah setiap hari menggunakan jalan aspal ketempat kerja, sementara para petani harus mengunakan jalan berlumpur sat hujan tiba, ketara sekali perbedaannya jika di teliti, dan hal ini bisa menjadi gambaran berapa tidak adilnya kondisi pembangunan di Aceh. Dengan itu besar harapan agar pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kotamadya dan kecamatan punya sedikit perhatian kepada petani di Aceh sehingga mereka bisa hidup layaknya seorang pejabat juga, karena Aceh adalah milik bersama dan untuk dinikmati bersama.
Beberapa hal penting di Denmark menurut Birgit Enevoldsen diurus oleh privat (bukan pemrintah) namun berjalan cukup baik, antaranya adalah, Detail (Kedai dan Runcit), A – Kasser (Dana Pengangguran), Fagforening (Serikat Pekerja), Bank, Boligforening (Persatuan Perumahan), Transport (Bus), Landbrug (Pertanian), Fodboldklubber (Klub sepak bola), tapi intinya jalan dibuat oleh pemerintah dan sangat mengutamakan kwalitas dan mutu, maka dengan itu untuk Aceh kita beharap terus berbenah menuju Aceh Goet (Good).
Tarmizi Age (Mukarram) adalah Koordinator World Achehnese Association di Denmark